Minggu, 08 Februari 2015

Article#387 - Kulminasi

Kita acapkali menafsirkan atas sebagai sesuatu yang baik. Hal ini diejawantahkan dalam berbagai sisi dalam bahasa yang biasa kita gunakan tiap hari. Istilah "naik kelas", "lebih", "peningkatan", "mengangkasa", juga beragam istilah lainnya yang menyiratkan "perbaikan" sembari menyuratkan "kenaikan", barangkali jamak kita gunakan dalam percakapan. Tentunya dengan lawan kata yang mengisyaratkan "pemburukan" dalam bungkus "penurunan".

Saya tak yakin bagaimana konsep "atas adalah baik" yang tersirat dari contoh di atas pertama kali dikembangkan. Barangkali ada kaitannya dengan fakta bahwa kita lebih mudah meluncur ke bawah dari pada mendaki ke atas. Atau berkaitan dengan fakta bahwa raga kita senantiasa tertahan pada arah bawah, menghimpun demikian banyak kenampakan di daerah "atas".
Kedua hal ini mungkin bisa ditelusuri akarnya dari keberadaan gaya gravitasi yang menjaga raga tetap berpijak di muka Bumi; mengingat pendefinisian kita akan "atas" dan "bawah" sendiri berakar dari konsep gravitasi.
Bergerak ke arah bawah, artinya bekerjasama dengan gaya gravitasi Bumi, yang berarti kita tak perlu repot-repot berusaha. Sebaliknya, usaha bergerak ke atas berarti melawan gaya gravitasi Bumi, yang berarti kita perlu mengerahkan usaha ekstra.
Tambahkan kecenderungan manusia yang lebih mendambakan sesuatu yang tidak dapat begitu saja didapatkan, maka rasanya wajar-wajar saja jika konsep "atas" dinilai lebih berharga bagi para manusia.

Maka manusia mulai berusaha menggapai pijakan yang lebih tinggi.
Mereka yang iri dengan kemerdekaan bangsa burung di udara, mungkin mencoba mengakui betapa raga fana mereka tak dirancang untuk memerdekakan raga jauh ke atas. Kalau kata orang bijak, "emosi adalah sumber energi", sehingga rasa iri tersebut kemudian berkecambah menjadi upaya mewujudkan mimpi manusia memerdekakan raga mereka. Atau, setidak-tidaknya, menggapai titik paling "atas" yang mereka bisa capai.
Di satu sisi, berkembang serangkaian peralatan yang dirancang menyangga beban raga manusia untuk tetap melayang di udara. Penyangga ini terus berkembang menjadi kendaraan, yang membawa manusia menjelajahi udara tipis negeri di balik awan.
Di sisi yang lain, berkembang serangkaian peralatan yang membantu manusia menjaga kondisi raga fana mereka tetap prima, sementara mereka menggapai puncak-puncak tertinggi yang dijumpa.

Perlahan, puncak-puncak yang menatahi penjuru dunia mulai ditaklukkan, dengan kepongahan manusia yang menancapkan jejak mereka di bebatuannya. Dunia penerbangan pun membawa manusia melampaui udara tipis di puncak-puncak pegunungan. Terus hingga manusia tak lagi mendapati cukup udara untuk nafas mereka.
Ketika selapis udara tipis bernama atmosfer mulai ditinggalkan, dan manusia berkenalan dengan cakrawala angkasa, mereka barangkali terheran mendapati kaburnya definisi atas-bawah yang biasa mereka kumandangkan sebelum menyapu debu antariksa.

Maka mereka terus melaju, merengkuh semesta lebih jauh.

Mungkin kauamati, para manusia melihat lebih jauh meninggalkan Bumi yang biasa mereka pijak ini mendapati langit seolah tanpa batas. Makin jauh melihat, makin samar ia, makin tak tergambarkan.
Mungkin, bagi manusia yang memaknai perjalanan "naik" mereka tersebut, akan ada satu posisi di mana mereka menengadah. Akan jalan demikian panjang ke "atas" yang masih tampak tak tergapai impian.
Tetapi mereka memang tidak berniat menggambarkan seisi semesta.

Titik puncak, di mana mereka akan menyudahi perjalanan ke "atas" untuk seterusnya, mungkin tidak akan pernah ada. Syukurlah, mereka bahkan tak acuh akan keberadaannya.
Mereka hanya terus melaju ke atas.
Sejauh yang mereka bisa.
Menggapai angkasa.






Tentunya, tak hanya sudut pandang seorang.

Foto oleh Koichi Shimano
Foto oleh Akihiro Shibata

Foto oleh Mitsui Masayaki

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...