“Ya, yang bisa mengubah hanyalah generasi angkatan muda…”- Pramoedya Ananta Toer -Mulailah membaca catatan kecil ini – yang mungkin tidak ada gunanya, juga gaungnya – dengan sepotong ucapan: Selamat malam generasi tua!BUKAN karena benar-benar sudah malam kalau ucapan itu kita layangkan. Tapi ini semacam salam perpisahan, salam menjelang tidur. Sepucuk salam pengantar istirahat buat para pemimpin tua sebuah bangsa yang juga mulai menua.
Sayangnya, menuanya bangsa ini tidak diimbangi dengan kedewasaan dan kearifan, kesejahteraan dan kemapanan. Tapi malah, dengan rapor buruk negara, ketuaan bangsa Indonesia makin renta dengan hadirnya ‘keriput’ korupsi, ‘flek’ kemiskinan, ‘TBC’ buta huruf, ‘osteoporosis’ terorisme, ‘asma’ pelanggaran HAM, serta ‘stroke’ pendidikan rendah. Maka sudah lengkaplah sosok renta bangsa Indonesia dengan segala tetekbengek yang melacur di sekujur tubuhnya. Bangsa Indonesia laksana seorang saudagar kaya yang menghabiskan sisa hidupnya dengan berjuang melawan penyakit di atas ranjang. Saudagar itu, dengan puluhan hiasan mewah yang menggelayot di tubuhnya, tidak lagi mampu berdiri melihat cucu-cucunya yang gemuk sedang berlarian di halaman rumahnya yang luas.
Sudah 10 tahun sejak lengsernya Mbah Harto, kumandang reformasi didengungkan. Tapi bangsa ini masih duduk manis di depan televisi menonton sinetron tolol. Tak mencoba menggeser tubuh untuk memperbaiki bagian rumah yang rusak. Tak berupaya mencari sofa yang lebih empuk atau mengganti warna cat dinding yang mulai mengelupas. Hingga mulai sadar dengan lahirnya ketidaknyamanan dan keengganan untuk tetap berkata: Saya baik-baik saja.
Silih berganti – seperti menang gambreng – satu per satu pemimpin gaek menjabat sebagai presiden. Mulai dari Habibie, Gus Dur, Megawati, sampai SBY. Semuanya menjalankan pemerintahan dengan baik. Bahkan teramat baik hingga tak berani melakukan perubahan radikal yang membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik.
Di antara generasi tua itu seperti ada halangan untuk berpikir dan bertindak revolusioner. Mekanisme menjadi presiden lewat parpol membuat mereka melakukan kompromi-kompromi politik yang anomali bagi masyarakat awam. Misalnya saja, dengan dukungan beberapa parpol yang berkoalisi, seorang presiden terpilih menjadi tidak mudah dalam membuat keputusan yang mungkin saja merugikan salah satu parpol. Kompromi-kompromi macam inilah yang senantiasa menghambat kemajuan Indonesia.
Lain hal, para generasi tua, dengan rentang usia yang melintas pada zaman Orde Lama dan Orde Baru, dijangkiti kultur kebanyakan birokrat kita yang busuk. Dari kolusi sampai korupsi. Nepotisme sampai jual beli hukum. Yang mungkin daftar kebusukan itu tak cukup ditampung dari Sabang sampai Merauke.
Kultur macam ini jugalah yang sangat mengganggu proses Indonesia menjadi negara yang disegani. Sistem boleh ciamik dan modern. Fasilitas boleh canggih dan mengadopsi Barat. Tapi selama kultur manusia yang menjalankan sistem tersebut busuk, tidak menjadi istimewalah ke-ciamik-an dan ke-modern-an itu. Selama kultur manusia pemakai fasilitas tersebut bobrok, ada baiknya sikap malu yang mesti dipasang ketika menggotong predikat canggih dan adopsi Barat itu.
Bukan itu saja, para generasi tua sudah terperangkap dalam perspektif waktu yang sempit. Mereka hidup di jaman yang baru, tapi membawa pemikiran lama. Sebuah jaman harus diperlakukan lewat tuntutan kebutuhan jaman tersebut. Itu syarat sebuah kebaruan.
