Jumat, 11 Juli 2014

Article#317 - Setangkup Es Krim


Setangkup es krim itu bergetar lembut di tanganku. Sejuk, gemetar, setengah beku.
Kuciduk perlahan tiap gumpal es krim dalam kalem. Sesekali sedikit, sesekali banyak hingga kepala pusing akibat perubahan suhu yang jauh. Ada sensasi yang membuatku mencandu, pada getar dinginnya yang bertalu-talu. Ada rasa yang terus berseru, seolah menyuarakan diri lewat tiap ucapku.

Ada tawa menyeruak dari kawan di sebelahku. Tawa pengisi senja hari itu, tawa ceria mereka yang bercengkrama di balik ragam sibuk. Mungkin hanya perbedaan dalam bahasa, busana dan bergaya yang mencirikan mereka sebagai anak rantau. Para pembeda yang tengah memeras prestasi lewat giling waktu.
Ya, ada tawa. Di mana-mana. Entah sebanyak apa yang tak kuhiraukan.

Beberapa cuplik cerita nampak berkilat dari gumpal es krim yang kuciduk. Seolah ingin menceritakan seisi wujudnya dalam sungguh. Tempo dunia bagai melambat, sementara aku terduduk. Bagai penonton yang setia, menyaksikan tiap keping drama mengalir sebelum tersantap.
Kusaksikan dengan takzim, kilatan kisah seorang anak bodoh dengan es krimnya, menetes ke sana kemari. Kusaksikan dengan teliti, gurat-gurat cerita lama, yang dengan bodoh kutelisik dari tekstur es krim dalam genggaman. Seolah buih-buih yang menyeruak memutar ulang percakapan yang pernah terlintas. Seolah aliran krim yang telah melemas mewakili nyali yang sebelum waktunya telah terempas.

Beramai orang pernah mengomentari kebiasaanku dalam menciduk es krim. Perlahan, tenang, hingga terlalu santai. Semua komentar hanya kujawab sekenanya, sementara kepalaku sendiri bertanya-tanya. Mungkin aku terlalu menghayati setiap cidukan. Mungkin aku jadi terlampau santai akibat terbawa aliran. Atau mungkin aku demikian antusias mendengarkan bait-bait cerita. Walaupun akal sehat menamparku, mengingatkan bahwa tidak ada es krim yang bercerita kepada pembelinya. Apalagi hingga berderai canda tawa. Iya, sepertinya seseorang terlalu sibuk memperhatikan pantulan dari apa yang telah lewat. Hingga dilihatnya pantulan dari segala arah. Tetapi, tidak juga. Pantulan dari aliran krim itu tetap menempati posisi spesial.
Di akhir kalimat, kesemuanya tetap menjadi alasan.

Aku sempat tak sadar kalau aku tak lagi memperhatikan es krim. Sibuk menyelusup bait cerita yang sibuk bercerita dalam kepala. Hingga setetes es krim yang hampir menetes membawaku kembali ke alam nyata. Tersadar. Berpaling.
Hampir saja aku diseret pikiranku untuk kembali berkelana. Tetes es krim yang tumpah. Kenaifan yang membuncah. Semua seolah disuarakan kompak. Es krim yang sedari tadi kugenggam, kini menyisakan krim yang telah cair. Menghangat dalam sekejap akibat hangatnya cerita yang datang. Krim yang bercampur aduk dalam ragam warna. Seolah mewakili dunia yang menertawakanku bersama kenyataan.
Aku kalah. Pikiranku diseret pergi. Kembali ke masa itu.
Tempat itu.
Sosok itu.
Canda tawa itu.
Kerjap sore itu.

Ketika berhasil kembali ke dunia nyata, kuputuskan menenggak seisi krim cair itu. Bersama segenap cerita yang kubiarkan menceramahi kerongkongan dan lambungku. Gelas dan sendok plastik itu duduk membisu. Dan di hadapan mereka, sorot mataku tertawa parau.
Adalah sebuah kepastian bagi setangkup es krim untuk meleleh, ketika ia ada di tanganmu. Kecuali tanganmu lebih beku dari keping salju.
Maka ia melelehlah. Lelehan berisi kerjap, yang terasa meneriakiku.
Kucoba menyimak lagi bagai orang sakit. Katanya, uang tidak bisa membeli kebahagiaan. Tetapi, dengan uang, aku bisa membeli es krim. Dan bagiku, es krim sama saja dengan kebahagiaan.
Telingaku tertawa renyah, dan kubiarkan ceramah es krim sore itu. Menampung, menggelembung dalam teduh.

sumber gambar

9 komentar:

  1. giaaaan :') remember something? :')

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ahaha, moga-moga aye nggak salah tebak atas makna "something" di sini.

      Kalau bener, insyaaAllah kulunasi ketika ada kesempatan (y)

      Hapus
    2. bukaaan, bukan itu. aku ga nganggep itu utang, jadi ga harus dibayar gi, gapapaa~~ :D

      jadi inget tulisan di kaos joger : janji adalah hutang, tapi bukan berarti hutang dibayar dengan janji :PP

      Hapus
    3. Waks salah tebak dong~ Jadi penasaran, sebenernya "something" itu apa (?)

      Iyalah, hutang dibayarnya kan dengan pelunasan.
      Kalau dibayar dengan janji, sementara janji adalah hutang, berarti kesimpulannya hutang dibayar dengan hutang dong :v

      Hapus
    4. ._. ahahaha

      something itu ya cuman tiga eskrim depan RO aja sih :v hehe

      Hapus
    5. Hoo, meleset dikit lah tebakannya :v

      Eh itu makannya di dalem RO kali :v

      Hapus
    6. ampuuun, gian detail sekali orangnya :"

      Hapus
    7. Detailnya ikut nempel sama ingatan tentang momen disuruh ngabisin 3 es krim berturut-turut :v

      Hapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...