Senin, 20 Agustus 2012

Article#81 - Sejenis Pemberontakan Pikiran: Padamu Negeri

Saya tak tahu harus mulai dari mana.
Nah, namanya saja pemberontakan pikiran, masing-masing dari pikiran saya berebut ingin ditumpahkan ke cangkir blog yang senantiasa mengepulkan asap ide-ide yang terkadang setengah jadi ini. Sampai saya tersadar, blog saya bukanlah cangkir. Duh. Sayang sekali yah, padahal kalau blog saya ini berupa sebuah cangkir, kalau saya mau ngetik artikel baru dan kehausan tinggal seruput teh di blog ya.. Eh iya puasa. Lupa.

Sudahlah, sekarang bahas yang akan dibicarakan.
Mungkin sebagian dari kalian para pembaca mengetahui bahwa 10 Agustus kemarin dideklarasikan sebagai Hari Kebangkitan Teknologi Nasional. Di Bandung, pada hari tersebut, mantan Presiden Republik Indonesia ke-3, Prof. Dr. Ing. B.J. Habibie, membacakan pidatonya yang berjudul Reaktualisasi Peran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam Membangun Kemandirian Bangsa. Isinya kurang lebih membicarakan bagaimana sebenarnya bangsa Indonesia memiliki sumber daya manusia yang berkualitas baik, kira-kira setara dengan punyanya negara maju. Akan tetapi..... selanjutnya baca saja sendiri naskahnya di tautan terkait.

Ketika membaca judulnya, saya sendiri merasa sedikit terketuk. Apalagi ketika saya membaca naskah pidatonya, tersirat seolah ada pesan yang beliau tujukan untuk generasi muda Indonesia: Apa yang telah kalian persembahkan bagi bangsa Indonesia ini? Kalian pastilah tak asing dengan cerita bagaimana generasi pejuang Indonesia di masa-masa penjajahan berjuang mengusir penjajah dari sekujur wilayah negeri, bagaimana generasi intelektual Indonesia di abad ke-20 merancang strategi demi melepaskan Indonesia dari belenggu penjajahan, dan bagaimana generasi pascaproklamasi berusaha sekuat tenaga dan upaya mempertahankan kemerdekaan yang telah diraih dengan sebaik-baiknya.

Namun kemudian, kini muncul berbagai pertanyaan besar yang mungkin hanya sedikit orang mau meluangkan waktu merenungkannya. Harus kita apakan negeri ini setelah kemerdekaanya? Apakah cukup sebagaimana saat ini saja? Kalau tidak, lantas harus seperti apa? Apakah kita bahkan sudah benar-benar merdeka? Negara kita mungkin telah merdeka dari belenggu penjajahan fisik<, tetapi sepertinya Indonesia masih terjajah begitu dalam di ranah mentalitas dan berbagai hal lainnya di balik layar.

Biasanya, ketika mendapati ada sesuatu yang tak berjalan sebagaimana mestinya, orang lantas akan bertanya: Apa ada yang salah? Maka untuk kasus ini, saya mencoba bertanya, apakah yang salah dengan negeri ini? Mungkinkah sumber daya Indonesia kurang? Fakta menyatakan, tidak.

Sumber daya alam? Rasanya tak perlu diperdebatkan lagi. Indonesia sejak zaman kerajaan dahulu terkenal akan sumber daya alamnya yang luar biasa, baik dari sisi keanekaragaman hayati yang tak terkira, hasil tani dan hasil laut yang melimpah (yang membuat bangsa Barat rela berebut kekuasaan dan pengaruh demi melanggengkan hegemoni pencetak uang mereka), hasil tambang yang melimpah seolah tiada habisnya, sudah jelas untuk segi ketersediaan sumber daya alam, Indonesia tak perlu mempermasalahkan apapun.

Modal? Hah, jangan salah. Mungkin Indonesia dengan pendapatan per kapita 'hanya' $4.700, masih kalah dengan negara-negara tetangga yang rata-rata pendapatan perkapitanya diatas $5.000, tetapi nyatanya di Jakarta, kemacetan jalanan oleh mobil-mobil pribadi menghiasi hampir setiap hari. Pusat-pusat perbelanjaan selalu ramai disesaki pengunjung. Dan seperti yang terlihat di sekitar momen Idul Fitri seperti saat ini, jutaan orang kelas menengah berduyun-duyun memenuhi jalan raya, gerbong kereta, kabin kapal dan pesawat, semua demi mengunjungi sanak keluarga di kampung halaman. Bahkan, saking 'murah hatinya' warga Indonesia dalam membelanjakan uang mereka, investor asing berduyun-duyun mampir dan menanamkan modalnya di negeri ini, yang kini pertumbuhan ekonominya terus melejit di tengah kemelut ekonomi Barat. Perlu bukti lagi? Tak perlu, saya rasa.

Sumber daya manusia? Mungkin Indonesia memiliki banyak orang yang terkesan begitu mudah dikibuli dan dikompori, tetapi sudah jelas bahwa sumber daya manusia Indonesia tak bisa diremehkan. Dari berbagai prestasi yang diukir di mana-mana, hingga berbagai inovasi kreatif dari putra-putri bangsa, apa kalian masih meragukan potensi sumber daya manusia Indonesia?

