Hembusan angin dingin kembali menerpa.
Fandi terlalu malas memasak. Musim dingin yang sowan pada tahun ini kabarnya jauh lebih dingin daripada yang sudah-sudah. Bahkan gedung asrama tempat Fandi tinggal pun, yang konon selalu kuat menahan gempuran dingin tiap kali musim dingin tiba, kali ini tak kuasa menahan serbuan udara ingin tersebut. Alhasil, berjalan keluar kamar menjadi hal yang menantang dilakukan oleh para penghuni asrama. Kebanyakan dari mereka memilih untuk bergelung di kamar, menikmati kehangatan lemah yang susah payah ditiupkan oleh pemanas. Begitu pula Fandi.
Tapi, dalam nyamannya bergelung di tempat tidur yang hangat, ada beberapa saat dimana mau tak mau Fandi harus bergerak keluar asrama, menerjang hembus angin yang membekukan.
Membeli makanan.
Begitu pun hari ini. Fandi menenteng sebungkus plastik besar, berisi berbagai kemasan makanan ringan yang selama ini menyokong kelangsungan hidup Fandi pada fase malas memasak-nya. Sesekali ia menggigil ketika hembus angin menembus jaket wol yang ia kenakan.
Sesekali dalam perjalanan pulang, ia memperhatikan daerah di sekeliling jalan. Awan yang sedikit-sedikit bergerombol di kejauhan. Matahari yang mulai turun menuju horizon. Pepohonan yang meranggas dalam kering tanpa dedaunan. Rerumputan yang menguning kering.
Ada yang kurang.
Fandi mengamati semua di sekelilingnya, lagi. Memang ada yang berbeda dengan apa yang sebelumnya ia perkirakan.
"Kenapa tak ada saljunya," gumam Fandi.
*****
sumber |
Skenario Sejuk Sakura
Sebagai seorang yang melewatkan sebagian besar hidupnya sejauh ini dalam iklim tropis, sebelumnya pengetahuan saya mengenai musim dingin seolah terasa cukup hanya pada kisaran "suhu bawah titik beku" dan "bersalju". Pada titik dimana penulis memutar kemudi dan berliang di negeri samurai, mempelajari dinamika musim yang jamak terjadi di lokasi peredaran saya seolah menjadi keharusan. Keharusan yang kemudian dinikmati, entah karena tidak terpaksa, atau karena tidak terbebani.
Kota tempat saya berdomisili saat ini, Sendai, adalah kota terbesar di daerah Tohoku (secara harfiah berarti timur laut), daerah utara pulau Honshu yang dikenal dengan pemandangan alam yang relatif terjaga, juga dengan iklim (terutama musim dingin) yang "beringas". Kedua ciri khas ini pun dengan mudah menjelaskan kepadatan penduduk wilayah Tohoku yang terendah kedua dari 8 wilayah Jepang; hanya Hokkaido (yang iklimnya lebih "beringas" lagi) yang kepadatan penduduknya lebih rendah.
Ketika sebelumnya disebutkan bahwa iklim di wilayah Tohoku dan Hokkaido adalah iklim yang "beringas", yang dimaksud sebetulnya adalah bahwa musim dingin di kedua wilayah ini lebih dahsyat dibanding di wilayah lain di Jepang (dengan pengecualian beberapa lokasi di pegunungan). Cukup dengan membandingkan dua aspek yang disebut di awal, "suhu" dan "salju", keunggulan kedua daerah itu sudah demikian terasa.
Suhu malam hari (terkadang juga siang) pada musim dingin Tohoku lazim memasuki nilai negatif dalam skala Celsius, sementara suhu siang hari pada musim dingin Hokkaido jarang mengizinkan air untuk meleleh, meskipun hanya sejenak.
Dalam urusan salju, porsi manapun dari kedua daerah ini sudah mendapat ransumnya masing-masing. Ada yang rata-rata mendapat jatah total sekitar 60 cm selama musim dingin, ada pula yang tertiban salju hingga bermeter-meter.
