Aku ingin nyanyikan lagu
Bagi kaum kaum yang terbuang
Kehilangan semangat juang
Terlena dalam mimpi panjang
Ditengah hidup yang bimbang
Kenapa harus takut pada matahari?
Kepalkan tangan dan halau setiap panasnya
Kenapa harus takut pada malam hari?
Nyalakan api dalam hati usir segala kelamnya
(Virgiawan Listanto, Anthoq Klobot & Yoyik Lembayung, 1985. Serenade)
Hari berganti hari, dan kini sudah sampai jauh sekali dari post bertajuk Edisi Bocah Tersasar yang terakhir keluar. Sepertinya penulis mengalami distorsi akibat demam musim panas. Meskipun yang disebut 'musim panas' itu, belum pernah benar-benar penulis rasakan bagaimana panasnya. Bulan-bulan terakhir ini, Juli dan Agustus, sepantasnya menjadi ajang sang Matahari menunjukkan kualitas panasnya di belahan utara. Tetapi, dalam kenyataan, waktu-waktu ini hanya menjadi ajang petak umpet Matahari untuk menyembunyikan cerahnya di balik redup awan hujan. Cuaca saja sering galau ya, duh. Jangan ikut-ikutan ya adik-adik... (mencoba meniru gaya si Komo) (tentu saja, gagal)
|
Para Leucanthemum vulgare berkibar dengan bangganya |
Untaian memori baru telah terjalin, menyusun pikiran yang tak terperi. Bunga-bunga bersemian berganti, dan perlahan hari demi hari saling mendahului pergi. Kutatap langit, yang memberikan musimnya untuk berdatangan perlahan bergantian, menuju episode baru kehidupan ini. Halah ngapain sih. Padahal yang hendak disampaikan hanya tentang berlikunya kehidupan dan juga para pelakunya. Termasuk si bocah tengil yang kini mulai berani berfoya-foya dengan mencairnya kertas penghidupan. Penulis pun tak mengerti. Bukankah seharusnya kita berlaku dermawan atas apa yang kita punya? *betul ibu guruuu* Nah betul kan... Tunggu, saya bukan ibu guru. Kembali mengenai kertas penghidupan, beberapa hari ke depan, bocah tengil akan diajak hadir ke pertemuan yang akan membahas kertas penghidupan mereka, salah satunya mengenai pengelolaan untuk memastikan kerannya tetap mengucur untuk setahun ke depan. Mohon doanya, semoga urusan-urusan lancar, baik urusan amanah, urusan cita-cita, atau urusan hati. (pfft)
Berbeda dengan sebelumnya, karena lebih dari 4 bulan telah berlalu sejak tulisan Edisi Bocah tersasar terakhir kali dipublikasikan, tentu saja cerita yang menyertai kehidupan selama waktu terkait lebih banyak terkumpul untuk dipetik satu persatu buahnya. Asal jangan sampai ketahuan aja.
Tetapi, untuk edisi yang ini, fokus tulisan akan ditempatkan di buah. Mungkin dirujak sedikit atau dijus. Atau terserah dirimu.
Pekan-pekan terakhir dihiasi dengan beberapa orang-orang yang terpilih setelah seleksi panjang untuk mewakili negeri pertiwi di ajang antarbangsa. Mirip waktu-waktu
setahun yang lalu, ada juga orang-orang sejenis dengan yang sebelumnya disebut, hanya saja jenjangnya sedikit di bawah. Ajang sebangsa. Juga yang mendapat bangku besar. Beberapa diantaranya sudah lama terbubuhkan ke jejaring pertemanan penulis di media sosial, dan tentu saja bagaimana mereka mengungkapkan semangatnya, dapat dibaca dengan mudah.
Sebelumnya pengamatan atas beberapa dari mereka, yang begitu antusias mengoarkan berbagai kalimat klise itu terdengar seperti seperti kaset rusak, lagi, lagi dan lagi. Tanggapan yang nyaris sinis, penulis sendiri heran pula.
Sementara di sisi lain, untuk mereka yang sebelumnya dikatakan akan menempuh ajang yang jenjangnya 'sedikit di bawah', pengamatan yang dilakukan justru melihat mereka begitu penuh semangat dan optimis menatap langkah mereka selanjutnya.
Penulis terus mempertajam ekstremitas di kedua pandangan yang bertolak belakang, dan kemudian ia dapati buah kesadaran, bahwa yang sebenarnya adalah dia iri karena tak mendapatkan salah satunya, dan ia mendapatkan yang lain.
Prasangka memang
maestro yang luar binasa.
Penulis juga sering mendapati banyaknya perseteruan antara fans yang satu dengan fans yang lain, yang mendukung entah apa, suatu figur tertentu. Baik itu satu individu, atau satu kelompok, atau seterusnya.
Nggak capek apa ya mereka. Penggemar fanatiknya, si 'pro', senantiasa bersikeras membenarkan setiap tindakan sang idola, sementara lawannya yang anti pol-polan, si 'kontra', bersikeras menghubung-hubungkan setiap 'tindakan baik' yang dilakukan 'figur tertentu' tadi dengan suatu hal yang terkesan konspiratif dan sangat berbau tuduhan, macam konspirasi Wahyudi, respirasi Susanti, koperasi pak Rudi, dan entah apa lagi.
Penulis sempat tak habis pikir akan bagaimana seseorang bisa begitu rela bersikap superdefensif membela figur yang
ia damba, padahal mereka pula tak lepas dari salah dan lupa. Dan kemudian ia memetik buah pencerahan, bahwa yang sebenarnya adalah ia tak paham, berhubung ia ntak mendedikasikan diri untuk 'figur khusus' semacam 'itu'.
Dosis cinta yang berlebih memang mampu membuat logika mati mendidih.
Berkat impuls-impuls yang bergantian mengalir mampir ini, penulis mulai kembali mencoba menjernihkan pikiran. Butuh pikiran segar menghadapi perputaran Bumi di orbit untuk kali kedua aliran dana. Dinamika dunia makin bergolak, awan ilusi terus menggelegak. Sebagai warga dunia yang ingin terus bertahan menghadapi terpaan zaman, tentunya si bocah tengil harus terus membersihkan kacamata, alih-alih melepasnya, dalam mengamati citraan dunia yang tak jelas mana nyata. Karena orang zaman sekarang makin suka membuat segalanya menjadi blur, seperti bubur yang seluruh kerupuknya telah dicampur. Mari terus tafakur, jangan cuma terpekur, apalagi sampai mendengkur, berhubung kini hari libur. Nanti disambut burung tekukur loh.
Haah, sekarang bocah tengil mulai bersiap menyambut jernih langit musim gugur, dan juga jernih jiwa yang sempat tergusur. Semoga semangat yang sedang dipompa maju ini tidak tertarik kembali mundur.
Tak biasa aku peduli dengan bintang
Yang di langit luas membentang
Tetapi, tadi baru saja kujumpa disana
Sejenak pandangan yang tak pernah sama
Kutahu ku tak takut dengan malam hari
Tetapi kini aku bergidik tak terperi
Biar saja pintu yang terbuka berderit
Jika aku harus berlari terkejar jerit
Akan kulawan seperti hidup melawan pahit
Menumpas pahit kopi dengan lapis legit
Dan hei cangkir, aku tetap disini
Menemani awan langit menatap sunyi
Yang kutemui ini takkan sama lagi
Dan semoga aku tetap setia menebar mimpi
(Bocah Tengil, 2013. Secangkir Teh Kopi)
|
Kedalaman langit dihadapi kedangkalan dedaunan |