Jumat, 04 September 2015

Article#461 - Embarkasi


Sebagian kita terbiasa menikmati persemayaman dalam kenyamanan.
Berkalang dalam apa-apa yang melenakan acapkali digadang sebagai satu dari sekian banyak alasan atas hilangnya produktivitas seorang manusia. Sudah santer terdengar, seruan beragam jiwa yang mengajak manusia untuk meninggalkan dan menanggalkan apa yang disebut "zona nyaman". Dengan dalih mengembangkan diri, kita dituntut untuk meninggalkan zona nyaman, karena di zona itu kita dinilai tidak akan berkarya apa-apa.

Agaknya saya tidak akan membahas lebih lanjut mengenai zona nyaman di sini. Apalagi ketika saya tak tahu benar, apa itu zona nyaman. Bagaimana sebuah kenyamanan dibatasi dengan sekat membentuk zona, dan sekat seperti apa pula yang membatasinya, semua itu masih kabur di mata saya.
Entahlah. Memahami kesemuanya tidak lantas menyelesaikan segala persoalan yang terjadi di hadapan kita.

Karenanya, kemudian kita menata selimut untuk kembali berkemul dalam kenyamanan yang kita rancang. Menyusun pola dunia sekitar sedemikian rupa, hingga jiwa dan raga seolah menjelma sebagai wujud yang berbeda. Terbang ke awan pun bisa jadi sekadar pelemahan makna.
Menjelajahi kilas demi kilas langkah kehidupan, membawa manusia untuk berkelana dari pemikiran ke pemikiran.

Semua yang terikat pada alam dunia bersematkan kefanaan, maka kita kemudian mendapati diri kehilangan utopia yang terstruktur rapi di sekitar. Kita sampai pada saatnya berangkat. Dari sebuah pikiran ke pikiran selanjutnya. Dari sebuah momen ke momen berikutnya. Dari sebuah jalan cerita, ke jalan cerita penerusnya. Dari kenyataan yang melenakan, pada kenyataan yang mendebarkan.
Kita tidak "kembali" ke dunia nyata, karena kita masih belum berpisah darinya. Yang terjadi hanyalah kita yang senantiasa memaknai dunia nyata sebagai dunia yang keras, penuh lika liku dan pahit getir hidup. Padahal semua bahagia, suka cita, ceria cinta, canda tawa, jugalah kenyataan kita. Kenyataan yang seringkali tergeser sebagai impian, setelah kita disibukkan untuk berkutat dengan apa-apa yang memeras pemikiran.

Mungkin, pernyataan terbaik bagi mereka yang bersiap mengarungi kelanjutan hidupnya, adalah ungkapan syukur atas berwarnanya apa yang telah ia perjalankan. Terlepas dari bahasa takdir yang tak mudah ditafsirkan. Terlepas dari persepsi yang tetap saja kita persangkakan. Terlepas dari segala rupa yang jati dirinya kita perselisihkan.

We live in the shadows and we had the chance and threw it away
And it's never gonna be the same
'Cause the years are following by like the rain
And it's never gonna be the same
'Till the life I knew comes to my house and says hello
It's good to be back

















































Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...