Sepoi angin malam seolah terdesak, tak rela menghembusi para pejalan kaki dengan getar gigil kedinginan yang biasa. Malam tak hanya sejuk, namun juga sepi, sunyi, damai, meski kadang hampa. Seolah mengajak jiwa-jiwa yang terkatung dalam kesunyian, terasing dari hura-hura tanpa artian, untuk menyibak kembali, apa yang selama ini ia biar terlewatkan. Digiringnya lembar arsip ingatan yang tertimbun jauh di lubuk jiwa, untuk kembali membayang tanpa lelah.
Mungkin beberapa dari kita tak bisa menampik, di mana-mana pesta hura-hura dan kefanaan dibungkus dengan rona warni yang apik dan eksotik. Sementara kalian duduk tenang, dalam hening, bersama hembusan sejuk yang kadang menggelitik.
Beberapa dari kita mungkin sudah menjadikan sebuah angka yang segera berganti, menjadi titik balik. Titik pacu dalam rangka menggerak keterserakan jiwa ke arah yang lebih baik.
Ada juga sebagian lain dari kita. Mereka yang sibuk mendaras kalimat-kalimat Sang Maha Perangkai Kata, sudah berangkat jauh meninggalkan hura-hura warga dunia yang membakar sekian banyak harta. Mereka tak lagi membutuhkan pesta pora fana, tanpa makna.
..
....
Saya rasa, hal yang paling garing dalam proses penulisan ini adalah sebuah kenyataan. Tempat diselesaikannya tulisan ini adalah tempat yang sama persis, sebagaimana yang saya sambangi tepat di momen serupa, waktu sebelumnya. Kalau dilihat dari sisi fungsi keadaan, yang hanya peduli asal muasal dan tabir terakhir dari sebuah permasalahan, awal dan akhir dari kondisi ini adalah posisi yang sama. Dari sini, mungkin tak salah jika disebut stagnan.
Loh, tapi saya sudah pergi kemana-mana..
Berarti, hidup bukanlah sebuah fungsi keadaan?
Rasanya tidak juga.
......
Langkahkanlah kaki di sepanjang jalan, dan akan kautemui berbagai hal di sepanjang perjalanannya. Berada disana, sesekali terjumpalah remah pasir yang membuat sepatu terseok, dan meresap memanasi kaki. Dalam kondisi lain, remah ini bisa mampir ke lain tujuan. Tak lagi terinjak di bawah sepatu, tetapi mengusik mata yang sensitif. Akan terjumpa pula, bongkah batu, yang mungkin dengan sadar tidak diinjak, tetapi dalam satu waktu bisa membuat kaki yang melangkah ini terantuk, meringis kesakitan. Ada sinar matahari, dan arak awan, yang bisa bergantian menyinari, menaungi, atau menghujani si petualang dalam keseruannya tersendiri.
Semua dari kita punya ceritanya masing-masing. Cerita yang selalu berbeda antar individu, karena perbedaan dari apa yang mereka temui, apa yang mendatangi, dan bagaimana ia menanggapi.
Seperti butir salju, masing-masingnya bermula dari keping butir debu yang berbeda. Mereka kemudian bersatu antar satu sama lain, mengumpulkan keping demi keping es kecil-kecil, sampai bobot mereka sendiri menang dan mengizinkan mereka untuk jatuh, menyapa bebatuan atau pepohonan di Bumi. Perjalanan yang mereka tempuh, beserta entah berapa banyak butir air debu yang bersatu, memberikan berbagai maam bentuk salju, yang antar kepingnya tidak ada yang sepenuhnya identik. (Penulis sangat tidak menyarankan kalian untuk membuktikannya.)
Pada gilirannya, remah bongkah ini, remah bongkah pembelajaran yang terjumpa, adalah apa yang menempa hidup seseorang menempuh jalur tersendiri, sebagaimana jalannya saat ini. Dan setelah saya merenung di jalan pinggir kota tahun lalu, saya kini disini, di tempat yang sama. Masih di pinggir jalanan di pinggiran kota, tanpa tujuan merapal apa saja remah bongkah pelajaran yang sudah dicecap dirasakan.
Tak jauh beda dengan tahun lalu, kali ini, saya hanya ingin mengatakan supaya kita semua senantiasa memperbaiki diri dan terus belajar untuk menjadi diri yang lebih baik. Semoga kelak, dengan remah bongkah pelajaran yang telah menempa laju hidup kita, tradisi penuh kesia-siaan yang biasa disemarakkan pada setiap momen semacam ini, dapat diubah menjadi kegiatan yang bermakna dan berdampak untuk perkembangan diri ke depan.
Toh ini hanya hasil dari sistem penanggalan buatan manusia kan? Tak perlu diagung-agungkan. Ia hanya terasa spesial karena adanya keterulangan yang frekuensinya jarang.
Selamat berbahagia! Karena bahagia itu pilihan.