Beberapa yang memperhatikan mungkin akan mendapati adanya rentang yang besar antara "60 cm" dengan "bermeter-meter". Mengapa bisa muncul perbedaan yang demikian kontras?
Sebagaimana curah hujan berbeda antar satu daerah dengan daerah lain, dalam hal curah salju pun terjadi hal yang serupa. Dalam kasus ini, pantai barat Jepang—yang menghadap ke arah benua Asia—cenderung menerima curahan salju yang tebal bertumpuk, sementara pantai timur yang menghadap Samudra Pasifik cenderung lebih sepi dari curahan salju.
Apa ada konspirasi antara benua Asia dengan pantai barat Jepang, sehingga saljunya bisa banyak?
Meskipun ada kaitannya, rasanya tulisan ini tidak akan membahasnya secara konspiratif.
Cerita dimulai pada bulan September-Oktober, saat jatah siang hari bagi belahan Bumi utara perlahan berkurang. Secara umum, daratan akan mengalami perubahan suhu yang lebih cepat dibandingkan badan air. Dalam kasus ini, benua Asia yang demikian besarnya itu mengalami pendinginan lebih cepat dibanding samudra-samudra di sekitarnya, entah itu Arktik, Hindia atau Pasifik. Pendinginan daratan Asia yang lebih cepat ini dibantu dengan tertahannya massa udara dingin oleh pegunungan di sekujur Asia, terutama Himalaya yang puncaknya konon menjadi mahligai para dewa bagi penduduk setempat.
Akhirnya, sebuah daerah bertekanan tinggi (atau disebut juga antisiklon) terbentuk di atas benua Asia. Antisiklon ini, kemudian dikenal dengan nama Antisiklon Siberia (Siberian High), adalah salah satu yang terbesar di belahan Bumi utara, dengan cakupan pengaruh hingga daerah Italia ke barat, dan Malaysia ke arah selatan.
Dengan udara dingin, kering yang mengusungnya, Antisiklon Siberia jugalah yang membuat daerah Siberia identik dengan suhu musim dingin yang anjlok demikian jauh, bahkan membuat suhu air membeku terdengar begitu hangat. Sebagai gambaran, suhu terendah yang pernah tercatat di belahan Bumi utara berada dalam cakupan Antisiklon Siberia, yaitu di sekitar Oymyakon dan Verkhoyansk, Rusia. Di kedua lokasi tersebut, termometer pernah mencatat suhu -70°C, sedikit diatas suhu deposisi gas karbon dioksida yang adalah -78,5°C. Dalam suhu serendah itu, pisang bisa menggantikan palu, tinta pena akan membeku, dan menggali lubang kubur akan butuh waktu tiga hari. (Selebihnya bisa disimak di sini, sini, atau sini)
Peta yang mencakup Laut Jepang (Sea of Japan), kepulauan Jepang, dan Korea. Siberia berada di utara China. Atas = utara, kanan = timur. sumber |
Kembali ke masalah salju. Sedikit cuplikan dari buku geografi SMA akan memberitahumu, bahwa udara akan mengalir dari daerah bertekanan tinggi ke daerah bertekanan rendah. Begitu pula yang terjadi pada Antisiklon Siberia, perlahan ia menghembus massa udara dingin ke daerah sekitarnya. Salah satu dari hembusan-hembusan itu melaju ke arah Jepang, yang terpisahkan dari benua Asia oleh sebuah badan air luas yang umum dikenal sebagai Laut Jepang. (Ya, pemberian nama yang cukup egois; orang Korea pun tidak terima.)
Laut yang satu ini tidak pernah teramati membeku sepanjang sejarah, kecuali pelapis es tipis yang kadangkala terbentuk ketika udara cukup dingin. Artinya, laut ini, beserta udara di atasnya, relatif hangat dan lembap. Massa udara dingin nan kering dari Siberia pun mau tak mau terhangatkan oleh pengaruh Laut Jepang, tak lupa membawa butir-butir air dari Laut Jepang.
