Entah sih saya mau apa dengan judulnya. Tapi lupakan lah, yang penting fokus ke cerita.
Postingan yang satu ini saya buat berkenaan dengan 'pesenan' dari beberapa anak yang pengen membantu adek kelas kami di IC dalam menapaki perjuangan menuju dunia perkuliahan, yang mirip-mirip es krim Feast: kulitnya keras, tapi kalau ditekan terlalu kuat malah bocor eskrimnya ke luar. Supaya enak ceritanya, saya mau cerita dari awal aja. Bener-bener dari awal.
Entah apa ada cipta di dalamnya, kalaupun ada itu bukan bahasan disini. Saya tak yakin bisa menciptakan bahkan sebuah kegilaan akut tanpa henti supaya bisa punya alasan untuk libur, misalnya. Saya masukkan hanya supaya pas tiga kata (terus kenapa?).
Catatan sebelum mulai: Ini bagian pertama, bertema cita. Bagian kedua bisa anda lihat disini.
Lanjutkan baca »
Postingan yang satu ini saya buat berkenaan dengan 'pesenan' dari beberapa anak yang pengen membantu adek kelas kami di IC dalam menapaki perjuangan menuju dunia perkuliahan, yang mirip-mirip es krim Feast: kulitnya keras, tapi kalau ditekan terlalu kuat malah bocor eskrimnya ke luar. Supaya enak ceritanya, saya mau cerita dari awal aja. Bener-bener dari awal.
Entah apa ada cipta di dalamnya, kalaupun ada itu bukan bahasan disini. Saya tak yakin bisa menciptakan bahkan sebuah kegilaan akut tanpa henti supaya bisa punya alasan untuk libur, misalnya. Saya masukkan hanya supaya pas tiga kata (terus kenapa?).
Catatan sebelum mulai: Ini bagian pertama, bertema cita. Bagian kedua bisa anda lihat disini.
***
Cerita tentang cita.
"Apa cita-cita kalian?"
Itu pertanyaan yang begitu sering menyusup ke otak kita melalui telinga, hati dan sanubari kita di masa-masa awal pendidikan. Saya masih cukup ingat bagaimana saya seringnya hanya terdiam membeku ketika ada yang menanyakan cita-cita. Jelas, sebagai anak TK, tahu apa saya soal perencanaan dan tujuan hidup? Yang saya tahu palingan main game, buku dan sekumpulan anak tidak jelas di TK. Karena bingung dan sang guru menuntut jawaban, akhirnya saya berikan jawaban sekenanya. Ketika lagi senang main game perang, saya bilang mau jadi tentara. Ketika lagi senang main game pesawat, saya jawab saja 'jadi pilot'. Tapi, jawaban tanpa makna. Saya lihat anak-anak lain begitu antusias menyebutkan bagaimana mereka melihat diri mereka di masa depan. saya akui, bagi sebagian besar orang, sangat menyenangkan melihat anak-anak menyatakan impian dan citanya, tetapi saya tak tahu harus menjawab apa.
Dan itu terus berlanjut hingga SD dan SMP. Seiring berlalunya waktu, saya mulai berpikir bahwa kebanyakan profesi yang dahulu saya sebutkan sebagai cita-cita, tidak sepenuhnya saya senangi. Tetapi terkadang pertanyaan semacam itu tetap ada, dan seiring dengan hilangnya 'kepercayaan' saya akan cita-cita yang biasa saya dengungkan sebatas suara dari mulut belaka itu, saya jadi makin bingung harus menjawab apa. Untungnya, dengan kepribadian yang jarang serius, saya bisa sedikit mengakali (baca: mengelak) pertanyaan tersebut dengan jawaban yang sedikit retorik: 'Masuk surga' atau 'Berguna bagi bangsa dan negara', tanpa pernah menyebutkan secara spesifik berupa sebuah profesi atau apapunlah itu. Bahkan keputusan saya untuk melanjutkan ke bangku sekolah berasrama ditentukan sepekan menjelang penutupan pendaftaran.
Sebagai seorang anak manusia tanpa cita-cita yang konkret (yang paling konkret saja berupa memberi kontribusi bagi bangsa dan negara, tipikal nian ya..), saya memasuki MAN dengan berbagai pertanyaan seputar kelanjutan studi. Mau dibawa kemana diri ini? Maunya sih, menjadi orang yang berguna. Tetapi, lewat mana?
