Senin, 30 September 2013

Article#214 - Butir-Butir Tampias Hujan

Here comes the rain again, falling from the stars
Drenched in my pain again, becoming who we are
As my memory rests, but never forget what I lost
Wake me up when September ends

30 September 2012.
Lagi-lagi Sasha melamun di ruang musik. Baginya, ini seperti rumah kedua. Terutama ketika kamar kos tak bisa diandalkan dalam memberi ketenangan. Disini ia selalu bisa memanja dirinya, berkeliling memainkan berbagai alat musik yang berjajar di dalam ruang.
Tetapi bukan karena ketenangan, malam tersebut ia ada disana. Deras gemuruh air yang memburu jiwa kedinginan di luar sana, mungkin bisa memberimu jawabnya.

Sasha berjalan sebentar, mengetuk gendang, meniup-niup seruling, dan akhirnya ia memilih gitar akustik yang penuh lecet di pojokan ruang.
Penuh lecet, sekaligus penuh cerita.
Diliriknya senar-senar tersebut, yang masih tercoreng gurat-gurat luka saat ia pertama kali memainkannya beberapa tahun lalu. Dengan koin receh. Dan saat itu ada yang memarahinya habis-habisan.

Sasha tersenyum, nanar, tak ingin melanjutkan nostalgianya. Perlahan ia petik senar demi senar, dengan suara merdu yang hanya bisa didengarnya seorang.
Melodi yang pertama kali ia mainkan.
Kalah oleh tampias deras hujan.

sumber

I lie down and blind myself with laughter
A quick fix of hope is what I'm needing
And now I wish that I could turn back the hours
But I know I just don't have the power

30 September 2013.
Hujan lagi.
Sasha memang biasanya tak ambil pusing dengan air yang turun membasahi bumi, apalagi kali ini ia tak perlu keluar kamar kostnya. Paling tidak, begitu ia pikir setengah jam yang lalu.
Tapi nyatanya sekarang ia berada di sebuah kedai di pinggir jalan, yang tak mengekang para pelanggannya dari hembus sejuk yang membawa butir kecil air. Meski ia tidak memesan makanan, hembus sejuk itu tentunya tetap ia terima. Tanpa ia harus meminta.

Lani teman kosnya meliriknya lagi lamat-lamat.
"Yakin Sha, nggak ikut makan? Aku jadi nggak enak nih, kupesenin teh hangat deh ya!"
Sasha hanya bisa pasrah. Ia tak pernah bisa menghentikan Lani, sejak dulu.
Dengan ucapan terimakasih disertai helaan nafas, ia meraih gelas teh hangat yang baru saja tiba. Sasha meneguknya sejenak. Hangat, tetapi hangatnya tak menghalangi dingin hembus angin.
Setelah hangatnya hilang pun, hembus angin terasa berbeda. Seolah meniupkan kembali kata-kata yang terbersit sebelumnya.
Hanya bisa pasrah.
Tak pernah bisa menghentikannya, sejak dulu.
Tetapi kini bukan Lani yang Sasha pikirkan. Ia bahkan tak lagi menyeruput teh hangatnya yang mulai tidak hangat.
Lembar-lembar pikiran lama kembali terbacakan di kepala Sasha.
Dia yang memarahi seorang gadis dengan koin di sela jarinya.
Dia yang dengan bodohnya lupa lagu favoritnya sejak lama.
Padahal dia sendiri yang pertama kali mengajarinya.
....
Dia yang dipenuhi semangat berjuang, terkadang kelewat batas.
Tentu saja, dia. Dia yang selalu gagal ia hentikan.
Hatinya kini bergetar, Sasha merasa tak sanggup untuk tidak menyebut namanya. Begitu perlahan, tanpa suara.
"Bang Nik, adik, ibu dan ayah selalu menantimu. Setiap saat menunggu kabarmu. Adik pun tak tahu rimbamu Bang. Kapan Abang akan pulang?"

Sasha mencoba tersenyum, nanar, tak kuat melanjutkan nostalgianya. Perlahan ia ketuk gelas tehnya, dan ia gumamkan suara yang hanya bisa didengarnya seorang. Lani pun tak menyadarinya.
Isak tangis yang telah lama tidak ia jatuhkan.
Kalah, telak oleh tampias deras hujan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...