Seperti disebutkan pada tulisan sebelumnya, paling tidak tiga aspek harus bekerjasama jika ingin salju diturunkan. Untuk urusan suhu, udara di atas Jepang bagian utara dan barat laut relatif stabil, tidak terlalu jauh dari titik beku. Banyaknya butir air yang terbawa dari Laut Jepang membuat kita tak perlu lagi bingung akan kelembapan. Dan unsur ketiga, gaya angkat, dikerjakan dengan sangat baik oleh pegunungan yang mendominasi lansekap negara kepulauan ini.
Citraan satelit akan awan salju efek lautan (sea-effect snow) pada kepulauan Jepang. 14 Januari 2004, 01.00 UT. Untuk memahami citra lebih baik, dapat dibandingkan dengan peta yang terlampir sebelumnya. Atas = utara, kanan = timur. sumber |
Tiga faktor tersebut bersatu, maka tak pelak, salju lebat dicurahkan oleh awan yang mencapai tanah Jepang. Pada gilirannya, massa udara ini melaju melewati jajaran pegunungan, terus melaju ke samudra Pasifik. Sayangnya, banyak kandungan butir airnya sudah tertumpahkan di pantai barat Jepang, sehingga pantai timur hanya kebagian sedikit. Pada citraan satelit di samping, dataran rendah Kanto (kanan tengah, daerah berwarna hitam dan keabuan) bahkan terlihat bebas dari awan.
Bagi sisi barat Jepang, tebalnya salju ini tidak main-main. Kota-kota yang terkena efeknya bahkan menduduki posisi tinggi terkait rerata curah salju tahunan. Ada Sapporo, Hokkaido, metropolis (penduduk lebih dari sejuta) dengan rerata curah salju tahunan tertinggi di dunia (637 cm antara 1981-2010). Ada pula Aomori, kota (penduduk lebih dari seratus ribu) dengan rerata curah salju tahunan tertinggi di dunia (774 cm).
Meskipun dari keseluruhan catatan itu, tidak ada yang mengalahkan yang satu ini.
Sementara itu, bagi sisi timur Jepang, salju dalam kuantitas yang sebanding sulit sekali diharapkan. Kalaupun warga di pantai timur menanti datangnya salju di musim dingin, mereka hanya bisa berharap akan datangnya sebuah sistem bertekanan rendah yang membawa kelembapan menghujani daerah tersebut. Selama suhu memadai, niscaya salju akan didapat.
Kilas Balik Kedinginan
Setelah mengarungi beberapa hari yang mengantarkannya makin dekat pada musim dingin, tak dinyana, saya memunculkan tabiat lama ketika melihat hal baru: Mengamatinya dalam senang, tanpa bosan-bosan. Mungkin saja si salju yang diamati itu bosan diperlakukan demikian tanpa henti.
Tapi sayangnya cukup sampai disana. Sekadar mengamati.
Akhirnya, ketika kalender kembali membuka ke bulan Desember, saya bersiap untuk mendokumentasikan musim dingin dengan perbekalan lebih matang. Apalagi, dengan pengalaman menghadapi musim dingin sebelumnya, saya juga berniat membandingkan.
Desember 2013 berlalu dengan kesan standar. Secara umum, lebih hangat dari Desember 2012, menurut saya. Dan rupanya catatan cuaca JMA juga mengatakan hal yang sama: Ada peningkatan suhu rerata sebesar 1,4°C.
Januari 2014, saya mempersiapkan kemungkinan datangnya periode salju yang susul-menyusul sebagaimana pada Januari 2013. Sayangnya, Januari lalu jauh lebih kering dibandingkan Januari tahun sebelumnya. Matahari begitu rajin menyapa, sementara keping-keping salu hanya sesekali muncul, kemudian lenyap dalam beberapa waktu. Keringnya bulan ini mulai memberi impresi berbeda akan fluktuasi cuaca ketika musim dingin.
Februari 2014. Hari-hari awal disapa oleh cuaca yang panasnya berlebih, dan kemudian disusul oleh cuaca dingin berlebih. Tetap kering, tetapi baru sepekan terlewat, ada yang berbeda.
