Kamis, 14 April 2016

Article#537 - Rekoleksi

I took a walk with my fame down memory lane
I never did find my way back

Malam baru sejenak menjumpa tepian kota.
Waktu setelah salat Maghrib adalah waktu di mana riuh rendah kota yang sempat padam kembali menemukan penyambung nyawanya. Warga kembali melaju ke lokasi-lokasi tempat mereka melantunkan usaha. Riuh-rendah disesaki pengunjung, terutama pada sebuah momen keberlangsungan bernama akhir pekan. Mereka yang meramaikan kehidupan pinggiran kota di malam itu mendulang hidup dari urat nadi yang menjaga tarikan nafas kehidupan kota supaya tetap mantap mengalirnya. Gemerlap langit senja yang baru saja mengucap suanya masih tampak menggantung lamat-lamat di angkasa. Memudarkan warna biru kelam itu perlahan, mengantarkan kemilau gemintang menuju pandangan.

Berdiri di trotoar yang masih sedikit menyisakan genangan hujan, Farid menatap lamat-lamat akan dunia di sekitarnya. Lampu-lampu jalanan dengan cahaya kekuningan lemahnya, di mana kerumunan laron beterbangan seolah mengikuti canda tawa kerumunan manusia beberapa meter di bawahnya. Aroma sisa hujan yang masih belum pudar, bercampur sengat harum rempah-rempah lokal yang diayunkan para koki dari tiap-tiap wajan penggorengan. Deru mesin motor, mobil yang diselingi sahut-menyahut klakson ketika mereka berbelok menuju tiap-tiap kios. Tenda-tenda dengan tiap-tiap spanduknya, dengan tiap-tiap ilustrasi memukaunya, dengan tiap-tiap kerumunan orang yang memenuhinya. Pejalan kaki yang tampak tergesa-gesa, berjalan dari arah kedua sisi Farid sembari berlalu menuju tiap-tiap tujuan.

Semua tampak persis sama sebagaimana yang Farid coba reka ulang di dalam kepalanya.

Memutar ulang rekaman masa yang telah lama lewat, mendaras kembali kenangan yang lama berdebu dalam kepala. Membayangkan wajah-wajah familiar melangkahkan pengembaraan menuju entah kios mana yang ramai disesaki orang.
Hingga kemudian Farid kembali menatap masa sekarang.
Menatap baliho benderang yang menerangi ujung jalan, menyorakkan tentang entah impian omong kosong macam apa.
Wajah-wajah yang berlalu-lalang itupun acapkali tampak cerah, laksana proyeksi mengerikan yang sengaja mereka buat sementara mereka mencurahkan raga pada layar.
Tak jauh dalam sapuan medan pandang, gemerlap sosok-sosok bangunan gelap dengan kerlip lampu tampak seolah sedang mengintai mangsanya. Satu dari sekian jiwa fana yang menikmati akhir pekannya bersama beragam dagangan.

Mengesampingkan mereka yang berlalu lalang di segala sekitar, Farid kembali terbenam dalam sekian dalam ingatan.
Ada yang berbeda.

You know that I gotta say time's slipping away
And what will it hold for me?



Jarum pendek pada jam kukuk yang terpajang di ruang tamu itu baru saja bertolak dari angka lima ketika Farid sekeluarga mengucapkan salam perpisahan kepada tuan rumah. Menghidupkan semarak hari raya berarti menyambung silaturahim dengan segala ragam tetangga yang bermukim sejauh sepenggalahan pandang. Dalam kasus Farid, seorang yang baru saja kembali ikut mudik setelah sekian lama menghidupi pendidikannya di seberang lautan, ini berarti rentetan pertanyaan yang mendatanginya silih berganti. Pertanyaan yang berkisar di topik yang sama pun sukses memunculkan bersit kejengahan di wajah Farid. Kejengahan yang tak lekang bahkan ketika ia menarik senyum basa-basi menyalami tuan rumah sembari menjawabi pertanyaan.
Dalam kondisi semacam ini, menyadari bahwa rentetan kegiatan telah berakhir adalah sebuah kebahagiaan yang demikian sukar dibendungnya.

