Hei, kau masih disana?
Terdiam seperti ranting. Terbakar dicekam sunyi.
Aku terduduk lagi diatas kursi, terpisahkan dari kenyataan oleh selapis kaca tipis. Ada hujan yang membasuh, ada angin yang meniup, dan ada laju yang terus membubung.
Titik-titik cahaya itu beriring, bergerak ke belakang, meninggalkan diriku yang masih melaju tanpa tahu kapan mencapai tujuan.
Terkadang aku merasa tak sabar ingin segera datang, dan di saat lain terasa ingin tetap bertahan.
Kupikir kau masih menunggu disana. Padahal tentunya tidak.
Benarkah semua ini telah kudapat?
Terkadang aku merasa jam dinding begitu sering berputar, rasanya seharusnya ia bosan. Begitu pula jarum-jarum yang setia meliuk, berputar dengan tenang tanpa pernah terbelit.
Keheranan yang beda. Dulu kukira sama, rupanya jauh cemasnya.
Aku bisa melihat roda yang terus berputar, menggulirkan perjalanan selanjutnya. Tetapi tidak dengan perputaran sistem yang memutar mereka.
Baris cahaya bergulir pergi datang, seolah mewakili apa yang sampai di muka.
Teriring salam untuk bintang utara, yang duduk tenang di angkasa.
Seperti ukiran yang tak lekang oleh zaman, seperti tulisan yang terbuku dalam naskah peradaban.
Langit mungkin tak lagi sama, awan yang berarak tak menghimpun cahaya yang serupa.
Tetapi dalam setiap perjalanan, akan selalu ada cerita.
Dan setiap cerita selalu punya warna.
Kutinggalkan kisah dalam aluran baris cahaya yang terus berjajar, kali ini merekalah yang diam.
Dan akulah yang kini berjalan, menebus waktu menuju hidup lalu.
Cahaya yang berbaris pergi, cahaya yang menuntun untuk kembali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar