Selasa, 18 Maret 2014

Article#275 - Perogrullo


Mereka bilang, kita harus beriring dalam rapi. Tak perlu meledak-ledak dengan bunga api. Harus memastikan diri tetap patuh dalam baris. Harus senantiasa melarutkan diri, menjadi butir gula dalam air putih.

Bagi mereka, bermanis-manis muka adalah hal yang krusial. Maka, seorang yang berlalu-lalang di depan rumah mereka akan disambut senyum lebar dimana-mana. Semua, dengan bahasa yang sama, memamerkan cengiran terlebar yang mereka bisa. Bahasa boleh sama, tetapi makna belum tentu senada, sebagaimana berbedanya ragam cengiran antar individu yang ada.

Mereka berujar, kesan yang terlihat adalah kesan yang teringat. Banyak yang demikian tekun memoles diri mereka hingga bebas keringat, juga memoles tingkah yang terlalu hangat. Begitu tekun mereka memoles, mereka tak lagi butuh rehat. Ada yang memoles dengan selapis tipis, ada yang setebal topeng tanah liat. Tapi semuanya kompak, dengan jati diri yang tak kentara terlihat.

Mereka koarkan kata-kata bijak yang dikutip dari sembarang tempat, dipoles bersih serupa mutiara yang dijaring dari dasar lautan. Mereka lantunkan pepesan janji-janji tanpa jeroan, yang disaput aroma jamuan kelas ningrat. Di tengah aroma santap dedaunan gosong, orang datang berbondong-bondong. Dalam kesatuan, mereka menyatukan tujuan dalam kekosongan yang tak mereka sadari.

Banyak dari mereka yang baru bergabung, adalah mereka yang gelap mata. Gelap oleh tirai keputusasaan, oleh tudung pengharapan. Atau, oleh pekat rasa penasaran.

Ada pula yang gelap hati, karena matanya keburu silau melirik kemilau dan pikat kemegahan. Dengan santainya mereka menggelar pesta lanjutan, menyambung butir-butir amanat dengan tusuk-tusuk sate keserakahan, untuk dicampurbaurkan dengan saus birokrasi secara tak karuan.

Ada pula yang hati dan matanya belum gelap, tetapi sudah sulit mengamat apa yang ada di sekitar. Disebarnya seikat bunga plastik kepada entah siapa di sekitar, berharap bunga bisa meluruskan kesalahpahaman.
Padahal, apa gunanya pula sebilah plastik yang dibentuk seperti bunga. Ia hanya plastik yang dingin, tak bergeming.

Mereka terus terlarut dalam keasyikan tanpa juntrungan.
Dan ketika tiba saat yang telah ditentukan, ada kelompok yang terus melaju, buta arah. Ada yang sedang berfoya-foya, tanpa masygul mereka berpangku tangan. Ada yang bungkam sekian ribu bahasa, menyaingi sepi hutan dalam malam tanpa Bulan.

Mereka terbedakan dengan tindakan, tetapi tersamakan dengan aroma menyengat. Aroma hasil perseteruan antara parfum klise dengan butir bedak kepalsuan.

Lalu dimana diri, kautanya?
Ia berada disana. Di dalam sana. Menyebar, melangkahi semuanya.

Whenever you find yourself on the side of the majority, it is time to pause and reflect.
- Mark Twain

...lanjutan dari artikel 252.
sumber gambar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...