Cerita sebelumnya: Sebuah kenangan lama.
Berawal dari keinginan sederhanaku untuk meminjam novel milik Tizar, di sore hari empat tahun yang lalu itu, civitas sekolah–khususnya siswa kelas dua–dikejutkan oleh lenyapnya Tizar tanpa jejak. Persoalan ini sendiri kemudian berakhir dengan ditemukannya Tizar, duduk santai di atas atap gedung sekolah. Terlepas dari keributan di sore itu, aku heran, dari begitu banyak orang yang kutanyai, mengapa Tiara, gadis yang diam-diam kutaksir ini, terlihat begitu tenang. Seolah ia sudah tahu, Tizar akan baik-baik saja—meski dengan sedikit kejutan. Ada kisah apakah diantara Tiara dan Tizar?
Sejak menyadari semua hal itu, paling tidak aku mulai merasakan ada dua perubahan besar yang terjadi pada diriku. Perubahan, yang sebenarnya baru kurasakan secara nyata di akhir cerita ini.
Biasanya kelima inderaku hanya bereaksi dengan berlebihan hanya ketika ada Tiara. Tetapi kali ini, ada sedikit tambahan. Aku menjadi sangat peka akan gerak-gerik Tizar, khususnya ketika kupergoki sedang dekat dengan Tiara.
What's it like there? Is it all what you want it to be?
Does it hurt when you think about me? And how broken my hea—
Ah, lagi-lagi radio ini. Matikan, dong.
Makin aku peka dengan segala tindak-tanduk mereka, makin aku mengalami perubahan kedua.
Aku seolah ditampar oleh wali kelasku di penyerahan rapor tengah semester. Nilaiku jeblok semua. Hancur. Parah lah. Padahal sudah kelas dua, artinya sudah masuk jurusan. Entah IPA maupun IPS. Sesuatu yang lebih besar menanti: jika aku tidak bisa mempertahankan nilai dengan cukup baik, maka hanya ada satu pilihan untukku, minggat dari sekolah ini.
Jika Tizar senang merenung dengan mengamati senja, saat ini aku pun juga dalam kondisi senja. Rendahan, dan akan segera terbenam.
Huft. Aku melongok ke jadwal remedial yang tertempel di mading sekolah, remedial terdekat adalah fisika. Lab fisika, esok harinya, jam 4 sore. Karena kondisi asrama sore hari tak pernah kondusif buatku untuk belajar, kuputuskan untuk belajar di tempat tongkrongan favoritku.
Ironis, ya. Aku punya hobi nongkrong yang serupa dengan si Tizar itu, dan sepertinya dalam kondisi serupa. Saat ingin serius dan menenangkan diri dari segala pikiran yang mungkin mengganggu. Paling tidak, tongkronganku tak seaneh Tizar;
walaupun aku sendiri tak yakin apakah duduk di atas mistar gawang bisa dianggap wajar atau tidak.
Sudah lima belas menit. Lapangan sepakbola sepi, tidak ada yang bermain sepakbola sore ini. Bagus. Meskipun lapangan basket dan futsal ramai oleh siswa lain, paling tidak, tak ada yang akan mengganggu—
Sebuah bola meluncur ke arahku.
Siapa orang iseng ini? Tak sulit bagiku untuk menangkis bola ini. Tapi, gara-gara bola tersebut, konsentrasiku kembali buyar. Aku pun berpaling, menatap tersangka yang berani-beraninya merusak ketenanganku.
"Hei kau! Tak lihatkah aku sedang—oh, ternyata kau."
Dengan cengiran a la bocah yang ketauan memetiki mangga tetangga, Tizar memungut kembali bola yang tergeletak di tanah.
"Kenapa, Bar? Kenapa memang kalau ane? Kangen ya?"
Aku hanya memberengut. Memang begini kan tingkah si Tizar, sok akrab ke semua orang.
"Hahaha, sudah ane duga, ente lagi ada masalah ya. Nggak biasanya ente pemarah begini. Jadi kayak cewek.."
Di tengah rasa kesal, aku membayangkan apa jadinya jika ada yang mendengar kata-katanya.
"Hei, pelankanlah suaramu sedikit."
"Wah wah, kenapa? Hmm, jangan-jangan ente lagi galau ya, hahaha..."
Aku makin bingung antara rasa ingin memplester mulut ributnya dengan rasa kesal sekaligus heran, bagaimana ia bisa menyadarinya dengan begitu cepat.
"Kalau galau terus kenapa?", aku menyahut sambil lalu.
"Haha, benar rupanya. Ayolah kawan." Nada bicara Tizar berubah, dan aku paham betul jika ia sedang serius kali ini.
"Ente cuma galau mikirin seorang cewek, taulah siapa dia. Tapi
kok ente bisa sampe jadi jutek begini, nilai sampai drop,
nggak kayak Bardi yang ane kenal!"
Baru saat itulah aku benar-benar mendengarkan. Benar juga kata-katanya, kalau dipikir.
"Heh, Bardi,
tau nggak, ane kenal
ama satu cewek ini, dia
nggak pernah yang namanya
ngeluh, bahkan
pas dia harus merawat abangnya secara penuh, sejak tujuh tahun lalu. Selama tujuh tahun itu, abangnya dari nggak bisa gerak dari tempat tidur sama sekali, sampe bisa ikutan rutin joging keliling kampung. Ente tanya dia gimana? Dia jadi juara kelas, ikut lomba kemana-mana, dan sekarang dia masuk salah satu SMA unggulan di negeri ini. SMA unggulan bro! Masalah ente,
kagak ada apa-apanya!
Kalau ente
masih aja drop cuma gara-gara cewek galauan ente itu, ente
udah kalah
ama itu cewek!"
Heh, Tizar memang tak pernah tanggung-tanggung.
Selalu telak.
Dahsyat seperti biasa.
"Sudahlah, setengah jam lagi Maghrib.
Mendingan ente langsung cabut ke asrama
deh. Jangan lupa, ente juga perlu mulai urus surat izin mampir ke sponsor acara kita Sabtu pekan depan. Ane duluan ya, wassalamu'alaikum."
Tizar pun melangkah menuju masjid.
Rasa tertohok yang sedemikian rupa ini, belum pernah kurasakan sebelumnya.
***
Beberapa hari sudah berlalu sejak cerita di tepi lapangan sepakbola itu. Aku baru saja menghadap guru koordinator kesiswaan untuk meminta perizinan meninggalkan lingkungan sekolah, dan kini aku menenteng map bening bersemu kemerahan dengan penuh rasa pede menuju ruang OSIS.
Aku duduk sebentar di kursi di depan ruang OSIS, sembari melepas sepatuku dan menaruhnya di rak. Kuintip sebentar isi ruang OSIS dari jendela.
Lagi, ruang OSIS sepi. Hanya ada beberapa orang.
Ada Danang yang sedang asyik mengerjakan desain poster acara. Acara yang juga aku dan Tizar urusi saat ini. Acara yang diketuai Tizar ini memang salah satu acara OSIS terbesar di sekolahku. Pelaksanaanya masih dua bulan lagi, tetapi aura acara tersebut sudah mulai menyeruak, memenuhi isi ruang OSIS ini. Selain Danang, Remi sang sekretaris masih saja berkutat dengan entah-apa-lagi-yang-ia-kerjakan. Mungkin ada kaitannya dengan Via yang sedang mendiktekan isi sebuah buku catatan besar di sebelahnya. Tapi semua itu tak kupedulikan.
Ada Tiara.
Tiara duduk tak jauh dari sana, membaca sebuah novel pinjaman dari perpustakaan.
Atau dari Tizar?
Hah, kenapa muncul pikiran semacam ini terus sih.
Sedikit kikuk, aku melangkahkan kaki memasuki ruang OSIS. Tetapi langkahku tertunda untuk sekian detik, saat seorang gadis berjilbab melangkah keluar ruang OSIS, dan kemudian berjalan ke arah Kedai.
Kutaruh map berisi berkas yang baru saja ditandatangani itu di meja ruang OSIS, dan kutaruh tas di samping pintu. Kulihat, tiga orang di dalamnya masih asik dengan pekerjaan mereka.
....
Tiga? Benar juga.
Aku segera memakai sepatu, dan kususul Tiara ke Kedai. Ada yang perlu kutanyakan.
...
...
Kedai adalah salah satu ide yang dicetuskan oleh kepala sekolah terdahulu, mengenai tempat dimana siswa bisa bersantai sembari belajar, atau sekadar berkumpul dalam kegiatan apapun. Bagiku, yang disebut 'Kedai' ini tak lebih hanyalah 'teras' dari gedung koperasi, yang terletak tepat di sebelah Kedai saat ini. Karena koperasi tergolong ramai dikunjungi oleh siswa di sekolahku, maka Kedai pun dengan cepat menjadi salah satu tempat
nongkrong favorit di sekolahku, terutama seusai kegiatan belajar.
Desainnya sederhana, seperti pendopo dengan dasar ubin dengan tiga jenjang tangga di tepiannya, dan atap standar yang ditopang dengan empat tiang. Tiga di tiap sudut, satu di tengah. Sudut yang lain menyatu dengan bangunan koperasi.
Siang itu, Kedai pun masih ramai. Mungkin karena sebentar lagi masuk waktu Zuhur, banyak yang memutuskan untuk bersantai dulu di Keda
Dan di sisi salah satu tiang di sudut itu, Tiara duduk. Aku duduk di sisi lain dari tiang itu.
"Tiara, maaf mengganggu, tapi ada yang ingin kutanyakan."
Tiara hanya menoleh sejenak.
"Aku ingin menanyakan soal Tizar. Kupikir, karena kau tampak begitu dekat dengan Tizar selama ini, mungkin kau bisa menjawab pertanyaanku. Maaf kalau kurang berkenan."
Tiara diam beberapa saat. Kemudian ia hanya menjawab pelan,
"Sudahlah, tanyakan saja."
Kini aku yang diam sejenak. Menghela nafas.
"Beberapa hari yang lalu, Tizar sempat
bilang tentang seorang cewek. Dari gaya bicaranya, aku yakin Tizar punya rasa kagum akan cewek ini. Baru saat itu aku dengar Tizar membicarakan orang lain seperti itu. Kau mungkin kenal dia?"
Tiara kini terlihat tertarik.
"Apa yang dia katakan tentang cewek ini, Bar?"
"Wah, Tizar hanya bilang kalau cewek ini merawat abangnya yang lumpuh secara penuh, sampai sembuh, sejak tujuh tahun yang lalu. Dan cewek ini juga berprestasi, ikut banyak lomba, jadi juara kelas.."
Hening sesaat, dan kemudian Tiara kembali bertanya.
"Dia.. dia benar-benar.. bilang begitu..?"
Bukan jawabannya yang di luar dugaanku, karena aku sama sekali tidak membuat praduga.
Tetapi suaranya.
Nada yang bergetar itu.
Nada lirih itu.
(bersambung)
***
sumber gambar