Minggu, 15 Februari 2015

Article#388 - Kontemplasi


Barangkali aku tak banyak tahu akan kenyataan.
Karena ketika aku menilik seisi kota yang membuatku bosan, aku terkungkung ketidaktahuan untuk melangkah. Terjerat kejenuhan akan sudut-sudut yang sama, bangun-bangun yang senada, bayang-bayang yang seirama. Ingin melangkah, tapi aku masih tersangkut pada suaka jiwa, dalam usaha menjaga kewarasan yang makin tak jelas gunanya.

Barangkali aku tak banyak tahu akan kenyataan.
Karena ketika aku berpindah dari kenyataan raga ke kenyataan yang mengisi jiwa, mereka tampak sebagai dua keadaan yag demikian berbeda. Sedemikian berbeda, hingga pikiran yang tak nyaman membaca keduanya sebagai lembar buku yang berbeda. Hanya sampulnya yang sama, seperti sederetan buku tulis di masa sekolahan.

Barangkali aku tak banyak tahu akan kenyataan.
Karena ketika aku melihat gemerlap angkasa, aku tak paham upaya menggapainya. Aku mungkin sadar bahwa sampai kapapnpun aku harus tetap berpijak, tetapi dalam diam, jiwa terus memberontak. Terbersit pikiran supaya kami berpisah jalan dalam sesaat dua saat, hingga kenyataan yang menautkan keduanya memaksa diri terus menapak.

Barangkali aku tak banyak tahu akan kenyataan.
Karena ketika aku masih sibuk megaruk liang, aku tidak menyadari kekeringan yang melanda permukaan. Dengan raga yang bugar menaungi jiwa yang pudar, pikiran jarang dibersihkan dengan cukup untuk mengamati dunia sekitar. Impian yang diumbar-umbar itu pun terserak entah sembarang, dipungut orang untuk disuguhkan kepadaku dengan beragam alasan.

Barangkali aku tak banyak tahu akan kenyataan.
Karena, dengan disibukkannya diri kita dalam beragam kegiatan, ada bagian-bagian pikiran yang senantiasa luput dari perhatian. Kesibukan yang berbeda, diakrabi sedemikian rupa dengan jiwa yang melayang terbang entah ke mana. Petik saja kesibukan itu ketika ia terlanjur mengakar, maka tinggalah jiwa tua yang hampa, dalam raga yang tak tahu harus berbuat apa.

Bukan barangkali, aku memang tak paham kenyataan.
Karena, aku tidak mengetahui betapa kehampaan menyiratkan adanya wadah untuk tampungan. Tampungan yang biasa kupenuhi dengan senarai cerita ragam perjalanan. Dan fakta bahwa aku sudah mengalaminya berulang, menyiratkan betapa aku demikian mudah terlarut dalam pembaruan demi pembaruan.
Aku hilang, dan aku datang tanpa terjatuhkan.

Benar, aku memang tak paham kenyataan. Dan karenanyalah aku sangat menikmati saat-saat mempelajarinya.

Springbed, Pulau Kapuk. 12 Februari 2015.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...