Seantero Nusantara seolah bersorak semarak.
Hari itu, 9 Mei 2014. Sekitar 30 hari setelah dilangsungkannya apa yang konon disebutkan sebagai “pesta demokrasi lima tahunan”, mereka yang ikut terlibat dalam menghitungi jumlah suara akhirnya mengumumkan secara resmi hasil dari “pesta” tersebut.
Hasil yang tak terlalu membuat orang-orang ternganga, sebenarnya. Hasil yang dipublikasikan penghitung suara tak jauh berbeda dengan hasil yang digulirkan oleh para “tukang kepo” pensurvei, hanya dalam hitungan hari sejak “pesta” jilid pertama digulirkan. Sekumpulan orang “tukang kepo” ini sudah siap siaga untuk mendata persebaran suara dalam berbagai sampel di wilayah Indonesia, sehingga hasilnya sudah bisa dinikmati di berbagai media cetak dan media layar kaca dalam waktu singkat.
Puas dengan penyajian data persebaran suara hasil “pesta” jilid awal, jutaan kepala di seluruh penjuru Indonesia justru makin mencandu berita. Mata kepala mereka seolah tak lagi melepaskan perhatian dari berita-berita suguhan media massa. Mulai dari yang paling netral seperti hasil liga sepakbola di negeri seberang lautan, hingga yang paling timpang seperti hasil liga sepakbola punya negeri sendiri. (eh) Berita juga bervariasi dari yang membicarakan berbagai harga barang yang naik, hingga tentu saja, membicarakan petinggi-petinggi “simbol” yang sebelumnya “berlaga” dalam “pesta”. Dengan takzim, jutaan pasang mata menyaksikan, mengamati. Mengamati bagaimana para petinggi saling sikut, saling tubruk, saling membujuk, saling ikut-ikut. Mencari-cari sebuah “tujuan bersama” yang konon menjadi untai retorika butut. Mungkin, sebuah konsekuensi dari sistem yang kusut nan acakadut.
Tak butuh lama untuk menerka, mana saja figur-figur yang akan dijadikan produk unggulan dalam memperebutkan kemenangan dalam “pesta” jilid kedua. Sudah ada dua figur yang dijadikan maskot untuk menggalang suara dari segala arah, bahkan sebelum “pesta” jilid pertama digulirkan. Oleh karenanya, perhatian sebagian orang kemudian beralih ke pergerakan “simbol” sang penguasa bertahan. Pak Beye, sang penguasa, konon berencana menyertakan “simbolnya” untuk ikut serta dalam percaturan produk unggulan dalam negeri di “pesta” jilid kedua. Namun, karena berbagai hal, seperti “simbol” lain yang terus menguumpalkan diri masing-masing ke dua figur yang telah beredar, dan mungkin karena sang penguasa sudah lelah, niatan mengusung “produk tengah” yang sebelumnya gencar pun kemudian diurungkan. (Baru-baru ini kubu Pak Beye merapat ke salah satu kubu.) Akhirnya, pada 1 Juni, disahkanlah kedua pasang figur untuk menjajakan diri, bertarung merebut hati sekian ratus juta orang yang akan menjadi tanggung jawab utama dalam tampuk kepimpinan mereka kelak.
Kini, tujuan bagi kedua kubu pendukung sang figur, sebut saja figur P dan W, adalah memastikan figur yang ia usung tersebut akan mengambil hati banyak orang. Tentu saja, suara dukungan orang-orang akan menguntungkan kubu mereka dalam perputaran “pesta” jilid kedua nanti. Dengan waktu hanya 35 hari, kedua kubu yang telah menyiapkan ahli strategi masing-masing pun memulai perburuan suara.
Jika di negeri Holiwud sana ada “The Hunger Games”, mungkin tak salah jika menjuluki yang berlangsung di Nusantara kali ini, dengan julukan “The Voter Games”.
Sebagai figur yang mempertunjukkan dirinya pada publik sebagai kandidat dalam “pesta” jilid kedua, baik figur W ataupun figur P sudah mempersiapkan dirinya menghadapi berbagai macam reaksi dari masyarakat. Reaksi yang kedua figur ini (juga oleh kubu pendukungnya) coba arahkan supaya mendukung dan ikut menyebarluaskan kelebihan sang figur sebagai pemimpin negeri Indonesia yang luas dan beraneka cita rasa.
