Selasa, 05 Juni 2012

Article#60 - Apa yang Ada, Apa yang Tersia, Apa yang Hilang

Malam itu, Sabtu, 26 Mei 2012. Ketika itu saya sedang mengantri wudhu untuk sholat Maghrib di sebuah mushola. Di samping saya, saya amati ada seorang muda–sepantaran anak SMA lah kira-kira–bersama seorang tua yang saya perkirakan adalah ayahnya. Sebelumnya saya tak begitu perhatikan dia, sampai tak lama kemudian saya bersiap untuk sholat Maghrib. Dan rupanya saya berdiri di sebelah pemuda yang tadi. Ketika saya berdiri di sebelahnya dan sang imam (yang adalah orang yang saya perkirakan sebagai ayah dari pemuda tadi) bersiap memulai sholat, barulah saya sadar pemuda itu tunanetra. Sekilas terlihat bagaimana ia memegang kaki ayahnya dalam sujudnya, dan jamaah di sekitar pun berinisiatif dengan mengeraskan suara ketika berganti gerakan sholat, dengan maksud sang pemuda ini dapat mengikuti dengan baik. Dari kejauhan, saya yang sedang memasang sepatu juga melihat bagaimana seseorang memakaikan sepatu pemuda tersebut, dan kemudian melangkah pergi.

Terkesan sederhana, tetapi entah kenapa pikiran saya yang telah banyak tergerus arus kehidupan ini justru merenungi kejadian itu sedemikian lama. Seakan-akan Tuhan sengaja menyodorkan cerita hari itu di depan mata saya, membukanya cukup lama sehingga merasuk ke dalam inventaris otak saya, untuk menunjukkan dengan nyata betapa picik dan lemahnya manusia, bahkan pada saat naskah ini diketik. Seolah menunjukkan bahwa Ialah yang berkuasa atas segalanya. Kadang saya merasa kesal akan posisi manusia yang nampak begitu lemah dan tak berdaya, sampai saya tersadar, betapa manusia berkuasa di dunia yang fana ini. Mungkin dapat saya katakan, kekuasaan manusia di bumi ini hanya setingkat di bawah Yang Maha Kuasa. Dan ironisnya, ketika menyadari hal tersebut, saya seolah tersentak. Pikiran saya yang sedang kesal tadi itu semakin menguatkan fakta mengenai betapa tidak tahu terimakasihnya manusia. Mungkin ada hubungannya dengan kata orang-orang, bahwa manusia ditakdirkan memiliki sifat serakah. Dan lagi-lagi kembali kepada Tuhan dan segala kuasa-Nya.

Sejak dulu, memang manusia terkenal akan sikap pongah dan tidak tahu terima kasihnya. Tuhan bahkan 'menyindir' sikap manusia ini dalam kitab suci, dimana dalam satu ayat dikatakan manusia tak akan sanggup menghitung karunia Tuhan, dan di ayat lain disiratkan bahwa manusia mendustakan banyak dari nikmat tersebut. Sebuah kutipan dengan cukup tajam menyindir sikap ini,
Betapa sulitnya manusia bersyukur atas nafas yang masih berhembus di badan. Namun betapa mudahnya manusia mengeluh hanya karena kakinya menginjak kotoran.
Benarlah kiranya jika orang bilang, kebanyakan manusia hanya akan sadar akan manfaat sesuatu ketika ia hilang. Seolah sungai harus kering terlebih dahulu supaya manusia sadar betapa berharganya air. Meskipun secara tersirat hal ini sudah banyak bisa diamati dimana-mana (amati saja barang yang begitu mahal karena langkanya), manusia seolah menutup mata. Mungkin bukan menutup mata, tetapi ditutup matanya oleh keserakahan oleh kefanaan harta dunia, yang membuat mereka luput dari perenungan dan pemaknaan akan hidup yang mereka jalani.

Apa yang ada, tiada pernah terjaga.
Apa yang tersia, dibiarkan terhina.
Apa yang hilang, diratapi dalam duka.

Ketika ada, tidak digunakan secara optimal. Ketika tiada, orang lain yang disalahkan. Seolah itu sudah menjadi tabiat dasar manusia. Tetapi, tidak, itu bukan tabiat dasar. Kau dapat mengubahnya, selama kemauan untuk berubah terus bercokol di hati.

Bicara mengenai sesuatu yang hilang, pikiran saya langsung melintas ke wisuda yang baru berlangsung pada 2 Juni lalu. Seringkali kita terhanyut dalam arus kehidupan, entah karena kenyamanan yang membuat kita ingin terus bernaung didalamnya, atau rutinitas menjemukan yang bahkan terkesan tak memberi waktu untuk keluar darinya. Ketika ada pertemuan, semua orang seolah sudah paham bahwa akan ada perpisahan suatu saat nanti, namun waktu bekerja dengan amat baik untuk menutup luka dan kekhawatiran. Dan ketika waktunya berpisah tiba, kekhawatiran yang sempat tertutup, kini terbuka secara menyakitkan. Seolah waktu terasa berlalu begitu saja, begitu cepat.
 Ironisnya, orang yang mengatakan 'waktu berlalu begitu cepat' seringkali jugalah orang yang menyimpan paling banyak kenangan akan apa yang telah ia lalui. Ketika semua kebersamaan telah usai dan terukir dalam lembar kenangan masa lalu yang indah, barulah kebanyakan orang sadar betapa indah dan berharga waktu yang telah berlalu. Sayangnya, masa lalu akan pergi, menuju tempat yang amat sulit dijangkau. Tak peduli seberapa banyak kau membuat dirimu sendiri tertekan merindukan segala kenangan masa lalu, ia tak akan kembali. Tetapi jangan sampai visimu yang jauh ke depan membuat kenangan dalam hatimu mati seiring berjalannya waktu. Perpisahan masih jauh lebih baik dari kehilangan kenangan. Seimbangkan keduanya, menatap masa depan tanpa melupakan masa lalu. Karena bahagia bukan soal mendapatkan apa yang kau inginkan, tetapi bagaimana kau menyikapi semua yang ada.

Kawan, kesedihan itu wajar, tetapi buatlah dirimu menjadi kuat karenanya. Sekarang waktunya menatap masa depan, dan kesuksesan masa depan sedikit banyak ditentukan oleh tindakanmu mulai saat ini. Bertindaklah dengan bijak jika kau ingin mencapai tempat dimana tak ada lagi kesedihan dan duka.

~ditulis untuk perubahan
(:g)

3 komentar:

  1. Gian, izin ngutip paragraf terakhirnya...

    BalasHapus
  2. ijin sharing: http://rahardianable.blogspot.com/ reflection from daily activity. as much as we can open our mind. :) Lamkenal. anak IC kan?

    BalasHapus
    Balasan
    1. yoo silakan..
      betul anak IC yang baru lulus... kamu sendiri?

      Hapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...