Jumat, 22 Februari 2013

Article#138 - Sepenggal Cerita dari Pinggir Dunia

Aku kembali, ke tempat yang sepi ini.
Tempat dimana deburan ombak dan hembusan angin merupakan satu-satunya suara yang mengisi keheningan di sore hari yang sejuk ini.
Yang kuingat dari tempat ini hanyalah tawa anak-anak yang berlarian sepanjang pantai, dan kini, ketika aku melihat pantai yang kosong, selalu terasa ada yang kurang.
Dengan simfoni alam yang terus mengalun, yang bisa kulakukan hanya duduk bersandar pada sebatang pohon kelapa, pantai ini masih terasa sepi.
Pepasir yang terhampar ini masih berhiaskan cangkang moluska yang telah lama mati, dan dan cangkang amat tua yang telah terburai menjadi butiran pasir putih.
Dan.. aku teringat kata-kata pamanku dulu, 12 tahun yang lalu.

***

"Melalui pantai ini, kamu bisa memaknai perjalanan kehidupan." kata pamanku di sore hari itu.
Aku sih tidak peduli. Perjalanan kehidupan, terserah paman saja. Yang jelas, kerang yang kuinjak tadi menyebabkan perjalananku sebelumnya terhenti, dan mungkin setelah ini aku akan disuruh pulang ke rumah nenek. Bahkan rasa sakit dari kakiku yang terluka tak terasa lagi, di tengah terik matahari yang membakar kekecewaanku. Aku masih ingin bermain lagi. Aku tidak peduli segala macam perjalanan kehidupan, namun aku masih saja bertanya.
"Maksud paman apa?"
"Maksud paman? Yakin kamu akan mengerti?
Hmm, kalaupun aku mengerti, apa aku akan peduli? Tetapi sudahlah.
"Kamu perhatikan saja, kenapa tadi kamu terjatuh?" kemudian paman melanjutkan setelah melihatku terbuai kesunyian.
"Bukannya paman jelas-jelas melihatku menginjak kerang dan lalu terjatuh?" ucapku gusar, merasa diejek.
"Iya iya, benar, paman lihat. Tetapi begini," paman mendadak mengubah ritme ucapannya menjadi lambat-lambat dan penuh penekanan, berlagak dramatis. "Kamu pernah mendapat peringkat jelek di kelas ketika pembagian rapor? Bagaimana rasanya?"
Huh, pertanyaan apa lagi ini. "Tentu saja pernah paman, dua kali malah. Rasanya... hmm, aku nggak yakin. Yang jelas aku merasa tak suka dengan peringkat yang jelek itu."
"Oke. Lalu, apa yang kamu lakukan setelahnya?"
"Karena aku nggak mau dapat nilai jelek lagi, aku belajar lebih giat."
"Nah. Seperti perjalananmu berlari di pantai tadi. Tuhan tidak menyiapkan hidup bagimu dengan mulus tanpa cacat. Dalam perjalanan yang kamu lalui, sudah ada berbagai macam hambatan yang mungkin akan kamu hadapi di perjalanan. Entah itu cangkang kerang, kepiting, atau ombak kuat yang terus menerpa. Yang perlu kamu lakukan hanya terus maju dan tetap bangkit setiap kali kamu terjatuh. Termasuk ketika kamu menginjak kerang dan melukai kakimu tadi."
Aku sudah menduga, paman seharusnya jadi sutradara operet. Tetapi aku tidak mengatakan apa yang ada dalam pikiranku, dan membiarkan paman melanjutkan. Paman kemudian bertanya,
"Kamu tahu, darimana ini berasal?" sembari menunjukkan sebuah cangkang kerang yang barusan diambilnya.
"Dari kerang, tentu saja." jawabku sedikit bingung.
"Dan pasir putih ini?"
"Aku tidak tahu."
"Begini, kau tahu kan kerang yang biasa dijajakan di pasar sana? Kerang-kerang disini, mereka dulunya juga kerang yang hidup dan menghiasi dasar lautan, sebagaimana yang lainnya di pasar sana. Tubuh mereka lemah dan begitu lembek, karenanya mereka berlindung di dalam cangkang yang melindungi mereka dari bahaya. Dengan adanya cangkang inilah, mereka bisa tetap bertahan dan tumbuh besar, sejalan dengan bergulirnya hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun. Tentunya makin kuat cangkang yang dimiliki, makin besar kemungkinan kerang untuk terus melanjutkan hidupnya, sebagaimana jalan hidup kawan-kawannya sesama moluska.
Sama saja seperti jiwa-jiwa yang bertahan dalam derasnya arus waktu. Jiwa-jiwa yang lemah dan ringkih itu, tak akan lama bertahan di tengah gempuran entah apa saja partikel yang diboyong oleh arus waktu yang tak pernah bisa dihentikan siapapun. Jiwa-jiwa ini butuh 'rumah', tempat mereka bisa merasa aman, merasa tenteram, dan merasa bebas untuk mengembangkan dirinya sebaik mungkin. Rumah yang disebut kepribadian, dan dibangun dengan kumpulan budi pekerti. Banyak jiwa yang merasa tak puas dengan cangkangnya yang mereka rasa terlalu lemah, atau tidak cocok dengan mereka, sehingga mereka mencari cangkang yang lain. Tetapi, kapankah mereka tahu cangkang mana yang terbaik dan ternyaman untuk mereka? Padahal mereka bisa membuatnya sendiri, tetapi jiwa-jiwa itu tak mau membuang waktu hanya demi cangkang baru mereka.
"Dan juga," paman memberikan tekanan dalam kata-katanya, mungkin melihat diriku sedikit terkantuk-kantuk berkat angin darat yang seru. "Pasir-pasir ini, mereka berasal dari cangkang yang tergerus zaman dan terpecah-pecah menjadi butiran kecil. Itulah mengapa warnanya sangat cemerlang." Sudah kuduga, si Dodi bohong. Jelas bukan karena pemutih.
"Bayangkan, kerang-kerang yang semula menjadi pelindung tubuh-tubuh lemah kerang yang ingin bertahan hidup, pada akhirnya pasti akan tertinggal dan dimakan zaman hingga menjadi serbuk pasir yang tidak lagi bisa melindungi. Ingat, tidak ada satupun yang kekal. Jangan pernah bergaya macam-macam dengan segala yang kaupunya, segala yang kauperoleh, semuanya itu tidak kekal. Dan bisa hilang darimu kapan saja, tanpa kamu menduganya. Teruslah waspada dalam hidup, dan jangan pernah jumawa."
....