Sungguhpun demikian, semua tadi memang hanya potensi semata. Potensi sebesar apapun, yang dimanfaatkan dalam cara dan tuan yang salah, hanya akan tersia-sia. Kita tak bisa menutup mata dari kenyataan bahwa, meskipun Indonesia memiliki cadangan sumber daya alam yang melimpah, banyak diantara mereka justru lebih banyak menguntungkan warga bangsa lain. Berton-ton logam mulia dan berliter-liter minyak dieksploitasi oleh negara yang lain, yang kemudian menjualnya ke Indonesia seolah mengejek kebodohan kita. Kemudian, sudah jelas pula bahwa uang yang keluar dari kocek-kocek masyarakat Indonesia terbang menuju kantong pengusaha asing, yang terus menanamkan cengkeramannya pada celah-celah ekonomi Indonesia yang masyarakat intelektual Indonesia lupa mengisinya. Dan juga, sudahlah jelas bahwa selain intelektual muda Indonesia diboyong perusahaan asing untuk memperkaya diri mereka, generasi muda Indonesia diracuni dengan ideologi dan doktrin-doktrin yang merusak tatanan nilai moral dan mental mereka.

Yah, pada akhirnya, tak akan pernah berakhir jika yang kita lakukan hanya mencari-cari kesalahan. Buang-buang energi belaka. Lebih baik manfaatkan upaya kita untuk memperbaiki Indonesia yang masih sedikit merana ini, menjadi Indonesia yang sukses dan gemilang di masa depan. Saya berbicara disini bukan mewakili generasi muda Indonesia (siapa pulalah saya ini), saya hanya ingin mengaspirasikan suara pikiran saya, bahwa masih belum terlambat bagi kita untuk membangun kejayaan bangsa Indonesia, tetapi jika kita tidak bersegera membangunnya, impian hanyalah impian belaka.

Akhir kata, mari manfaatkan momentum dua kemenangan yang baru terjadi hingga 3 hari kebelakang, hari proklamasi RI yang menandai terbebasnya Indonesia dari kerasnya penjajahan, dan Idul Fitri yang menandai klimaks dari sebuah perang terbesar, perang melawan hawa nafsu. Mari mulai meluangkan tenaga, harta, waktu dan pikiran kita untuk bersama-sama mewujudkan Indonesia yang lebih baik. Tenaga yang digunakan untuk mempersatukan bangsa dan menyamakan cita-cita lebih berguna daripada tenaga yang digunakan untuk kuat-kuatan adu pengaruh dan menebar bibit perpecahan. Harta yang disumbangkan demi mendanai proyek pembangunan bangsa lebih berkah daripda harta yang dibelanjakan untuk sekadar hura-hura dan menyenangkan nafsu belaka. Waktu dan pikiran yang diluangkan untuk memberikan kontribusi atas kesuksesan bangsa jauh lebih bermakna daripada waktu dan pikiran yang tersia untuk sekadar balada remaja yang tiada guna.

(Saya baru ingat satu paragraf ini tertinggal, sehingga akan saya tuliskan disini. Maaf atas keterlambatannya para pembaca..)
Sungguhpun demikian, jangan pernah lupa kata pepatah, Setinggi-tingginya kau menatap langit, jangan lupakan bumi tempatmu berpijak (sepertinya versi aslinya sedikit berbeda). Yang saya coba tafsirkan dengan cara lain,"Buat apa bermimpi jauh-jauh jika yang di dekatmu saja kau abaikan". Saya berani-beraninya berkoar diatas dengan gaya layaknya motivator sampah untuk bangsa, tetapi apa artinya koar itu jika ketika saya mengaku sebagai 'motivator sampah', pada kenyataannya saya hanyalah 'sampah' bagi bangsa. Yang cuma bisa protes, tanpa pernah merenungkan. Yang cuma bisa bikin orangtua susah. Yang alih-alih mencoba mensukseskan Indonesia, justru tanpa sadar malah meruntuhkannya dari dalam.
Yah, memang tidak ada warga Indonesia yang 'tak layak' berpikir demi negerinya. Tetapi, seperti kata pepatah "Berpikir global, bertindak lokal", sebuah cita-cita yang besar harus dimulai dengan tindakan kecil yang membangun. Jangan hanya mengoceh dan kemudian hanya diam menyaksikan semuanya. Almarhum Stephen Covey sang penulis populer dalam bukunya 7 Habits of Highly Effective People juga mengatakan, Begin with the end in mind. Dengan penekanan yang saya taruh di kata pertama, Mulailah bertindak dengan membayangkan hasil akhirnya. Memang sebuah tangga tersusun dari undakan-undakan kecil, namun jika disusun dengan baik toh ia akan menjadi sebuah tangga yang besar kan? Jadi jangan takut, bahkan seekor cecunguk boleh bermimpi muluk-muluk. Seorang keroco boleh berpikir ngaco. Yang penting adalah kita mau memulai, dan mampu menahan diri dari tuduhan yang senang menjatuhkan.

Dimulai dari diri sendiri, mari berbenah menuju diri yang lebih baik, keluarga yang lebih baik, ikatan persaudaraan yang lebih baik, komunitas yang lebih baik, negeri yang lebih baik, dan dunia yang lebih baik.

"Selalu ada jalan menuju kesuksesan, tetapi tak semua orang cukup terbuka untuk melihatnya."

MERDEKA!

(ditulis di tengah hembusan angin malam yang membekukan tulang, oleh seorang keroco yang mengira dalam impiannya ia bisa mengubah semuanya)
(:g)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...