sumber |
Bung Karno maunya serba-lekas. Kalau nuruti dia, pengin sejajar Amrik, sekarang juga kita bisa bangkit sejajar. Logika Bung Hatta lain lagi. Perlahan tapi pasti. Pendidikan menjadi jalurnya.
Artinya, sekarang kita baru mulai siap-siap. Didik anak-anak untuk tidak bermental rendah diri. Kita mulai bikin kokoh mental mereka sejak usia dini untuk kelak merasa semartabat Washington, Beijing, London, Singapura, Tokyo dan lain-lain.
Kita ajarkan bahwa bangsa Indonesia tak DIJAJAH Belanda 350 tahun, tapi 350 tahun BERPERANG melawan Belanda. Kita insyafkan sejak usia dini bahwa selama ini kita ditipu oleh sejarah yang data-datanya dipasok oleh asing. Faktanya, yang bertaklukan cuma kraton-kraton karena rusaknya mental raja. Tapi pemberontakan rakyat terus terjadi di seluruh penjuru Nusantara bahkan sampai menjelang 1945.
Kita tempakan sejak usia dini bahwa bangsa Indonesia dulu-dulunya kreatif. Semua hal dari luar tak pernah ditampik, tapi sekaligus juga tak pernah ditelan bulat-bulat. Semuanya dicerna dalam metabolisme kearifan lokal. Maka sepatu menjadi selop. Trompet dan trombon menjadi pengiring tanjidor. Musik Portugis menjadi keroncong. Padi masuk dari India menjadi sistem persawahan yang tak persis dengan di India. Ritme diksi dari Afrika menjadi dangdut. Dan sebagainya.
Bayangkan setelah 15 tahun pertumbuhan anak-anak akan matang berkarakter. Daya mereka di berbagai bidang sejak IT, manajemen, hukum, kedokteran, biologi, kelautan dan lain-lain tidak dihambakan untuk tuan asing. Mereka tak memakai kemahirannya untuk menjadi jongos asing mengeruk batubara, sawit, gas dan kekayaan Nusantara lainnya.
Saya dan rata-rata orang berusia pembaca Area sudah telat ...Sudah salah didik sejak kanak-kanak. Contoh-contoh kecil saja. Kita misalnya sejak bocah sudah terlanjur dididik bahwa tangga nada itu ya do re mi fa sol. Tertanam lengketlah dalil itu sampai sekarang. Tanpa sadar, kita selalu bernyanyi dan bersenandung cuma atas dasar tangga nada itu. Padahal Jawa punya tangga nada, Sunda, Minang, Madura... masyakarat Flores dan lain-lain.
Di bidang-bidang lainnya, misalnya hukum, mudah dipastikan kita tak tahu hukum-hukum adat. Tahunya cuma hukum asing yang kita serap mentah-mentah tanpa metabolisme kreatif dengan norma, nilai maupun etika nenek-moyang sendiri yang pernah muncul di berbagai daerah di Nusantara.
Dengan kata lain, saya sedang ingin mengajak pembaca Area yang punya kepedulian untuk kecil-kecilan menjadi guru. Tak harus guru formal yang berdiri di depan kelas, tapi Gur-u' dalam bahasa Sansekerta yang bermakna "mengandung tujuan mulia untuk dijalarkan pada sesama."
Ah, begitu banyak anak kecil di sekitar kita yang bisa kita jalari kehormatan sebagai bangsa.
Jangan lupa. Bung Hatta itu dasarnya pendidik. Sama halnya dengan Soedirman, Djuanda, Mohammad Natsir, Tan Malaka, Sutan Syahrir dan lain-lain. Yang mereka ajarkan kadang juga tak seyem-seyem seperti berhitung, sejarah, bahasa Belanda. Ketika dibuang ke Bandaneira misalnya, Hatta "cuma" ngajari bocah-bocah mengecat perahu dengan warna Merah dan Putih.
Karena pentingnya guru, seorang teman malah mengingatkan saya, sebutan Guru Bangsa cuma ada di Indonesia. Di tempat-tempat lain, George Washington dan Thomas Jefferson disebut Founding Fathers. Bukan Guru Bangsa.
~dikutip dari Guru Bangsa Kecil-kecilan, tulisan Sujiwo Tejo yang dimuat di Majalah AREA edisi 97. Dikutip dari situs sujiwotejo.com pada Kamis, 19 September 2013, 17:34 (UT+7)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar