Minggu, 20 September 2015

Article#467 - Rekursi

Hari ini hujan kembali membasahi pijakan.
Menapakkan kaki kembali di jalan itu kembali, Idlam mengamati setiap sudut bangunan dan pojok jalan itu. Kota ini, jalan ini, telah menggoreskan sedemikian banyak kenangan berkualitas dari demikian sedikit waktu yang dihabiskan Idlam padanya. Maka, dalam setiap jejak kaki Idlam menapaki selasar jalan, ia juga menapaki kenangan lama.
Menapaki hujan yang membasahi muka bumi di sore itu.
Menapaki perjalanan menuju kepulangan, setelah seharian berkelana bersama ketidaktahuan yang tak menentu.
Mencecap rasa makanan terakhir yang semerbaknya mewarnai benak sepanjang perjalanan pulang.
Mengenang penantian di satu sudut kota itu. Saat rombongan yang mengiring berpisah jalan satu persatu. Saat Idlam menanti, mengamati satu sosok. Mencerabutnya dari kewarasan dalam usaha mengejarnya dalam diam. Mengejarnya terus hingga saat di mana ia berpisah jalan.

If you're leavin', will you take me with you?
....Idlam sudah tahu betul jawaban untuk itu. Tepat di hari itu. Jawaban yang tak pernah berubah dari lima tahun lalu.

*****


Ketika kau mendapati dirimu bertegur sapa dengan Idlam, mungkin kau akan mendapati wujudnya ia sebagai seseorang yang acuh akan sekitar. Terbenam dalam pemikirannya sendiri, terburai dari awang-awangnya sendiri.
Kesan yang biasa ini tak muncul dari sosok Idlam yang menyusuri jalan setapak meninggalkan garbarata bandara, beberapa hari sebelumnya. Mungkin karena tujuan yang lebih jelas dari kunjungannya yang telah lewat? Atau menyesapkan secara takzim bagaimana kota yang didatanginya telah demikian meninggalkan jejak dalam relung jiwanya? Ketika ia hanya menyinggahinya sejenak dalam hitungan jari tangan?
...
Idlam terus berjalan, menepis kegamangan.

***

Langit biru masih menaungi di sela sela awan ketika Idlam terus melangkah, menyusuri jalan menuju tujuannya di siang hari itu. Deru percakapan manusia, ramai langkah dan denting perdagangan, menghiasi perjalanan Idlam di sepanjang jalan.
Lokasi ini, di dekat pusat kota ini, telah dikenal luas sebagai sentra perdagangan terpopuler di seantero kota, hingga salah satu yang terpopuler di negara. Sehingga Idlam mendapati dirinya berjalan di tengah, dan kadangkala memintas, kerumunan manusia yang mengerami seantero jalan. Ada hingar bingar mereka yang bersemangat menyambung hidup, menjajakan dagangan. Ada canda tawa pengunjung yang terkesima dalam menyambangi ramainya kelangsungan kehidupan di sana. Dan ada pula sederetan toko dengan barang unggulan masing masing berjejer di depannya.
Idlam memandangi satu persatu toko dalam deretan tersebut. Membiarkan pandang berkelana menyigi tiap tiap etalase yang terpampang bangga.

Idlam memantapkan kakinya melangkah.

***
Don't you know
The cold and wind and rain don't know
They only seem to come and go away


Mendung sudah bergulung ketika Idlam menapakkan kaki, kembali berjalan meninggalkan selasar pertokoan. Tak butuh lama bagi rintik hujan untuk mulai menderu bersama angin, membasuh sekujur kota di siang hari itu. Hujan, maupun mendung dan segala remang yang menyelimutinya senantiasa diibaratkan sebagai perlambang suasana gundah gulana.
Tetapi Idlam tidak ingin terjebak dalam paradigma.

Hujan dapat dilihat sebagai pelipur lara, pelepas dahaga bagi kerontang rerumputan yang sekian lama terpapar terik siang. Hujan dapat diresapi oleh mereka yang terguyur basahnya, diselami hawa sejuknya ketika menapak becek dalam ceruk di sepanjang jalan.
Dan pada akhirnya, hujan adalah saat di mana berjuta kenangan merasuk dalam sanubari sekian manusia.

...
Hujan terus mengguyur kenyataan sekian juta manusia.
Dan saat Idlam terpekur di halte bus menuju perjalanan pulang, ia mendaras masa silam di sudut kota yang sama.
Mendaras masa lima tahun lalu, di mana ada sosoknya yang terpaku pada bayang yang menghilang.
Mendaras masa dua tahun lalu, di mana ada yang menapak jalan menuju bayang masa lalunya. Bayang yang perlahan meninggalkan kenyataannya, sebelum Idlam sempat membuka mata.

Idlam kembali memeriksa tasnya. Memastikan ransel yang disandangnya tidak dikuyupi butir hujan. Sebelum ia melangkah menuju tujuannya. Menuju kenyataan yang tak pernah dinyana sebelumnya.

Sore itu, hujan terus mengguyur tanpa ragu.
Menerjang kendaraan yang tegar melaju.
Menopang kenyataan yang tak mendayu.

Stand by me
Nobody knows the way it's gonna be


Foto: Berwick Sreet, London. Diambil dari panoramio.com.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...