Saya masih ingat, sejak kelas 10 sudah ada beberapa anak yang memantapkan tujuan mereka, seperti pilihan jurusan (apakah ilmu alam ataupun ilmu sosial), atau bahkan jurusan kuliah masing-masing. Ada yang sudah yakin dan berusaha keras untuk mencapai jurusan kedokteran. Ada yang mendambakan jurusan hubungan internasional. Ada yang ingin jadi presiden, banyak lah. Dan saya, seperti biasa, hanya mendengarkan sembari sedikit mengomentari atau menertawakan diri sendiri secara satiris dan tersembunyi.
(musik dimatikan) Tentu saja ceritanya tidak se-melankolis itu.
Dan selanjutnya, bahkan hingga kelas 12, dimana rekan-rekan seperjuangan saya sudah mulai mencoba mengguratkan jalur hidup mereka sesuai Peta Hidup masing-masing (ohiya, pada Oktober-November 2010 saya dan seluruh rekan seperjuangan dan seangkatan saya diminta mengguratkan rencana hidup dalan sebuah rangkaian gambar bertema kronologis yang dinamai Peta Hidup. Meskipun saya tahu program tersebut bagus, tetapi dengan kondisi hidup saya yang tak terencana, bagaimana saya akan bisa mengguratkan sebuah peta kronologis yang indah?), yang saya lakukan terkait rencana kuliah kebanyakan hanya mendengarkan kata-kata orang, manggut-manggut, dan berjalan pergi sambil terkadang menghapusnya dari memori. Sebenarnya, terima kasih kepada program Muatan Lokal, saya mendapatkan ketertarikan untuk berkecimpung dalam dunia bisnis. Tetapi saya tak penah memikirkannya secara benar-benar serius, paling tidak sampai muncul program bimbingan kuliah dan beberapa orang dengan gelar sarjana di bidang psikologi berusaha mengorek bakat dan minat saya beserta rekan seperjuangan. Saya pernah mendengar usulan 'bidang matematika', 'bidang manajemen', 'bidang linguistik dan literatur', meskipun sebenarnya hampir semuanya berasal dari komentar saya sendiri. Bahkan jawaban sang psikolog pada akhirnya adalah "Kamu bisa memilih dimana saja, yang penting kamu menyukainya". Wah, tidak banyak membantu. Tetapi tak apa, karena saya memang tak begitu mengharap bantuan mereka.
Akhir masa studi makin dekat, dan delegasi dari berbagai universitas mulai datang menawarkan bangku kuliah (bukan 'bangku' secara harfiah) kepada saya dan para rekan seperjuangan. Beberapa saya ikuti, dan beberapa lainnya tidak, tentu saja. Dan nampaknya mulai dari sinilah cerita menuju bangku kuliah dimulai.
Kepada orang-orang dan rekanan saya yang bertanya, jawaban sudah mulai bergeser dari jawaban bertema idealis yang tadi, ke arah studi yang lebih konkret. Seringnya saya menjawab 'bisnis', 'manajemen' atau 'linguistik', pilihan yang saya akui tidak umum bagi seorang anak IPA, apalagi seorang anak IPA yang saat itu masih cukup tekun menggeluti bidang astronomi. Tetapi yah peduli amat, kuliah toh untuk belajar, kan? Bukan untuk cari kerja, apalagi cari gengsi. Paling tidak, itulah pendapat saya.
Tetap saja, pertanyaan yang sama tetap muncul: Kalau begitu, terus kau mau kemana? Apa kau tahu ada apa di depan sana?
Banyak persimpangan di depan. Jika kau telah tentukan tujuan, akan mudah untuk menentukan kemana kau harus menuju. Meskipun jalanmu bisa saja berubah, paling tidak kau dapat segera menemukan kembali rute yang tepat menuju akhir perjalanan yang kau inginkan.
Lalu bagaimana jika belum tahu tujuan perjalanan...?
Dasar gendeng!! Tak tendang saja kau...!! Ya tentukanlah segera? Atau kau akan biarkan angin ketidaktahuan membawamu entah kemana, atau lebih parah lagi, tak bisa kemana-mana?
Mungkin sebuah cita tanpa cerita tak akan banyak artinya, tetapi sebuah cerita tanpa cita akan kehilangan jiwa sejatinya. Sehingga, baik kau membaca cita ataupun cerita, jangan tanggalkan dan tinggalkan salah satunya. (:g)
(bersambung ke Bagian 2)
Sebagai seorang anak manusia tanpa cita-cita yang konkret (yang paling konkret saja berupa memberi kontribusi bagi bangsa dan negara, tipikal nian ya..), saya memasuki MAN dengan berbagai pertanyaan seputar kelanjutan studi. Mau dibawa kemana diri ini? Maunya sih, menjadi orang yang berguna. Tetapi, lewat mana?
Saya masih ingat, sejak kelas 10 sudah ada beberapa anak yang memantapkan tujuan mereka, seperti pilihan jurusan (apakah ilmu alam ataupun ilmu sosial), atau bahkan jurusan kuliah masing-masing. Ada yang sudah yakin dan berusaha keras untuk mencapai jurusan kedokteran. Ada yang mendambakan jurusan hubungan internasional. Ada yang ingin jadi presiden, banyak lah. Dan saya, seperti biasa, hanya mendengarkan sembari sedikit mengomentari atau menertawakan diri sendiri secara satiris dan tersembunyi.
(musik India mengalun) Akankah cahaya penerang menuju jalan tersebut datang? |
Dan selanjutnya, bahkan hingga kelas 12, dimana rekan-rekan seperjuangan saya sudah mulai mencoba mengguratkan jalur hidup mereka sesuai Peta Hidup masing-masing (ohiya, pada Oktober-November 2010 saya dan seluruh rekan seperjuangan dan seangkatan saya diminta mengguratkan rencana hidup dalan sebuah rangkaian gambar bertema kronologis yang dinamai Peta Hidup. Meskipun saya tahu program tersebut bagus, tetapi dengan kondisi hidup saya yang tak terencana, bagaimana saya akan bisa mengguratkan sebuah peta kronologis yang indah?), yang saya lakukan terkait rencana kuliah kebanyakan hanya mendengarkan kata-kata orang, manggut-manggut, dan berjalan pergi sambil terkadang menghapusnya dari memori. Sebenarnya, terima kasih kepada program Muatan Lokal, saya mendapatkan ketertarikan untuk berkecimpung dalam dunia bisnis. Tetapi saya tak penah memikirkannya secara benar-benar serius, paling tidak sampai muncul program bimbingan kuliah dan beberapa orang dengan gelar sarjana di bidang psikologi berusaha mengorek bakat dan minat saya beserta rekan seperjuangan. Saya pernah mendengar usulan 'bidang matematika', 'bidang manajemen', 'bidang linguistik dan literatur', meskipun sebenarnya hampir semuanya berasal dari komentar saya sendiri. Bahkan jawaban sang psikolog pada akhirnya adalah "Kamu bisa memilih dimana saja, yang penting kamu menyukainya". Wah, tidak banyak membantu. Tetapi tak apa, karena saya memang tak begitu mengharap bantuan mereka.
Akhir masa studi makin dekat, dan delegasi dari berbagai universitas mulai datang menawarkan bangku kuliah (bukan 'bangku' secara harfiah) kepada saya dan para rekan seperjuangan. Beberapa saya ikuti, dan beberapa lainnya tidak, tentu saja. Dan nampaknya mulai dari sinilah cerita menuju bangku kuliah dimulai.
Kepada orang-orang dan rekanan saya yang bertanya, jawaban sudah mulai bergeser dari jawaban bertema idealis yang tadi, ke arah studi yang lebih konkret. Seringnya saya menjawab 'bisnis', 'manajemen' atau 'linguistik', pilihan yang saya akui tidak umum bagi seorang anak IPA, apalagi seorang anak IPA yang saat itu masih cukup tekun menggeluti bidang astronomi. Tetapi yah peduli amat, kuliah toh untuk belajar, kan? Bukan untuk cari kerja, apalagi cari gengsi. Paling tidak, itulah pendapat saya.
Tetap saja, pertanyaan yang sama tetap muncul: Kalau begitu, terus kau mau kemana? Apa kau tahu ada apa di depan sana?
Banyak persimpangan di depan. Jika kau telah tentukan tujuan, akan mudah untuk menentukan kemana kau harus menuju. Meskipun jalanmu bisa saja berubah, paling tidak kau dapat segera menemukan kembali rute yang tepat menuju akhir perjalanan yang kau inginkan.
Lalu bagaimana jika belum tahu tujuan perjalanan...?
Dasar gendeng!! Tak tendang saja kau...!! Ya tentukanlah segera? Atau kau akan biarkan angin ketidaktahuan membawamu entah kemana, atau lebih parah lagi, tak bisa kemana-mana?
Mungkin sebuah cita tanpa cerita tak akan banyak artinya, tetapi sebuah cerita tanpa cita akan kehilangan jiwa sejatinya. Sehingga, baik kau membaca cita ataupun cerita, jangan tanggalkan dan tinggalkan salah satunya. (:g)
(bersambung ke Bagian 2)