Para leluhur telah menceritakan secara turun temurun, kepada mereka generasi muda yang menjejak bumi nusantara. Konon katanya, tanah nusantara, yang juga disebut zamrud khatulistiwa itu, adalah tanah kaya hara. Berkat tanah yang kaya hara inilah, kebudayaan lama nusantara berhasil menancapkan namanya sebagai penghasil utama barang dagangan favorit di masa itu, rempah-rempah. Satu persatu kerajaan besar bersemai, tumbuh, dan tumbang, silih berganti memerankan pusat perdagangan di Asia Tenggara pada abad pertengahan. Dan tentu saja, tidak melupakan datangnya armada-armada kolonial yang tergiur oleh kekayaan rempah. belum lagi bicara masalah barang tambang yang seolah tersebar dimana-mana. Gemah ripah loh jinawi.
Akan tetapi, dari sekian banyak penduduk bumi nusantara, banyak yang cukup menikmati apa yang tersuguh di tanah nusantara. Di sekitar mereka dapat mereka temui banyak puncak menjulang, mengerdilkan pemukiman manusia di sela-sela jemari kakinya. Sesekali mereka mengepul, seolah mengingatkan manusia-manusia kerdil itu, bahwa bukan hanya mereka yang hidup mendiami bumi nusantara. Sesekali mereka terbatuk-batuk, melemparkan berbagai rupa rempah batuan ke sekitar. Tanpa rasa pamrih, mereka sebar rempah batuan, dengan segala macam zat hara di dalamnya, ke sekitar. Tak peduli, apakah para manusia-manusia di bawah sana peduli. Toh bagi mereka, yang penting adalah mereka hidup aman, nyaman. Toto tentrem kerto raharjo.
Sesekali, kawan, salah satu dari puncak-puncak berkepul asap itu, ia bergetar, dan melontarkan segenap isinya ke sekitar. Kehidupan manusia-manusia kerdil itu, yang biasanya tentram dan damai, kini terusik oleh rempah bebatuan yang menghujani rumah-rumah mereka, air minum mereka, taman-taman mereka. Kenyamanan mereka terusik, sehingga mereka namai apa yang mengusik itu sebagai "bencana". Dan keamanan mereka pun turut terusik, dan beramai-ramai mereka menjulukinya "musibah".
Terkadang, mungkin ada dari kita yang berpikir, betapa sombongnya para manusia. Sebuah fenomena bisa dijuluki "keajaiban", ketika ia berlaku sesuai kehendak manusia akan kenyamanan yang mereka tuntut selalu. Akan tetapi, ketika fenomena ini berlaku dengan jalan yang menandingi kehendak manusia, mereka sebut itu "musibah".
Ada yang mengaitkan mereka dengan Tuhan yang memberi peringatan. Atau Tuhan yang marah. Tetapi, bukankah mereka menjuluki demikian, karena perlakuan bumi yang mengalahkan kehendak mereka?
Aku tak tahu banyak mengenainya, dan aku tak yakin apakah yang terhatur dalam larik-larik selanjutnya adalah larik yang layak dipertanggungjawabkan.
Tetapi, bagiku, perlakuan bumi, sebagaimana sistem-sistem besar di seantero alam semesta, adalah perlakuan yang berkesinambungan. Ia terus membangun, meskipun terkadang dengan menghancurkan. Ia terus memperbarui, meskipun ditemani gerus erosi. Dalam sekian juta tahun, kesinambungan proses ini terus terjaga oleh sumber panas dari dalam, yang menyuplai energi bagi apa yang ada di permukaan sana. Dan ketika manusia-manusia, yang kerdil, yang tak signifikan, menjadi satu dari sekian banyak anggota penghuni permukaan sana, apa kaupikir bumi akan tunduk begitu saja?
Bagiku, bumi terus berproses. Mungkin juga, ia terus berkomunikasi dengan penghuni yang menandai parasnya dimana-mana. Baik dengan cara yang sejalan dengan kehendak manusia, maupun cara yang mengalahkan.
Ketika selalu kentara bahwa bumi berkekuatan jauh mengalahkan para manusia, garis kodrat akan mendorong manusia, supaya mengakrabkan diri. Membuat hidup mereka lebih akur dengan alam sekitar. Dengan harapan, manusia akan merubah gaya pandang mereka yang sibuk memelototi diri mereka, menjadi gaya pandang yang melihat dirinya sendiri sebagai unsur luar.
Supaya mereka melihat segala proses yang berkesinambungan ini, sebagai bagian dari sistem besar. Sistem karya-Nya, yang mencipta segala karya secara paripurna. Dan mereka tak lagi berkacak pinggang, mengeluhkan proses alamiah yang membuat mereka merasa kerepotan.
Mungkin, aku memimpikan suatu saat, dimana manusia melihat pergolakan alam sekitar mereka, sebagai cara alam berbicara kepada manusia. Menyampaikan apa yang diperlukan, dengan caranya.
Bukan dianggap sebagai wujud kemarahan, meskipun mungkin saja ada sejumput di dalamnya. Entah datang dari siapa.
Dan kuharap pula, saat mereka memandangi apa yang dihamparkan oleh alam sekitar, apa yang disuguhkan meski dengan cara yang menyebalkan, saat itu kita tertegun sejenak. Tanpa kesombongan, tanpa kekesalan akan kehendak yang terkalahkan, dan kembali membuka ingatan.
Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kau dustakan?
Kolom letusan gunung Kelud dengan sambaran petir, 13-14 Februari 2014. Dipotret dari sisi utara lapangan SMAN 3 Blitar. Sila cek tautan berikut untuk info lebih akan letusan. sumber gambar |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar