Sabtu, 05 Oktober 2013

Article#216 - Tiga Puluh Dua Menjelang

Oleh: Akhyari Hananto

Kapan kita memperingati “100 Tahun Kemerdekaan Indonesia”?


Tulisan ini saya buat pada bulan Agustus 2013, jadi peringatan 100 Tahun Kemerdekaan RI akan jatuh tepat 32 tahun lagi, yakni pada 17 Agustus 2045. “Apakah pada peringatan 100 tahun kemerdekaan, Indonesia sudah menjadi negeri yang maju, rakyatnya makmur, dan bangsa ini dihormati dan disegani dunia?”. Pertanyaan itu pertama kali saya dengar dari anak seorang kawan yang masih duduk di bangku SD beberapa waktu lalu yang bertemu saat kami berkunjung ke rumahnya. Tentu saya tidak tahu jawabannya, mungkin tak ada yang tahu, dan sepertinya hanya waktu yang akan bisa menjawab.

Namun setidaknya, kita tahu apa rumus utama untuk membuat Indonesia maju, rakyatnya makmur, dan dihormati serta disegani dunia, dan rumus itu harus kita kerjakan dari sekarang, yakni “pendidikan”, dan tentu saja kerja keras. Singapura pada tahun 60-an bukanlah negeri yang kaya raya, juga tak sebersih dan seteratur Singapura yang kita kenal saat ini. Namun kini Singapura masuk dalam 5 negara dengan pendapatan perkapita tertinggi di dunia dengan pencapaian-pencapaian mengagumkan yang lain.  Dan Singapura mencapainya dengan pendidikan yang kuat, disiplin, dan menjunjung tinggi ilmu pengetahuan. Kita juga tahu, Amerika menjadi negara besar, kuat, dan maju di berbagai bidang, Inggris, Jepang, Korea, Taiwan, Australia juga adalah negara yang makmur dengan ekonomi yang tangguh, dan disegani dunia juga tak lain karena mereka memiliki tradisi dan budaya pendidikan dan penghargaan pada ilmu pengetahuan yang tinggi. Singapura, Amerika Serikat, Inggris, Jepang, Korea, Taiwan, Australia, dan negara-negara maju yang lain adalah negara-negara yang begitu menjunjung tinggi pendidikan, dan melakukan apa saja untuk memajukan kualitas dunia pendidikan.

Di Singapura, perpustakaan umum menjamur di mana-mana, bahkan di mall, dengan koleksi buku-buku yang lengkap, update, dan menarik, dan yang paling penting, ..gratis. Perpustakaan di New York City adalah perpustakaan paling besar dan konon paling lengkap di dunia. Kampus-kampus di Inggris adalah kumpulan perguruan-perguruan tinggi dengan kualitas terbaik, sistem pengajaran terbaik, pun di Jepang, Korea, dan sekarang China. Pemerintah negara-negara tersebut tidak hanya mengucurkan dana besar untuk pendidikan dari sejak dulu, tapi juga membantu memonitor, dan memfasilitasi peningkatan kualitas pendidikan secara terus menerus dan berkelanjutan, termasuk penerapan teknologi-teknologi paling mutakhir untuk menunjang pendidikan. Dan tentu saja, anggaran yang dikeluarkan sangat besar, termasuk investasi non finansial yang lain.

Tentu agak sulit bagi Indonesia untuk menggelontorkan dana sebesar negara-negara kaya itu dialokasikan di bidang pendidikan, meskipun Indonesia sendiri sudah mengalokasikan 20% dari APBN. Namun, jumlah tersebut jauh dari cukup untuk “menggenjot secara drastic” kualitas pendidikan di Indonesia, karena APBN Indonesia pun tidak besar-besar amat bila dibandingkan dengan APBN negara-negara maju. Lalu saya sering bertanya-tanya, kalau begini jadinya, yang maju makin maju, yang pas-pasan akan makin tertinggal.
Saya lalu teringat bahwa seorang warga senior AS yang saya temui waktu saya berkeliling di AS, beliau mengatakan bahwa mengharapkan setiap orang menjadi pintar matematika, pintar biologi, pintar bahasa, dan mata pelajaran lain yang dipelajari di sekolah atau kampus, adalah sesuatu yang tidak masuk akal dan “jangan dikejar”. Tujuan utama pendidikan, menurut beliau, adalah membuat bangsa dan rakyatnya menjadi berpikiran terbuka, maju, termotivasi untuk terus melangkah ke depan. “And let the power of nature do the rest” kata beliau.

Saya rasa, ketika bergerak menjadi bangsa yang maju dan makmur dulu, tak semua orang Jepang cerdas, pun orang Singapura, pun orang AS, pun orang Korea. Namun saya meyakini bahwa bangsa mereka bisa menjadi maju karena rakyatnya berpikir maju, bekerja keras, tidak mudah mengeluh, dan termotivasi bahwa bangsanya akan menjadi bangsa yang maju, suatu hari nanti. Inilah yang saat ini, menurut pandangan dan pendapat saya pribadi, sedikit demi sedikit mulai hilang di sekitar kita. Belum ada satu platform yang kuat untuk memotivasi seluruh Indonesia, dan membuat rakyatnya berpikir ke depan, dan jangka panjang, entah itu pemimpin yang disegani dan merakyat, atau kebanggaan bersama yang menginspirasi secara massif.