Sebuah kemewahan era masa kini bernama internet telah terbukti andal dalam menyebarkan rekam jejak kedua figur yang bak bertatahkan perbuatan dan batuan mulia. Dengan dosis kampanye yang bertubi-tubi, perlahan warga mulai merapatkan barisan ke kedua arah. Ada yang merasa figur junjungannya berwibawa dalam bicara, tegas dalam tindakan, dan mampu mengenyahkan wajah-wajah korup dai pemerintahan. (Konon foto si figur pun bagus ketika dijadikan perangkap tikus.) Ada juga yang merasa figur junjungannya merakyat, tidak meninggikan diri, dan beraksi dengan tulus sebagaimana mesin ATM meloloskan fulus.
Sebagaimana bisa diduga, tak butuh lama bagi warga melek internet seantero Indonesia untuk mulai mendapatkan akses menuju liputan berisi catatan-catatan tentang figur. Catatan yang selama ini tak tercakup dalam introduksi kedua figur. Dari pujian paling bernoda gula-gula, hingga cerca bertabur noda-noda, kedua figur seolah punya jatahnya masing-masing. Jatah yang selama ini seolah tersembunyi di balik lipatan naskah rekam jejak mereka yang mentereng.
Bagai anak-anak yang baru menemukan hal baru, dengan semangat mereka memperkenalkan ke seluruh penjuru dunia akan apa saja yang baru saja ditemuinya. Dengan bangga, penuh semangat berbagi pengetahuan.
Toh saya tidak menulisnya, hanya membagikan.
Bagai jamur tumbuh di musim jamur, berbagai jenis tulisan mengenai kedua figur pun beredar luas di seantero dunia maya. Kalau yang dibagikan berita bagus, mungkin tidak masalah. Sayangnya, konon tulisan-tulisan yang disebarkan itu tidak terjamin kualitasnya. Tidak perlu langsung membiarakan kecenderungan isi tulisan yang menjatuhkan satu kubu dan/atau mengangkat kubu lain. Tulisan-tulisan tersebut saja seringkali murni membicarakan opini sang penulis, tidak memberikan penjelasan yang konkret, atau bahkan asal mencatut fakta.
Tulisan-tulisan sejenis ini kemudian dikumpulkan dalam satu kategori, yang kemudian menjadi akrab di telinga jutaan warga Indonesia dengan menghangatnya suasana menjelang “pesta”.
Black campaign, atau dalam bahasa Indonesia disebut
kampanye hitam. Selama penyampaian tulisan bernada menyerang salah satu kubu dengan tuduhan, label "kampanye hitam"
akan senantiasa melekat padanya. Ada juga istilah
negative campaign alias
kampanye negatif, yang intinya membeberkan kekurangan salah satu figur, tetapi berdasarkan data dan fakta yang ditemukan. Yaa, pada prakteknya sih, banyak yang mengategorikan kedua jenis ini berdasarkan satu hal sederhana:
apakah ia suka dengan isi beritanya.
Kosakata yang baru bagi sebagian penikmat media ini pun dengan cepat menjadi istilah populer dalam menyikapi berbagai tulisan yang berseliweran di media-media dunia maya. Cakupannya pun menjadi demikian luas, mulai dari opini yang dituangkan, publikasi media
online yang diselewengkan, data-data yang dibelokkan, isu-isu yang dihembuskan.
Maka dimulailah sekian banyak "pertarungan" antar warga. Yang satu mendukung kubu W, satunya mendukung kubu P, saling serang pendapat, ricuh. Ada yang membagikan kampanye hitam, tidak mau mendengarkan nasihat orang lain, ricuh. Ada yang sedemikian
ngefans akan salah satu kubu,
dan menutup mata ketika dibeberkan kekurangan sang idola, marah, sebel. Dan entah berapa banyak contoh lagi yang bisa diambil dari seluruh penjuru negeri.
Hingga akhirnya ada pihak yang memutuskan pengedaran karyanya berikut, sebagai perwujudan dari sikap yang tidak menginginkan "pertarungan" di segala arah. Walaupun isinya jadi terasa seperti seseorang yang merindukan mantan. Mantan yang memutuskan hubungan akibat perbedaan pandangan politik.
Untungnya, dari sekian banyak berita negatif ataupun hitam yang menghiasi panca indera warga, beberapa pihak lain juga memutuskan untuk menggelar lapak bagi sisi lain kampanye: kampanye kreatif. Beberapa pemilik akun YouTube, seperti
CameoProject dan
Eka Gustiwana, mengunggah berbagai video yang membahas berbagai sisi seputar figur, baik sisi kampanye gelap, ataupun sisi keisengan. Jika kau mengunjungi
fanspage resmi masing-masing figur pun, akan kautemui berbagai bentuk kampanye versi kubu masing-masing, sesekali diselingi ilustrasi program kerja yang mereka canangkan. Sebagian pendukung dari masing-masing kubu juga memutuskan untuk menyusun jargon kampanye dalam lagu gubahan masing-masing. (Meskipun aransemen jargon terkait memanfaatkan aransemen lagu yang sudah lebih dulu populer, bahkan sempat menimbulkan permasalahan hak cipta.)
Tetapi, sepanjang pengamatan penulis yang nyaris tidak bersentuhan secara langsung dengan berbagai macam kampanye yang ada, bentuk kampanye yang paling mudah diamati adalah orang-orang yang menempeli foto profilnya di media sosial. Tempelan yang dinamai "
twibbon" ini (ada yang tahu
asbabun nuzul dari istilah ini?) sebenarnya sudah sejak lama beredar, biasa digunakan sebagai bukti dukungan atas suatu kegiatan/program. Kelebihan
twibbon dalam hal ini adalah menandai diri orang yang memasangnya sebagai pendukung dari apa-apa yang ia pasang di foto profilnya. Mereka para tukang kampanye pun dengan senang hati ikut membuat
twibbon, dan menyebarluaskannya dengan bantuan jejaring sosial yang demikian padat.
|
Contoh twibbon yang dipakai dalam kampanye kali ini. sumber |
Cara ini terbukti sukses, dengan membanjirnya orang-orang yang menempelkan
twibbon ini di foto profilnya masing-masing. Sedikit keliling di akun media sosialmu mungkin akan memberitahukan, seberapa banyak garuda merah atau angka 2 yang beredar di segala arah. (Iya, asas "LUBER" dari "LUBER JURDIL" mungkin sudah berganti makna menjadi "Tumpah".)
Dan tentu saja, orang Indonesia termasuk orang paling kreatif dalam urusan mengakali sesuatu, dari yang tidak (perlu) serius macam kampanye, sampai yang serius macam mengakali celah-celah dalam hukum. Urusan
twibbon ini pun tidak lepas dari hal yang diakali oleh otak-otak kreatif negeri.
Berikut beberapa contohnya.
|
Karena tidak semua orang dengan yakin memilih salah satu kubu.
Dibuat oleh M. Dio Danarianto. |
|
Foto profil Twitter @QDJY |
|
Foto profil Twitter @yeahmahasiswa.
Tuh, kuliah empat tahun ajah, yah. |
|
Oke sip, Jik.
Foto diunggah di laman Tumblr milik Aji Resindra Widya
alias resindraburiza (?) |
|
Foto profil Twitter @victorkamang
Sabar ya Pak. Nyonya Suharti aja berdiri entah udah berapa puluh tahun. |
Bagaimana dengan penulis? Jika penulis harus menempatkan posisinya di sini, maka inilah yang akan penulis usung.
|
Apa maksudnya Berani Beda? Silakan klik laman ini saja. |
.....
Waktu menunjukkan tinggal kurang dari sepekan lagi menuju pagelaran "pesta" jilid kedua. Sebagian dari kalian mungkin akan berharap kubu P yang menang, sebagian yang lain akan berharap kubu W yang menang. Harapan muluk penulis beserta banyak yang lain, mungkin adalah harapan supaya hasil dari "pesta" jilid kedua ini bisa diterima oleh semua pihak dengan baik. Dan, ketika kontestan yang terpilih dalam "pesta" menerima mandat untuk menduduki tahta istana, semua atribut pertikaian yang sebelumnya digadang-gadang hendaknya dilepaskan. Bagi mereka yang memutus ikatan pertemanan, baik di dunia nyata atau media sosial, hendaknya akur kembali. Bagi mereka yang memutuskan hubungan romansa, hendaknya bersatu lagi, atau lebih baik lagi jika disahkan oleh hukum negeri. Dan, tak peduli siapa kawan, siapa lawan dulu di masa kampanye, semoga semua mendukung usaha memperbaiki keadaan. (Maaf klise)
Mungkin saya perlu mengutip kumpulan nasihat berikut.
● Berhentilah menuntut ilmu, karena ilmu tidak bersalah.
● Jangan membalas budi karena belum tentu Budi yang melakukannya.
● Jangan mengarungi lautan, karena karung lebih cocok untuk beras.
● Berhenti juga menimba ilmu, karena ilmu tidak ada di dalam sumur.
● Jangan lupa daratan, karena kalau lupa daratan akan tinggal dimana?
● Jangan ngurusin orang karena belum tentu orang itu pengen kurus.
● Dan janganlah bangga menjadi atasan. Karena di Pasar Baru atasan 10 rb dapat 3
(sumber)
Akhir kata, semoga tulisan ini bermanfaat, dan tidak garing seperti kain yang dijemur di beranda.
Salam lemper!
Bonus
|
Kabar gembira bagi kita semua...? |
(
Tulisan ini adalah hasil kerjasama penulis dengan M. Dio Danarianto dan David Orlando Kurniawan)