Rabu, 10 Februari 2016

Article#514 - Persepsi


Memijak akhir. Menerabas batas. Menjumpa awal.
Terhitung dalam satuan waktu antara galeri yang sedang kau kunjungi ini dengan galeri sebelumnya, awan musim dingin menyapukan sekian banyak serpih. Seserpih yang telah bercerita demikian banyak akan lika-likunya memberantas hidup yang keras. Seserpih yang sudah demikian lemah ketika mendatangi muka dunia, di mana ia bertekuk lutut dalam penghabisan.
Seserpih yang padanya demikian banyak jiwa sedunia mencerita soal damba. Tentang cita untuk menjejak satu dari sekian petak daerah di mana ia biasa bertapa dalam beberapa masa. Tentang rasa penasaran akan menjalani hidup dalam segenap sepermainan tumpuknya.
Atau seserpih yang padanya demikian banyak jiwa menyerapah durjana. Tentang kesuraman dan warna-warna yang perlahan mati dimakan zaman. Tentang damba untuk menjejak jauh bebas dari kuasanya. Tentang penantian panjang menuju pengenyahan hadirnya.

Agaknya kita seringkali dibutakan ketika berdialektika soal pengkutuban dari beragam hal yang ada di sekitar. Sekian banyak pasang lawan kata diperkenalkan pada telinga, merasuk sekian dalam di kepala sepanjang sisa usia. Sehingga kita besar dalam paradigma akan adanya dua rupa. Akan adanya terang yang membasmi gelap. Akan adanya panas yang mengusir dingin. Akan adanya dekat yang memberangus jauh. Akan adanya utara yang menyelisihi selatan, adanya tinggi yang menyaingi rendah.
Dan tentu saja kita melaju lebih jauh dari itu. Manusia konon adalah jawara ketika kita bicara soal penerapan prinsip dasar, dan dalam hal ini agaknya kita akan kembali mengoptimalkan apa yang tertanam demikian keras, membatu dalam jiwa. Maka kita seolah mengamini saja manakala seorang Bush berkoar keras: Kamu bersama kita, atau melawan kita. Tidak ada opsi ketiga, apatah keempat kelima.
Kita amini mereka yang berkoar mengkritisi sebuah perwujudan sebagai pendukung setia bagi lawan.
Bahkan kita seolah mengamini tidak adanya peluang untuk bercokol di antara kedua sisi. Kita sesapi hidup yang terkungkung dalam paradigma dua ekstremitas hitam dan putih.

Pada akhirnya, mereka yang meletupkan duga ke sembarang arah, mungkin masih lelah mencari arah melangkah. Definisi bodoh yang berdengung dari beragam makna mungkin hanyalah hasil dari mereka yang kurang awas. Soal segala rupa prasangka, soal segenap raga nyata.
Pun begitu juga mereka yang terus menyerbu dari satu arah, mungkin karena dari sanalah mereka dapat berpijak dengan mudah. Sebuah strategi yang memungkinkan mereka untuk bersuara, meluncurkan pendapat. Walaupun pendekatan pragmatis yang mereka lakukan mungkin menyalahi idealisme yang telanjur membakar tenggorokan mereka dengan gairah berceramah.

Mungkin mereka memang lelah. Mungkin kita semua lelah.

These could be the best days of our lives
But I don't think we've been living very wise




















































8 komentar:

  1. Sekarang lagi musim salju di Jepang?

    BalasHapus
    Balasan
    1. ...Kalau maksudnya sekarang itu awal April ini, udah nggak. Sekarang udah musim semi.

      Hapus
    2. Wah, enak ya.
      Aye kalau mau liat bagaimana Jepang itu kadang liat-liat aja di blog Akang.

      Hapus
    3. Bisa, bisa. Hahaha
      Tapi kalau isinya pemandangan begini mungkin nggak banyak menggambarkan.

      Mungkin sementara bisa cek galeri perjalanan macam isinya artilel 398, 450 atau 502, supaya bisa dapat gambaran yang lebih riil: nggak terfokus sama alam

      Hapus
    4. Aku sih yang nggak selalu alam aja, foto perumahan atau gang di Jepang aja udah bisa melihat gambaran Jepang itu kek gimana.

      Hapus
    5. Hmm baiklah kalau begitu.

      Nanti agaknya bakal ada post rekap perjalanan selama di Jepang, sebelum pulang ke Indonesia nantinya.

      Hapus
  2. Sepertinya itu tempat yang asik buat main ice skating :D

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...