Namun, yang terjadi sekarang, kepemimpinan bangsa hanya dihuni oleh nama-nama lama yang mengalami rentang waktu yang dipenuhi kultur busuk para birokrat dan juga melalui proses mekanisme parpol yang buruk. Sebut saja nama Megawati (61), Wiranto (61), Amien Rais (64), Akbar Tanjung (62), SBY (58), Sutiyoso (63), Sultan Jogja (62), serta Jusuf Kalla (66). Mereka semua pernah hidup di era pemerintahan yang kulturnya busuk. Mereka juga bertumbuh dalam sistem parpol yang tidak berorientasi kepada rakyat. Jadi percuma saja bila ada generasi tua yang bersih, memimpin. Karena sebersih apapun, dia sudah terbiasa dengan kultur busuk birokrat, akrab dengan kompromi-kompromi, serta terperangkapnya dalam perspektif waktu yang sempit.
Oleh karena itu, kita sekalian BERHAK menolehkan perhatian pada orang-orang lain di luar generasi tua. Orang-orang lain tersebut dengan ideologi dan mimpinya pantas dibukakan jalan menuju kepemimpinan bangsa. Orang-orang lain tersebut, yang tidak pernah terlibat dalam kultur busuk tersebut, layak diberi kesempatan menggawangi kursi Presiden Indonesia. Tak lain dan tak bukan, adalah mereka orang-orang baru dengan semangat dan pemikiran yang baru, yakni para generasi muda bangsa.
Maka layaklah ucapan selamat malam di awal tadi, kita serukan pada mereka generasi tua. Dan dengan santun kita antarkan mereka untuk beristirahat menunggu gerbong Indonesia Jaya yang dikomandoi para generasi muda.
Siapa Generasi Muda?
Tapi masih adakah generasi dengan syarat-syarat yang sudah diurai pada halaman sebelah tadi di dalam negara berjumlah 230 juta penduduk ini? Agak sulit menjawabnya bila kita belum memahami siapa generasi muda yang dimaksud.
Generasi muda adalah mereka yang berusia muda. Kalau bicara angka, mungkin angka 35-50 adalah kisarannya. Tapi sebuah angka bukanlah syarat mutlak seseorang dikategorikan sebagai generasi muda. Ia bisa saja berusia di atas 50, namun memiliki pikiran yang baru (muda), kultur yang baru (belum pernah terlibat dalam kerja parpol atau pemerintahan yang korup), semangat yang baru, juga mimpi yang baru.
Dalam wacana mencari pemimpin muda ini, generasi tua yang dituduh bertanggungjawab karena tidak melakukan regenerasi, berkilah. Mereka menganggap bahwa kepemimpinan mereka bukanlah mau diri sendiri, tapi keadaan yang mengharuskan mereka maju kembali dalam bursa capres. Bahkan dengan sangat jantan mereka menantang lahirnya para pemimpin dari generasi yang lebih muda dari mereka.
Namun apa yang terjadi menunjukkan mereka tidak dengan sungguh mengatakan itu. Orang muda selalu berdiri di bawah bayang-bayang generasi tua. Coba kita lihat PAN (Partai Amanat Nasional) yang dipimpin oleh orang muda seperti Soetrisno Bachir, ternyata masih dibayangi oleh sosok Amien Rais di belakangnya. Sehingga belakangan kita sama-sama saksikan usaha mati-matian dari Soetrisno Bachir dalam mencitrakan dirinya ke masyarakat lewat iklan-iklan yang kerap menganggu kenyamanan ketika menonton atau pun membaca media massa. Bukankah ini akibat dari tidak mulusnya regenerasi partai politik? Atau pada regenerasi PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) yang memasang Muhaimin Iskandar sebagai boneka. Karena toh suara Gus Dur tetap yang menahkodai arah PKB. Sebuah gerontokrasi1 yang tidak dengan sungguh memberi peluang bagi orang muda untuk memimpin.