Perlu langkah terpadu dan luas untuk menyuarakan semangat maju kepada seluruh anak bangsa, dan hal paling cepat bisa melakukannya adalah lewat media massa. Media massa yang edukatif, informatif, konstruktif, sekaligus menarik akan menjadi kekuatan besar ‘mencerdaskan’ jutaan pemirsanya, bisa merasuk ke setiap rumah. Media massa yang seperti itu bisa menjadi pelengkap utama yang sangat baik bagi pendidikan-pendidikan formal yang di dapat di sekolah.  Tapi apakah para pemilik media mau melakukannya?

Entahlah..tapi waktu kita “tinggal” 32 tahun lagi.
Tulisan dan gambar dikutip dari http://goodnewsfromindonesia.org/2013/08/21/32-tahun-lagi/ pada 5 Oktober 2013, 08:48 (UT+9) dengan sedikit perubahan.

Mungkin penulis akan menautkan visi Indonesia Emas 2045 ini dengan kisah perjuangan Rasulullah s.a.w dahulu, yang berhasil menghimpun kabilah-kabilah bangsa Arab yang hobi bertikai satu sama lain, menjadi suatu negara berpengaruh hanya dalam waktu sekitar 23 tahun. Sebuah pencapaian yang menggugah Michael H. Hart untuk menyebut beliau sebagai tokoh paling berpengaruh dalam bukunya. Beliau membentuk negara baru, dengan landasan yang benar-benar baru (negara pertama dengan landasan hukum Islam), dan dengan sumber daya yang mungkin saya bisa katakan jauh lebih sedikit dari Indonesia saat ini.

Meskipun Indonesia kini menghadapi tantangan yang berbeda, lebih kompleks dari yang dulu dihadapi Rasulullah. Tetapi, Indonesia sekarang tak perlu dirombak dari nol. Yang diperlukan adalah mengembangkan pola pikir yang maju, yang sedikit banyak sudah tertuang dalam tulisan yang penulis kutip diatas. Dan pola pikir maju memang tidak berarti jago ilmu pasti, atau hafal seisi buku RPUL. Sesuai hemat penulis, pola pikir yang maju adalah pola pikir orang yang senantiasa memperbaiki apapun yang belum baik, dan terus berkontribusi atas apapun yang bisa dijalani. Pola pikir yang mungkin kritis, tetapi turut membangun, bukan sekadar mempertanyakan tanpa arah.

Nah, bahkan ide mengantarkan Indonesia menuju Indonesia Emas dalam 30+ tahun secara tak langsung juga diungkapkan di kutipan berikut.
Ridwansyah Yusuf Achmad - detikNews

Tahun 1927, Bung Hatta menuliskan sebuah makalah berjudul ‘Vrije Indonesie’ atau Indonesia Merdeka. Saat itu, sekelompok pelajar ini berjuang dan percaya Indonesia akan merdeka. Merdeka bukan tentang urusan ya atau tidak, melainkan hanya pilihan waktu saja kapan yang tepat. Kurang dari 20 tahun sejak makalah tersebut disampaikan, Indonesia akhirnya merdeka. 


Bila kita refleksikan dengan keadaan saat ini, apa yang dipikirkan dan disampaikan oleh pelajar saat ini sangat niscaya bisa menjadi kenyataan 20 atau 30 tahun mendatang. Ide yang kita gulirkan bukanlah pilihan ya atau tidak akan terjadi, tetapi bila kita terus dorong dengan semangat memperbaiki dan pembaharuan bangsa, niscaya gagasan tersebut akan terwujud secara nyata. 
Tulisan dikutip dari http://news.detik.com/read/2013/10/05/141028/2378752/103/1/perhimpunan-pelajar-buat-apa pada 6 Oktober 2013, 13:19 (UT+9)

Memperbaiki diri selalu bisa dilakukan kapan saja, dan akan sangat bagus jika kita memulainya dari saat ini juga. Mari terus lakukan yang terbaik, menyesuaikan dengan kapasitas yang dimiliki.

Untuk penutup, sedikit mengimitasi Aku karya alm. Chairil Anwar.

Cita dan cerita kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih nurani

Dan aku akan lebih tidak menanti

Aku mau hidup tiga puluh dua tahun lagi

5 komentar:

  1. Sukaaaa banget tulisan ini. Ada paradigma tentang pendidikan yang perlu kita ubah. Ah, yuk melakukan sesuatu. Ngapain dong kita?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yoi, melakukan sesuatu.
      Tapi apa?

      Menurut aye sih, yang penting untuk jangka pendek itu meningkatkan kesadaran akan adanya 'sesuatu yang salah'. Dan tindakan seperti ini cocok untuk level mahasiswa yang kebanyakan masih belum punya 'kapasitas' luas dalam mempengaruhi sekitar.

      Kemudian kalau 'kapasitas' ini sudah besar, maka kita bisa ikut mengubah secara langsung. Entah lewat pengeluaran peraturan, atau apapun yang secara umum layak dikategorikan sebagai 'tindakan nyata'. (Soalnya, ada aja yang menganggap 'diskusi' di media sosial itu bukan 'tindakan nyata').
      Yang kayak gini dicontohkan oleh Pak Emir di Garuda Indonesia atau Pak Jonan di PT KAI.

      Dan juga sambil terus memperbaiki diri dan sekitar, tentunya.
      Memperbaiki diri dan sekitar, yang tidak sebatas dari mengajak ke kebaikan (amar ma'ruf), tetapi juga melarang keburukan (nahi munkar).

      (panjang nian komennya)

      Hapus
  2. tulisan bagus.
    tapi kayaknya warna font bagian awal perlu diubah, susah dibacanya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Baik, terima kasih atas sarannya. Sudah saya ganti saat ini.

      Hapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...