Pikiranku kembali ke masa kini yang masih meniupkan angin. Aku sendiri tak sepenuhnya paham apa yang beliau katakan saat itu. Bahkan aku juga tak sepenuhnya ingat apa saja yang dia ucapkan saat itu. Namun, seiring berlalunya waktu, jawaban-jawaban itu satu persatu kutemukan.
Sejujurnya aku tak begitu peduli, kemana kaki-kaki ini akan melangkah. Aku bahkan masih berkutat dalam cangkangku yang sekarang, dan tetap memaksa bertahan walaupun nyatanya aku sudah tidak bisa menempatinya lagi. Aku masih terbuai dengan melodi menyenangkan yang biasa kudengar ketika mendengarkan bunyi di dalam cangkang kerang. Kau tahu kan kawan, kalau orang-orang bilang, ketika kau melakukannya, kau akan mendengar deburan ombak. Padahal deburan ombak tak pernah tertinggal di dalamnya. Yang ada hanyalah bunyi yang ada di sekitar, yang terkumpul dan merasuk ke dalam otakmu melalui telinga. Dan masih banyak yang terbuai dalam cangkangnya masing-masing, akibat mengira melodi indah dari pantai yang indah masih bisa terngiang di kepala mereka.
Ah, betapa banyak orang terbuai ilusi. Meskipun begitu, tak bisa kupungkiri, dunia memang indah untuk diamati dan disyukuri. Di hadapanku, perlahan sang matahari mulai menyembunyikan dirinya di balik cakrawala. Aku hanya bisa menyaksikannya terbenam perlahan-lahan, dan seiring hilangnya citra bulat merah itu, muncul suara adzan bersahutan.
Saatnya pulang.

Hari 6528, ketika jiwa yang tersesat tak tahu kemana harus pulang.
Dicetuskan dalam penantian perjalanan,
Selasa, 19 Februari 2013, 07:06 (UT+8)
2°44'25.55"N, 101°43'11.88"E

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...