Pada 6 Februari, muncul prediksi bahwa sebuah sistem tekanan rendah (atau singkatnya "badai") akan menyapa Jepang. Dan badai ini menyeret datangnya salju untuk melapisi seantero Jepang, termasuk pulau Kyushu dan Shikoku yang jarang diguguri salju. Tokyo pun mendapat peringatan "salju lebat" dari JMA (BMKG-nya Jepang), pertama kali sejak 2001. Sebagai kota metropolitan yang sibuk, Tokyo akan sangat direpotkan dengan turunnya salju lebat; apalagi warganya tidak terbiasa akan salju, bahkan meski selapis tipis.
Salju (dan manusia) yang berhamburan di Shibuya, Tokyo. sumber |
Berita yang muncul pada tanggal 8-9 Februari pun mengesahkan dugaan tersebut. Dimulai dari ini, kemudian ini, juga ini.
Sampai dini hari tanggal 9 Februari, tercatat 27 cm salju menghampar di salah satu metropolitan terpadat di dunia ini. Catatan tersebut adalah yang paling tebal bagi wilayah Tokyo dalam satu badai salju, sejak Maret 1969. Sendai pun dihujani 35 cm salju, tertebal sejak Februari 1936.
Seolah belum puas, hanya berselang sepekan, badai salju kembali datang, kali ini dengan gaya yang sedikit berbeda, terutama di suhu udara. Meskipun tidak mengulang "kejayaan" badai salju sepekan sebelumnya di kota besar, di tempat-tempat lain, berbagai catatan rekor curah salju jauh terlampaui. Lengkapnya bisa dicek di laman ini.
Sejak itu pun kehidupan kembali ke gaya biasa, yang kering dengan hembus dingin.
Bagaimana dengan Maret ini? Mari kita lihat nanti.
Berbagai catatan dari berbagai belahan dunia akan kejadian menarik di musim dingin ini dirangkum dalam bagian berikut:
- Timur Tengah, pada tengah Desember 2013 lalu dikejutkan dengan hadirnya salju berkat badai Alexa. Mesir mendapat curahan salju yang sudah lama tidak mampir ke kota itu, sementara Syria dihujani 13 cm salju, dan bahkan di Jerusalem salju mencapai 50 cm. Kabar ini terutama populer karena kawasan Timur Tengah identik dengan gurun, bukan dengan wilayah bersalju.
- Kunjungan yang begitu rutin dari polar vortex pada berbagai daerah di Amerika Serikat, juga rentetan badai salju yang datang silih berganti.
- Sementara daerah California dan sekitarnya mengalami kekeringan parah, Alaska jauh lebih hangat dan basah daripada normal. Seolah bukan musim dingin, kata orang sana.
- Eropa yang terus-menerus hangat, dengan badai menerjang Britania Raya dan sekitarnya. Curah hujan di beberapa tempat mencatat rekor dalam 250 tahun ke belakang.
- Australia dengan musim panasnya yang melebihi prediksi panas tahun 2030 (oke, di belahan Bumi selatan memang sedang musim panas,)
- Kekeringan yang melanda daerah Malaysia, Singapura, serta kebakaran hutan di Sumatra, Indonesia.
- Salju di Sa Pa, Vietnam, yang sempat disangka salju pertama di daerah tersebut.
- Salju di tambang terbuka Grasberg, Papua, 22 Februari 2014 (?). Tidak biasa, tetapi bukan pertama kali terjadi.
Mungkin itu yang bisa dituliskan untuk post kali ini. Catatan diatas tidak dijabarkan dengan lebih lengkap karena ketidakrajinan penulis untuk membuat post ini makin panjang lagi. Untuk info lebih, silakan klik tautan yang tersedia. Tak ada jebakan betmen di antara kita.
Sebagai penutup, berikut "air terjun" buatan seorang pria yang berusaha mengantisipasi bekunya air dalam keran. Mengapa bisa? Sila baca tautan berikut.
Sampai jumpa di tulisan selanjutnya, nanti!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar