Rabu, 29 Juni 2016

Article#561 - Reperkusi


Rangkaian detik demi detik kejadian di sore hari itu masih jelas terekam dalam memori. Detak jarum detik berdentam menyuarakan nyawanya ke seisi ruangan. Menghujam pelan pelan melalui telinga sosok yang terduduk kebingungan menghadapi sekian lembar kertas di hadapannya.
Di kepalanya, sederetan rumus dan hitungan telah berjejer rapi untuk diejawantahkan menjadi baris demi baris persamaan di kertas. Tetapi dalam setiap dua detik ia memutuskan untuk mulai menuangkannya, ada satu detik di mana konsentrasinya buyar seketika. Terburai seperti serpih karet penghapus yang disisihkannya dari paras meja.
Tetapi bahkan mungkin itu bukanlah permasalahan utama.

Sementara waktu terus mempergulirkan kegelisahan di dalam ruang, berkas jingga cahaya senja mulai menyelinap dari selasar jendela. Mengundang kesadaran indera untuk terus teralihkan ke rona warna indah di balik kejemuan dalam ruang. Dan, hei, sosok yang terus gelisah memandangi lembar demi lembar persoalan itu adalah pendamba senja paling akut yang pernah sebagian orang kenal. Maka bagaimana mungkin ia akan makin tenang ketika jemari semburat senja seolah menggodanya untuk keluar. Melepaskan diri dari segala macam ikatan bodoh dunia yang menggerogoti kewarasan pikiran. Melarutkan diri dalam ketinggian langit manakala ia memadukan mentari senja dengan peraduannya.

Ia terpenjara dalam ruang sempit kaku itu, menatap nanar lembaran kertas yang memancangnya pada bangku. Tetapi jelas kentara ke mana pikirannya terpancang: pertunjukkan megah yang hanya mampu menyusupkan rona warnanya. Menyusupkan cercah yang tak mampu menangkal kebengisan ruang sempit itu dalam menyurutkan nyala api hati manusia, meski tetap sanggup untuk memberikan sosok itu kesadaran menyakitkan akan apa yang tak bisa ia dapatkan.
Siapa yang akan berdiri bangga menawarkan diri menyaksikan betapa sesuatu yang demikian ia damba beranjak pergi perlahan di hadapannya? Semua manakala ia terbelenggu, tidak mampu memperjuangkan apapun, bahkan untuk sekadar mengucapkan sampai jumpa.

Rona senja menghilang berganti malam, dan di dalam ruangan temaram, seorang anak manusia terpekur dalam tapaknya menempuh suram. Suasana muram yang agaknya biasa diperkuat oleh langit yang ikut berarak sendu, dicoba diusirnya dari benak supaya tidak mencekam.

Setidaknya masih ada senja yang akan datang.
Setidaknya menumpuk segala balada dalam jiwa tidak mengubah keadaan.

Come on
Why're you scared?
You'll never change what's been and gone











































Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...