Minggu, 27 Oktober 2013

Article#226 - Memulai Perputaran: Menggerak Jiwa Yang Terserak

Changes, visible changes, sky looking so forlorn
It looks like the world's been born
On one more rainy day
Trying to see the sunlight, my heart's crying out loud

I try to see through the clouds
On one more rainy day
One more rainy day, once again my mind is grey
This is what a rainy day can do
One more rainy day, one more rainy day
(Jon Lord & Rod Evans, 1968. One More Rainy Day)
Perlu sedikit perasaan kedinginan yang membuat menggigil ketika bangun pagi, bagi para bocah tengil untuk tersadarkan kembali akan sebuah kenyataan 'pahit'. Kenyataan yang mungkin selama ini telah mereka tampik sedemikian rupa, namun kini tak lagi terelakkan. Walaupun mereka berusaha mengurung diri dalam sebuah delusi kehangatan bernama jaket pun, ketika mereka memutuskan untuk menantang udara luar yang balas menantang mereka, sekali lagi, alam membuktikan bahwa rasa dedaunan nggak bisa bohong. Dedaunan yang mulai mencoba-coba asiknya menjadi anti-meinstrim dengan memerahkan warnanya, perlahan menjadi saksi yang tak terbantahkan akan datangnya musim yang (katanya) galau dan membuat gundah.
Musim gugur.

Disini, sinar Matahari begitu kuat, para daun masih belum berani pamer warna-warninya.
Beriringan dengan dedaunan yang mulai menggeliat meloncati kemeinstriman, perlahan isi termometer pun surut di seluruh penjuru negeri. Termometer yang surut selalu berarti hembusan angin yang makin pandai membuat nyali kecut, membuat jiwa kalang kabut meskipun sudah bertumpuk dua lapis selimut. Para petualang yang semula begitu betah melanglangbuana dengan kostum a la kadarnya, kemudian bernasib sama seperti bocah tengil diatas. Mereka berusaha menjaga dirinya tetap hangat dan nyaman, melapisi diri dengan jaket beberapa lapisan. Tetapi, ketika keinginan bertamasya dikalahkan oleh deru musim gugur yang tak mengenal balada nestapa, akhirnya kamar dengan penghangat dan selimut lah yang menjadi perlindungan terakhir mereka.
Tentu saja, tidak semua orang bersikap demikian. Ada saja orang yang merasa akan menjadi 'anti-meinstrim' dengan tidak menggunakan pemanas sama sekali selama periode dingin dalam beberapa bulan berikutnya. Orang-orang ini, begitu pongahnya, yakin mereka bisa berjalan keluar dalam hembus angin musim gugur, tanpa perlu memakai berlapis baju tebal yang tampak membuat raga terkubur. Kata mereka, cukup dengan keteguhan hati dan kesungguhan niat, mereka bisa melalui semua cobaan.

Seperti kata orang bijak, batasan antara tekad yang kuat dengan kebodohan terkadang begitu tipis. Lebih tipis dari halaman pembuka skripsi.

Berbeda dengan musim-musim yang sebelumnya telah diarungi dan diselami oleh para bocah tengil ini, musim gugur kali ini menandai alur musim kedua untuk ditempuh para bocah tengil. Dalam tahun kedua, artinya sudah ada yang menyusul dalam titian jalan, entah untuk menjadi keren atau untuk dibuli. Dalam tahun kedua, artinya seperempat titian menuju jenjang pertama telah selesai dilalui. Dalam tahun kedua, artinya fase kedua dari keran aliran kehidupan yang mampetnya tidak beraturan itu untuk menyala lagi (mudah-mudahan). Dan dalam tahun kedua, artinya secara tak resmi, 'status' sebagai 'maba' dilepas dan digantikan oleh 'matu'. (Re: mahasiswa tua). Eh nggak juga sih.

Bagi si bocah tengil, cukup menarik baginya ketika mendapati, betapa semangatnya menghadapi hari-hari melanjutkan perjalanan di kampus terasa demikian kontras dengan semangat pada momen yang serupa, di musim gugur yang lalu. Saat itu, masa studi dari matahari baru terbit sampai matahari terbenam lagi pun dilahapnya dengan penuh ceria bangga. tetapi, saat ini, ketika waktu studi telah tereduksi menjadi sedikit mendahului siang hari, semangat berapi-api itu pun pergi. Meninggalkan jiwa ini dalam sunyi. Si bocah tengil berpikir, mungkin semangat mereka saat itu masih tinggi, dan sebagai maba mereka ingin senantiasa unjuk gigi. Apa daya, akibat dinamika yang mereka alami, gigi-gigi itu ada yang tak tersentuh sikat gigi dan menjadi tak layak dipertunjukkan lagi. Mungkin karena ekosistem gigi sudah stabil dan harus terbiar abadi. Saya tak mengerti.

Dengan terus bergulirnya paro tahunan ketiga ini pun, masalah klasik masih saja mengawang-ngawang di kepala-kepala si bocah tengil. Apalagi kalau bukan masalah keran aliran kehidupan, yang mampetnya seolah tak jua kelar. Mungkin mirip dengan kondisi bocah tengil yang sedang pilek, terjebak antara kesulitan bernafas melalui saluran yang tersumbat, yang didorongkan oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas saluran yang tersumbat bisa diperbaiki segera. Akan tetapi, saluran yang terkuak akibat lepasnya sumbat justru mendorong sumbat lain untuk segera menghuni saluran tersebut dengan bahagia.

Si bocah tengil sudah mengikrarkan bahwa keran aliran kehidupan akan diganti sekali tiap tahun, yang tadinya dicanangkan supaya aliran kehidupan tetap terjaga kualitas dan kuantitasnya. Serta, bocah tengil berharap pula, supaya keran yang diperbarui tidak tersendat-sendat layaknya pemadat yang berusaha memancing sidat dalam pemandian air hangat. Masalah muncul ketika si bocah tengil menyadari, bahwa mereka yang seharusnya datang dengan baik dan memperbarui keran alian kehidupan ini, adalah mereka para pelanglangbuana yang tak betah dengan menghampirnya hembus angin utara. Duh. Alhasil, mereka begitu kuat berlindung dalam sangkar kenyamanan mereka yang membahagiakan, juga membutakan dari cerita dalam kisaran penglihatan.
Sampai saat ini, si bocah tengil sedang mencoba menanamkan jaket kehangatan kepada sang pengganti keran, supaya mereka tergerak untuk membantu bocah tengil yang mulai menggigil diatas kedua sikil dalam pemikiran mereka yang mengerikil. Harapannya sih, tak perlu menggunakan sundutan api supaya si pengganti keran yang terkenal malas gerak ini terdesak dan sejenak bergerak.

Tetapi, di sisi lain, ada sebaris naskah asik yang mungkin layak ditelisik.
Secarik berita tersampaikan dari kumpulan tatah batu mulia di garis pisahan bola dunia, akan beberapa individu yang telah dipanggil untuk menjalankan perjalanan panjang, menuju perwakilan di kancah antarbangsa. Perlahan, individu terkait ini bergerak menuju tempat pengolahan bagi masing-masing mereka, yang telah menyiapkan sederetan cobaan di luar nalar manusia standar untuk mereka pecahkan dengan pikiran sadar.
Tetapi (untungnya, dan semoga), individu-individu ini bukanlah robot-robot pembelajar tanpa lelah yang menutup diri dari keberagaman kehidupan. Apalagi jika hanya demi sebuah capaian diatas kertas koran dan ukir di kepingan. Perolehan yang maknanya akan terkikis seiring zaman. Si bocah tengil mengamati mereka sebagai individu yang ditempa oleh sebuah keberagaman kehidupan, tumbuh besar bersamanya, dan menjalin keakraban antar keping-keping daratan yang entah dipisahkan atau dihubungkan oleh sebilas lautan. Kumpulan individu ini di kemudian hari akan menempuh pengolahan yang entah akal sehat siapa bisa menerima, tetapi dalam kesatuan yang tak terpikirkan, mengenali ragam perbedaan antar setiap insan. Dari sekadar beda tutur lisan, hingga pencemaran akal pikiran yang tak terperikan. Dari sekadar hidangan yang selalu dihabiskan, hingga kerjasama supaya yang telat tidak kebagian. Dari mengisi waktu luang dengan kesepian, hingga telatnya bangun yang menggegerkan. Dari sekadar berkelana dengan mobil carteran, hingga tersesat dan tak tahu arah tujuan. Dari materi olahan yang menjemukan, hingga soal uji yang menggetarkan. Dari saripati kenangan yang terus terteteskan, melimpahi daftar yang tak akan sirna ditorehkan.

Si bocah tengil sempat akrab dengan pola penempaan semacam ini dalam beberapa waktu, maka ia yakin, semangat yang telah digoreskan oleh para individu yang sedang menuju pengolahan itu, dapat diadaptasi bagi pribadi si bocah tengil sendiri. Karena, dengan mengenali keragaman dan hal yang asing di mata, para jiwa-jiwa akan kembali disadarkan, dan terus dibangunkan. Bahwa jiwa yang buas, nyalinya padam di tengah alam yang lepas. Bahwa juang yang keras, tak akan melawan kebenaran yang tegas. Bahwa langit-Nya luas, dan penglihatan mereka berbatas. (-> kalimat terakhir diadaptasi dari sini)
Seiring bergulir masa dan mengalirnya kata-kata, bocah tengil sedang sibuk memperbaiki jiwa, menyambut keras angin perubahan yang siap menghadang. Semoga setiap titik juang yang menyala tiada bermula dari prasangka tanpa jiwa, apalagi kehampaan akan pemaknaan, yang akan dengan mudah menyesatkan.
Gerimis pagi di kota pelajar,
Menjerat jiwa-jiwa tanpa dasar
Melebur debu sepi dari belukar
Tiupkan rindu pada kami dalam sukar
Sentuhkan haru pada gelung tikar
Yakinkah kau tiada minat keluar?
Menyesap sejuk barang sebentar?

Hangatkah aku dalam lagak durjana?
Mendidih perih yang kukira datang
Melambai di kejauhan, laksana dayang
Menertawakanku dan lalu hilang

Lihatlah, kawan yang baru tersadar
Bahkan pelangi terselip keluar

Mengucap salam dengan semburat sinar
Atas kita kita yang merasa pintar
Mereka yang tentram atau terlantar

Yang beringsut dari yang terkapar
Mari bersiap menyongsong fajar

Menghadap nyata yang tampak tak wajar

Di balik desau butir hujan
Biarkan jiwa saling berhadapan
Membalas cerita hening kepalsuan
Tentang jujur yang terembus awan
(Bocah Tengil, 2013. Hampar Fatamorgana)

5 komentar:

  1. wah, kalo edisi bocah tersasar ceritanya selalu miris ya...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waah nggak juga.... masa' sih... Cuma perasaan kau saja..
      (lari ke pojokan)

      Hapus
  2. lah beneran, kalo gak kedinginan ya kekeringan dompet...

    BalasHapus
  3. Yaa namanya menjelang akhir tahun, wajar dong kalau mulai kedinginan.
    Disini nggak bahas kekeringan dompet tuh

    BalasHapus
  4. 'keran aliran kehidupan' bukannya sama saja ._.

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...