Ditemani rona senja yang mulai menebar pesona. Farid berjalan menuju rumah neneknya sembari mengingat tiap-tiap wajah yang hari ini menyambutnya dengan senyum sumringah. Mereka yang kemudian dengan penuh semangat menceritakan segala macam kenangan yang mereka bisa tarik ke permukaan, tentang masa lalu sosok yang kini ada di hadapannya. Tujuh tahun adalah waktu yang sangat cukup untuk mengubah segala macam perawakan, segala macam jalan hidup yang kemudian ditetapkan, apalagi sekadar lansekap persawahan yang kini terhalang rumah demi rumah.
Menghabiskan masa kecilnya di sudut kota itu, Farid dapat dengan mudah menautkan segala lansekap yang terlintas di kepalanya dengan bentukan yang ia jumpa di dunia nyata. Lapangan di mana sepuluh tahun lalu ia mencetak gol pertamanya, gol yang melaju melampaui gawang tanpa jejaring dan berakhir tepat di jendela rumah pak RT. Kemudian serambi masjid di mana dulu ia biasa berlari-larian dengan kawannya, mengumandangkan azan keras-keras ketika belum tiba waktunya salat. Jalanan yang kemudian menurun terjal, di mana dengan sepeda yang remnya blong ia lepas kendali dan kembali ke rumah nenek bertatahkan guratan luka.

Tetapi masjid yang kemudian ia sambangi untuk mengikuti salat Maghrib berjamaah bukan lagi masjid dengan beduk kulit besar yang ia ingat. Tangan-tangan globalisasi telah menancapkan cengkeramnya hingga jauh meninggalkan hingar bingar kota besar, terus menuju apa yang senantiasa terkenang di benak Farid sebagai sebuah kampung halaman. Tidak banyak terjumpa lagi anak-anak berlarian di pelataran masjid, dan meskipun wajah-wajah yang Farid temui di dalam masjid adalah wajah yang familiar dari apa yang dikenangnya di masa kecil, mereka tidak membalas keteringatan yang sama. Bahkan jika memang mereka berhasil mengenali wujud Farid kecil sang pembuat onar di balik wajah Farid kini yang tegap dewasa, bangunan masjid yang kini megah berhiaskan jam elektronik dan kipas angin besar hanya membuat Farid serasa sedang menemui wajah-wajah itu untuk kedua kalinya. Berkenalan untuk kedua kalinya.
Seiring langkah-langkah Farid menyusuri selasar gang, sekian banyak orang yang tampak bersantai di depan rumah masing-masing pun tidak tampak mengenali sosok tanggung yang berjalan melewati depan rumahnya. Meskipun, saat ini, mungkin memang bukan itu yang Farid inginkan. Perkenalan kedua adalah hal yang menjemukan bagi seorang yang lama tak berjumpa, dan untuk hari ini Farid sudah merasa cukup banyak menanggapi kesemuanya. Warung yang dulu ramai oleh celotehan dirinya dan teman-teman masa kecilnya dulu, kini hanya berisikan gerundel bapak-bapak yang berkumpul mengisi waktu petang. Hanya semilir aroma tembakau yang mengingatkan Farid akan segala hal yang pernah terjadi di tempat ini.
Segala detail kecil yang menautkan keping-keping sanubari.
Segala alur yang terjalin lancar tanpa rasa mengalir pergi.
Segala bersit menuju kenangan manis yang takkan kembali.

Menengadahkan pandang menatap semesta yang mulai dihiasi arak awan, Farid kembali menyesapkan segala hal di sekitar menuju tiap-tiap indera. Mengamati kerlap-kerlip warna yang bergulir di sepanjang jalan. Menyimak celoteh warga yang bersahutan penuh semangat, menandingi deru mesin kendaraan. Menghirup lamat-lamat aroma makanan yang bersatu menerbitkan liur di kala asap knalpot bekerja membenamkannya. Meresapi semilir angin yang tak lagi menyejukkan, tetapi hangatnya menggerakkan keberlanjutan.

Pada akhirnya, Farid tak bisa lagi mengelak.
"Zaman berubah," Farid membatin.
Demikianlah adanya. Ia berubah.
Tak peduli apakah manusia-manusia yang dilingkupinya berjalan mengikutinya, melampauinya, atau tertinggal di belakangnya.

I thought that I heard someone say now
There's no time for running away now
Hey now!


sumber gambar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...