Hari 6840, ditemani sunyinya udara metropolitan malam.
Rabu, 1 Januari 2014, 01:39 (UT+9)
35°43'18.51"N, 139°48'05.43"E
Lanjutkan baca »
Mungkin beberapa dari kita tak bisa menampik, di mana-mana pesta hura-hura dan kefanaan dibungkus dengan rona warni yang apik dan eksotik. Sementara kalian duduk tenang, dalam hening, bersama hembusan sejuk yang kadang menggelitik.
Beberapa dari kita mungkin sudah menjadikan sebuah angka yang segera berganti, menjadi titik balik. Titik pacu dalam rangka menggerak keterserakan jiwa ke arah yang lebih baik.
Ada juga sebagian lain dari kita. Mereka yang sibuk mendaras kalimat-kalimat Sang Maha Perangkai Kata, sudah berangkat jauh meninggalkan hura-hura warga dunia yang membakar sekian banyak harta. Mereka tak lagi membutuhkan pesta pora fana, tanpa makna.
..
....
Saya rasa, hal yang paling garing dalam proses penulisan ini adalah sebuah kenyataan. Tempat diselesaikannya tulisan ini adalah tempat yang sama persis, sebagaimana yang saya sambangi tepat di momen serupa, waktu sebelumnya. Kalau dilihat dari sisi fungsi keadaan, yang hanya peduli asal muasal dan tabir terakhir dari sebuah permasalahan, awal dan akhir dari kondisi ini adalah posisi yang sama. Dari sini, mungkin tak salah jika disebut stagnan.
Loh, tapi saya sudah pergi kemana-mana..
Berarti, hidup bukanlah sebuah fungsi keadaan?
Rasanya tidak juga.
......
Langkahkanlah kaki di sepanjang jalan, dan akan kautemui berbagai hal di sepanjang perjalanannya. Berada disana, sesekali terjumpalah remah pasir yang membuat sepatu terseok, dan meresap memanasi kaki. Dalam kondisi lain, remah ini bisa mampir ke lain tujuan. Tak lagi terinjak di bawah sepatu, tetapi mengusik mata yang sensitif. Akan terjumpa pula, bongkah batu, yang mungkin dengan sadar tidak diinjak, tetapi dalam satu waktu bisa membuat kaki yang melangkah ini terantuk, meringis kesakitan. Ada sinar matahari, dan arak awan, yang bisa bergantian menyinari, menaungi, atau menghujani si petualang dalam keseruannya tersendiri.
Semua dari kita punya ceritanya masing-masing. Cerita yang selalu berbeda antar individu, karena perbedaan dari apa yang mereka temui, apa yang mendatangi, dan bagaimana ia menanggapi.
Seperti butir salju, masing-masingnya bermula dari keping butir debu yang berbeda. Mereka kemudian bersatu antar satu sama lain, mengumpulkan keping demi keping es kecil-kecil, sampai bobot mereka sendiri menang dan mengizinkan mereka untuk jatuh, menyapa bebatuan atau pepohonan di Bumi. Perjalanan yang mereka tempuh, beserta entah berapa banyak butir air debu yang bersatu, memberikan berbagai maam bentuk salju, yang antar kepingnya tidak ada yang sepenuhnya identik. (Penulis sangat tidak menyarankan kalian untuk membuktikannya.)
Pada gilirannya, remah bongkah ini, remah bongkah pembelajaran yang terjumpa, adalah apa yang menempa hidup seseorang menempuh jalur tersendiri, sebagaimana jalannya saat ini. Dan setelah saya merenung di jalan pinggir kota tahun lalu, saya kini disini, di tempat yang sama. Masih di pinggir jalanan di pinggiran kota, tanpa tujuan merapal apa saja remah bongkah pelajaran yang sudah dicecap dirasakan.
Tak jauh beda dengan tahun lalu, kali ini, saya hanya ingin mengatakan supaya kita semua senantiasa memperbaiki diri dan terus belajar untuk menjadi diri yang lebih baik. Semoga kelak, dengan remah bongkah pelajaran yang telah menempa laju hidup kita, tradisi penuh kesia-siaan yang biasa disemarakkan pada setiap momen semacam ini, dapat diubah menjadi kegiatan yang bermakna dan berdampak untuk perkembangan diri ke depan.
Toh ini hanya hasil dari sistem penanggalan buatan manusia kan? Tak perlu diagung-agungkan. Ia hanya terasa spesial karena adanya keterulangan yang frekuensinya jarang.
Selamat berbahagia! Karena bahagia itu pilihan.
35°42'56.14"N, 139°48'12.65"E, 30 Desember 2013, 09:11 (UT+9). Kuritsu Sumida Koen (区立墨田公園), Taito-ku, Tokyo. |
Hari 6840, ditemani sunyinya udara metropolitan malam.
Rabu, 1 Januari 2014, 01:39 (UT+9)
35°43'18.51"N, 139°48'05.43"E