Pada hal lain, kita bisa lihat bagaimana orang muda hanya dijadikan komoditi politik semata. Tentunya parpol-parpol amat menyadari suara besar yang dapat diraup dari kaum muda. Dalam konteks berbicara Pemilu 2009, dari 170 juta usia pemilih, 59% berusia muda, yakni 20-40 tahun. Dengan mewacanakan pemimpin kaum muda, yakni dengan memasangkan kaum tua dengan kaum muda dalam bursa capres, parpol berharap dapat mendulang suara banyak dengan kandidat kaum muda sebagai pemikat. (bandingkan dengan kemenangan Pilkada Jawa Barat yang mengusung Heryawan dengan Dede Yusuf sebagai orang muda – keduanya berumur 41 tahun. Atau Pilkada Sulawesi Selatan yang dimenangi oleh pasangan Syahrul Yasin Limpo dan Agus Arifin Nu’mang, di mana Nu’mang masih berusia 45 tahun)
Hal inilah yang disebutkan di atas sebagai komoditi politik. Orang muda hanya diberi posisi sebagai alasan strategis menjalankan program tim sukses. Orang muda hanyalah alat. Orang muda hanya sebuah objek, bukan subjek yang berhak menentukan arahnya sendiri.
Jadi, memang susah – bukan tidak mungkin – mencari pemimpin dari generasi muda. Mereka dianggap tidak ada oleh masyarakat. Kalaupun ada, mereka hanya pribadi-pribadi yang kadang anonim dan berdiri sendiri tanpa basis massa. Mereka bukan tidak ada, tapi mereka ditiadakan kaum tua.
Orang Muda Becus
Mendengar nama Benigno Aquino Jr., mungkin kita langsung mengasosiasikannya pada sebuah nama, Corazon Aquino. Ya, Ninoy – panggilan Benigno – adalah suami dari Corazon, mantan presiden Filipina. Benigno muda aktif berpolitik. Ia menjadi walikota pada usia yang sangat muda, 22 tahun. Lalu berlanjut menjadi gubernur pada usia 28 tahun. Dalam usia 34 tahun, ia masuk sebagai senator termuda Filipina saat itu. Akhirnya karena tindaktanduk politiknya, ia dihukum mati oleh Ferdinand Marcos, presiden Filipina saat itu. Namun tak lama sang istri, Corazon, melanjutkan misi politik suaminya, yang mengantarnya pada kursi Presiden Filipina di tahun 1986.
Di belahan dunia lain, ada tokoh muda seperti Evo Morales yang memimpin Bolivia pada usia 47 tahun. Juga ada Bashar Al Assad dari Suriah yang menjadi presiden pada usia yang belum genap 45 tahun. Ada juga Hugo Chaves yang menjadi presiden Venezuela pada usia 44 tahun. Di Amerika, nama pemimpin muda berderet dari J.F. Kennedy (berusia 43 tahun ketika menjabat presiden), Bill Clinton (47), sampai yang ramai dibicarakan sekarang, Barack Obama (47).
Nama-nama dalam negeri pun tak kalah bersaing. Soekarno, Sang Fajar dari Timur itu, memimpin PNI (Partai Nasional Indonesia) pada usia yang belia, 26 tahun. Dan akhirnya menduduki kursi kepresidenan pada usia 44 tahun. Atau lihat Hatta dan Sjahrir yang menjadi wakil presiden dan perdana mentri di usianya yang ke-43 dan 36 tahun.
Singkat kata, stereotip tidak becus, berlagak doang, urakan, sulit diatur, apatis, dan seterusnya, dan seterusnya yang disematkan pada orang muda, boleh menjadi tidak sepenuhnya benar setelah kita melihat deretan prestasi yang diukir nama-nama orang muda di atas. Lewat mereka kita melihat bahwa orang muda bisa memimpin dengan becus. Bukan saja memimpin. Tapi dengan perubahan radikal yang dilakukan, orang muda dapat menjadi agen pembaharu pada satu keadaan yang carutmarut.
Gerakan Korektif
Di Indonesia, setelah lama dikurung dalam suatu jaman yang otoriter, yakni selama 3 dekade Orde Baru berkuasa, di mana rakyat melulu menjadi objek, menghasilkan kenihilan generasi muda. Sikap Soeharto yang melanggengkan kekuasaan tak memberi ruang berpikir untuk membidani kehadiran generasi berikutnya. Sehingga stok orang muda Indonesia yang berpolitik menjadi kosong.
Bukan itu saja. Sikap otoriter dan represif yang digunakan, membuat rakyat tak lagi mempunyai mimpi. Rakyat menganggap mimpi merupakan barang mewah untuk dikonsumsi. Maka rakyat hanya berharap, tak lagi bermimpi. Berharap agar pemimpin bangsa membawa mereka ke arah yang lebih baik. Namun tidak pernah berhasrat untuk membangun mimpi mereka sendiri. Rakyat menyerahkan mimpinya kepada pemimpin. Dan inilah yang melahirkan sebuah generasi muda yang apatis.
Sikap apatis ini ditunjukkan dengan enggannnya orang muda untuk membangun mimpi rakyat lewat politik. Mereka menganggap bahwa politik kotor dan culas, dan hanya dengan menjauhkan diri darinya, orang muda dapat terus mempertahankan idealismenya. Sehingga, selama ini masyarakat hanya menyaksikan aksi kolektif orang muda yang dibangun dalam ranah gerakan protes. Orang muda hanya menjadi gerakan korektif. Selama tidak ada yang perlu dikoreksi, mereka hilang dari peredaran dalam upaya membangun bangsa.
Di sisi lain, di mana orang muda gerah terhadap parpol, justru lewat parpol itu pulalah jalan menuju kepemimpinan dibukakan. Pada kondisi ini, perlu dipikirkan mengenai wacana calon presiden independen yang tidak berdasarkan parpol. Atau memang para elit politik tua kita seakan sudah membentengi lingkaran kekuasaan mereka dengan undang-undang yang rapih, yang menghambat para orang muda untuk maju sebagai pemimpin.
Sekali lagi: Selamat Malam…
Bila pandangan sudah berkelana sampai pada baris ini, berarti catatan kecil ini sebentar lagi mau pamit. Pergi menjauh dari mata-mata yang menyapu kata-kata. Catatan ini akan kembali berpencar menjadi kata-kata yang berdiri sendiri-sendiri. Kata-kata ini yang kemudian mencari jalan sunyi untuk ditempuh. Sebuah jalan spiritual untuk menemukan kawanan kata yang lain, hingga berkumpul membentuk suatu panorama kalimat, atau suatu bangunan gagasan yang muluk.
Memang harus muluk untuk membangun mimpi. Karena mimpi adalah pribadi yang menjauh dari dunia realitas. Dunia nyata yang kejam dan tirus. Siapa yang tak pernah bermimpi, mungkin ia tak pernah merasakan buruknya dunia ini.
Kata-kata itu – dalam kesunyiannya – menemukan bentuk kembali. Mereka berkumpul dan membentuk sebuah kalimat. Dengan sopannya mereka membungkuk dan saling bergandeng merangkai diri:
Selamat malam, generasi tua…
Selamat pagi, Mas Presiden!
Istilah:
1. Istilah kedokteran: gerontologi. Artinya menunjukkan pada satu fase mulainya penuaan dalam kehidupan seorang manusia. Dalam konteks politik, istilah ini diadopsi yang maknanya kurang lebih keadaan politik yang dikuasai kaum tua.
*****
Menemukan dan membaca tulisan ini, kembali mengingatkan penulis akan pagelaran politik yang sedang ditata karpetnya. Menghitung hari, antara terbit dan terbenam matahari, perlahan pagelaran ini mendatangi. Banyak orang bilang, ini pesta, selebrasi, pesta demokrasi. Atau mungkin pesta para tikus berdasi diatas pencari suap nasi. Mencicip amis krasi-krasi dan isasi-isasi yang tengiknya makin basi.
Mungkin ada dari kita yang telah muak akan media. Mereka yang mencekoki masyarakat dengan limpasan klise yang banyaknya tersia. Atau ada pula dari kita yang terbuai oleh madat bernama citra, yang alih-alih memperindah, malah jadi sekadar permak.
Penulis belum menentukan akan seperti apa ia ambil peran, itupun jika ia benar-benar mengambil perannya. Tetapi, sepertinya, penulis harus ikut ambil bagian. Entah dari sisi mana, entah bagaimana, meski mungkin jelas akan mengarahkan kemana.
Penulis belum menentukan akan seperti apa ia ambil peran, itupun jika ia benar-benar mengambil perannya. Tetapi, sepertinya, penulis harus ikut ambil bagian. Entah dari sisi mana, entah bagaimana, meski mungkin jelas akan mengarahkan kemana.
Perhatikan dengan baik, bagaimana jadinya negeri ini. Negeri ini, yang tumbuh bersama berbagai jiwa di dalamnya.
Karena sebuah negara, adalah cerminan rakyatnya.
.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar