Senin, 10 Maret 2014

Article#272 - Labirin


Otak manusia, disebut-sebut jauh lebih rumit jaringannya dibandingkan dengan jaringan telepon yang telah sedemikian kompleksnya menyebar saat ini. Entah berapa banyak neuron, bersatu dalam jalinan dendrit dan akson yang lebih-lebih angkanya, membentuk sebuah jaringan yang menyokong manusia sebagai makhluk yang paling sempurna, dengan adanya akal. Kemampuan otak dalam mencerna dan menafsirkan informasi pun diumpamakan dengan sebuah superkomputer canggih, yang mampu memroses rangsang menjadi respon indera dalam orde milidetik, atau bahkan mikrodetik.

Bersama dengan kompleksitas dan performa otak yang luar biasa, ada juga pelengkap-pelengkap yang membuat cara kerja otak manusia demikian berbeda dengan superkomputer ataupun jaringan telepon. Sebuah pusat kendali yang dikenal sebagai hipotalamus, membantu memerintah berbagai kelenjar yang ada di sekujur tubuh, untuk mengeluarkan hormon tertentu dengan kinerja tertentu. Mulai menunjang fungsi tubuh dasar, hingga menyediakan sebuah fitur yang sampai saat ini belum bisa dibentuk dalam komputer manapun secara riil: emosi.
Mungkin ada hubungannya dengan jaringan dalam otak yang super njelimet, ketika input dari rangsang tidak cukup kuat, sinyal terkait mungkin saja tersesat dan tak pernah sampai ke otak besar, tempat dimana sinyal rangsang diproses menjadi informasi untuk kemudian direspon. Satu lagi ciri khas yang tak dimiliki komputer manapun: sifat lupa. 

Terkadang, kompleksitas otak disetarakan dengan sebuah labirin. 'Inang' dari otak dalam sebuah tubuh (yang adalah diri seorang manusia) ikut membantu menyuplai jaringan ini, atau tembok-tembok labirin ini, menjadi suatu kesatuan yang ruwet nan terkait baik. Dan suplai itu sendiri sangat tergantung oleh apa yang biasa dikonsumsi oleh sang 'inang' dalam kesehariannya. Entah suplemen berupa nutrisi atau berupa informasi.
Sifat dari setiap suplemen yang mengalir sebagai suplai ini, menentukan labirin macam apa yang akan terbentuk. Sementara, jiwa manusia yang sesungguhnya, asik berkelana di dalamnya, mencari celah dimana ia bisa keluar dan memamerkan jati dirinya.

Dulu, di laman blog aneh ini, penulis pernah membicarakan topik prasangka. Dalam kasus labirin, mungkin ia dapat dimisalkan sebagai pengaruh awal untuk mulai membangun tembok berlapis-lapis, untuk memperkuat dan mengokohkan prasangka yang telah terlalu subur menyebar di dalam pemikiran. Ketika datang waktunya bagi prasangka untuk terbantahkan, maka seluruh tembok labirin akan runtuh. Kemana jiwa yang asli itu? Mungkin terkubur di balik reruntuhan. Mungkin berhenti karena tak sanggup menemukan apapun selain runtuhan. Entahlah.
Terkadang, tembok itu tetap berdiri kokoh pada lokasinya. Tetapi jiwa yang berkelana di dalamnya kehilangan jejak, dan terperangkap dalam labirin tanpa kesudahan.

Rasanya patut untuk mengatakan, sebagian besar dari kita, terbiasa tumbuh besar dengan menyerap pengaruh dari paling tidak sebuah prasangka. Dan ketika tersadar bahwa prasangka yang terlanjur menyebar itu terpatahkan, mungkin semua terkesan runtuh, atau memerangkap tanpa jalan keluar. 
Bagaimana seseorang akan menanggapi situasi semacam ini, sangat tergantung pada cara ia menanggapi keruntuhan atau ketersesatan yang ada. Banyak yang tersesat dalam delusinya, banyak yang tersesat dalam keputusasaannya. Tapi tak banyak yang benar-benar bertindak.

Satu-satunya cara sudah jelas: Segera bertindak tanpa ba-bi-bu lagi. Tetapi sudahkah tindakan itu dilakukan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...