Senin, 02 Juni 2014

Article#301 - Selamat Datang Pahlawan Muda

Selamat datang pahlawan muda
Lama nian kami rindukan dikau
Bertahun-tahun bercerai mata
Kini kita dapat berjumpa pula
Dengarkan sorak gempita
Mengiringi derap langkah perwira
Hilangkan rindu
Dendam ibumu
Selamat datang di Jakarta Raya

Selamat datang pahlawan muda
Lama nian kami rindukan dikau
Bertahun-tahun bercerai mata
Kini kita dapat berjumpa pula
Dengarkan sorak gempita
Mengiringi derap langkah perwira
Hilangkan rindu
Dendam ibumu
Selamat datang di Jakarta Raya

© Ismail Marzoeki. 1949

***

Nama Ismail Marzoeki (1914-1958) termasuk dari nama-nama seniman dan komponis lagu Indonesia yang masih familiar di telinga warga Indonesia hingga saat ini. Diresmikannya Taman Ismail Marzuki (TIM) di bilangan Cikini, Jakarta Pusat, mungkin turut andil dalam menggaungkan hingar nama beliau hingga saat ini. Kepopuleran taman yang diresmikan 10 tahun setelah wafatnya Ismail Marzoeki tersebut cukup disokong dengan adanya Planetarium Jakarta dan Institut Kesenian Jakarta yang ikut bernaung dalam cakup lindung taman.
Meskipun puluhan lagu tergubah sebagai karya-karyanya, lagu Rayuan Pulau Kelapa beliau tetap menjadi yang paling terkenal, berkat siaran TVRI di masa Orde Baru yang konon setia memutarkan lagu tersebut di akhir acara televisi.

Sayangnya, penulis tidak mendapatkan cukup bahan untuk menuliskan bagian ini lebih lanjut, lebih jauh. Mungkin ada hubungannya dengan rentang waktu yang cukup jauh antara tergubahnya lagu dengan tercurahnya tulisan ini. Atau, penulis hanya kurang telaten mencari.

Baiklah, ayuk mendengarkan.


*****

Ketika mencoba mengingat kapan pertama kali saya mendengar lantunan lagu ini, ingatan saya hanya sampai ke suatu waktu dimana saya berusaha mencari, seperti apa Rayuan Pulau Kelapa yang sudah penulis singgung sebelumnya. Sebuah pencarian yang berakhir dengan sedikit kekecewaan karena isi liriknya tidak memuat unsur "rayuan" yang dibayangkan terjeratnya penulis dalam mengeklik tautan demi tautan video lagu setipe yang demikian berlimpah. Ya, ketika mendengar dendangnya, sesekali muncul unsur déjà vu yang akhirnya menguap begitu saja karena tak bertemu dengan ujung jalan.

Demikian, sampai rekan saya Iskandar yang konon menjadi idola para wanita itu mencantumkan judul tersebut di laman Tumblr-nya beberapa hari yang lepas. Juga kapan lagu terkait dikumandangkan.

Wisuda.
(hati-hati, mungkin tulisan selanjutnya sedikit melantur dan beraroma galau. Maafkan saya.)

Jujur saja, sebagai salah satu individu yang ikut menjalani prosesi wisuda dari awal hingga akhir, otak saya waktu itu entah bagaimana tak merekam detik demi detiknya. Mungkin saya sibuk memikirkan bagaimana saya akan bertahan dalam pose yang sama dalam beberapa waktu ketika dipanggil ke panggung bersama dengan kawan-kawan yang lain. Mungkin saya tak sabar menanti apa yang pecah nanti ketika prosesi berakhir (meskipun belakangan saya bersyukur, tidak ada perpecahan yang mengganggu kekhidmatan prosesi saat itu). Yang bisa saya jamin adalah bahwa otak saya waktu itu tak terbenam dalam euforia, setelah berkesempatan berdiri satu panggung dengan idola para wanita yang namanya saya sebut sebelumnya. Bagaimanapun juga saya masih 'normal', saya harus tekankan itu.

Bukan kebetulan pula, jika saya mengetikkan kata-kata ini hampir tepat dua tahun setelah semua itu berakhir. Lebih tepatnya memang disengaja. Apalagi dua hari yang lalu, almamater saya kembali meloloskan wisudawan-wisudawati baru. Sedikit dosis survei di media sosial akan dengan mudah menguarkan semerbak dengan berbagai curahan kegalauan, keharuan dan tertawaan mereka yang baru melangkah keluar dari gerbang almamater. Rasanya senang yah keluar, meskipun sebenarnya mereka masih harus memasukinya lagi dalam beberapa waktu ke depan untuk mengurus legalisasi ijazah dan kawan-kawannya.
Tetap saja, waktu-waktu begini tiap tahunnya akan menampilkan sindrom galau pasca wisuda yang dirasakan sedemikian rupa oleh lulusan baru. Sindrom yang juga merembet ke alumni di angkatan-angkatan sebelumnya.

Bagaimanapun juga usangnya putaran memori otak saya ketika diminta mengulang momen demi momen kembali ke muka, ada yang tetap terngiang dalam kepala. Mungkin karena gayanya yang tak biasa. Yang saya ingat, saat itu hanya beberapa jam sebelum kami semua harus berjalan mantap dengan setelan lengkap menuju lokasi acara. Tetapi, beberapa kawan memutuskan menggelar lapak di belakang asrama.
Lapak tentunya tak lengkap tanpa makanan, dan makanan memang perlu dihabiskan. Untuk apa lagi makanan kalau bukan untuk dimakan? Dan tentu saja, memakan makanan paling seru ketika dilakukan beramai-ramai. Maka beberapa kawan yang mempelopori lapak ini sukses dalam menarik beberapa individu lain yang butuh keceriaan pagi hari, butuh secemil gizi, atau butuh pengusir balada pagi.

Namanya anak muda yang berkumpul (re: sok muda), kurang menggigit ketika hanya sunyi yang menghimpit. Maka keluarlah alat-alat pembuat ramai, baik berupa instrumen, atau cukup dengan pita suara. Yang jelas, satu momen itu sukses mengusir kejenuhan menjelang persiapan perpisahan. Kan sedih, mau berpisah aja, pakai siap-siap segala. Huft. Dokumentasi mungkin cukup berbicara mewakili diri saya yang terbata dengan patah-patah kata. Meskipun sedikit pudar fotonya, ingatan di kepala semoga tak pudar. (Maaf klise.)

Dasar anak muda. (re: sok tua). Sumber
Semoga banyaknya garis coretan yang penulis bubuhkan di tulisan ini tidak mencoret-coret kenangan indah yang telah terlukiskan. (Maaf klise lagi.)

Akhir kata, sepertinya penulis hanya akan menyampaikan, bahwa masa-masa paling indah, adalah masa di Madrasah 'Aliyah. Maka senantiasa syukurilah, dengan menjaga ukhuwah.
Semoga kita termasuk orang-orang yang mensyukuri nikmat-Nya.

2 komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...