Kamis, 31 Maret 2016

Article#532 - Restorasi


Kembali ke haribaan.
Momen di mana janji jumpa kembali tertaut, salam perpisahan kembali terucap, dan mendadak sekelumit kulit tangannya yang terentang untuk bergerak kiri-kanan menjadi salah satu hal yang demikian terkenang dalam kepala. Seakan lewat pori-pori sidik jari di tangan itulah seorang manusia bisa menaruh secuil asa untuk kembali menjemputnya, kelak, suatu saat. Seakan hidup yang terus menggores laju akan kembali menghapus taut demi taut, gurat demi gurat. Seakan semua itu memang perlu dirayakan sedramatis apa yang mungkin digambarkan oleh sebagian kita: isak tersipu, celoteh mendayu, lirih menyerbu.
Walau tentunya, pada aslinya memang tidak demikian berlebihan.

Tumbuh dalam lingkungan sekolah berasrama, di mana terdapat perjumpaan hampir setiap hari dengan para rekan seperjuangan, agaknya akan memunculkan keakraban antar tingkah laku satu dengan yang lain. Dari sini dapat muncul ikatan kuat, yang kemudian terasa demikian susahnya tercerabut manakala tiba waktunya untuk berpisah. Mungkin sebagian kalian masih ingat betul, di masa- masa yang demikian ini, akan betapa sebagian rekan-rekan akan kemudian mengisi hari demi hari dengan meluapkan rasa kangen A, kangen B, kangen C dan kangen-kangen seterusnya. Untungnya bukan kangen band. Dan setiap kali luapan itu muncul dalam beragam bentuknya, entah kilas balik masa-masa indah di sekolah, atau ungkapan betapa sulitnya muv on menuju langkah hidup selanjutnya, ada yang hanya bisa melongo bingung. Tidak mengerti mengapa bisa begitu.

Mengapa seseorang bisa demikian terikat pada sesuatu, itupun saya tak kunjung sepenuhnya paham. Terikat oleh keluarga, kampung halaman, almamater, negara. Oke, dengan pengecualian untuk keluarga, yang barangkali merupakan hal yang paling sentimental bagi sebagian besar kita, dan seupaya mungkin dijaga keakrabannya. Tetapi kampung halaman? Almamater? Negara?
Sebagai anak yang besar dari kompleks perumahan yang biasa saja, tak berarti di tengah lautan permukiman metropolitan, saya mendapati minimnya akar kuat yang menyatukan saya dengan daerah asal, daerah saya tumbuh besar.
Di satu sisi, hal ini akan sangat membantu jika kamu kemudian melanglang buana jauh meninggalkan negara yang biasa kamu kenal. Dan bagi saya efeknya hingga saat ini sudah sedemikian besar: tidak ada rindu teramat sangat akan apa yang biasa terjumpa dalam keseharian di daerah asal. Tidak ada rasa terkejut mendapati perbedaan mendasar dari apa yang biasa dikenal dan apa yang kelak akan perlu dibiasakan untuk dikenal. Berlebaran di luar kampung halaman? Serasa bukan masalah. Menjadi minoritas? Serasa kurang diistimewakan saja.

Tetapi di sisi lain, keadaan seperti ini terkadang memicu munculnya pertanyaan akan sebuah identitas. Saya, dari petak kehidupan yang biasa-biasa saja, dengan perjalanan hidup yang biasa-biasa saja, tidak memiliki banyak cerita untuk dituturkan tanpa henti ketika berhadapan degan berbagai warga dunia dari berbagai latar belakang bangsa, bahasa, atau budaya. Bagi orang macam saya, ini adalah sesuatu yang tidak menyenangkan.
Maka, seolah sudah digariskan takdir, saya memutuskan, senantiasa, untuk mendamba langkah yang lebih jauh dari sebelumnya. Langkah yang lebih gila, yang berbeda, semata karena saya hendak menyusun larik demi larik naskah untuk terus digariskan hingga kembali ke haribaan sesungguhnya kelak. Langkah yang dapat mengenyahkan saya dari hidup yang biasa-biasa saja, kelanjutan yang biasa-biasa saja. Untuk mencerabut jiwa raga dari keadaan membosankan yang bisa saja tak berkesudahan.

Saya melangkah, meninggalkan pertiwi yang didamba sekian banyak jiwa. Merestorasi identitas melalui tiap jejak di muka dunia.

Now you understand 
That this is not the promised land they spoke of
There's nothing more to be
If you can be the remedy who heals love

















































2 komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...