Berita hangat mengenai salju di negeri pepasir Arab sana kembali membuat sebagian masyarakat terhentak. Mungkin sebagian dari kalian para pembaca laman ini pun berpikir demikian ketika mendapati berita terkait beredar di beragam lini media. Bagaimana bisa, daerah yang identik dengan suhu panas membakar itu, tiba-tiba mendapati salju menyelimuti permukaannya? Pertanyaan serupa banyak dikeluarkan oleh beragam kalangan.
Situasi kemudian memanas dengan selipan isu terkait kekacauan iklim, atau yang lebih marak, isu tanda-tanda kiamat. Konon, kiamat akan tiba jika dataran tandus Arab yang diliputi gurun itu berubah menjadi hijau, ditumbuhi pepohonan di sana sini. Mengidentikkan salju dengan hujan suhu dingin membeku, dua hal tampak sebagai anomali besar di wilayah gurun Arab: turunnya hujan, dan yang utama hujannya cukup dingin untuk turun dalam wujud butiran salju. Agaknya wajar, jika dalam paradigma tersebut, masyarakat yang mendapati terjadinya dua hal ini di Arab sana mengambil kesimpulan bahwa memang kiamat sudah dekat.
Gurun Atacama dengan selapis salju, dekat Cerro Paranal tempat kompleks Very Large Telescope (VLT) berada. sumber |
Awal paling strategis untuk memulai tentu adalah dari dua hal yang disinyalir merupakan anomali besar: turunnya hujan dan suhu yang anjlok mendekati titik beku.
Apakah kedua hal ini lumrah terjadi di Jazirah Arab? Jawaban paling spontan adalah tidak, tetapi mungkin batin mempertanyakan: benarkah demikian? Mari kita telaah.
Hujan di gurun? Sangat mungkin, dong.
Tentu saja, jika membahas soal frekuensi, tentu tidak serajin itu awan hujan singgah mengguyuri wilayah gurun. Bukan tanpa alasan wilayah gurun terkenal tandus dan kering. Atau lebih tepatnya, wilayah gurun memanglah didefinisikan sebagai tempat-tempat yang demikian jarang terbasuh hujan Bersatunya beragam faktor, mulai dari aliran angin hingga sel Hadley menyuguhkan udara yang cukup kering untuk membiarkan sebagian muka Bumi asing dari aliran air.
Tetapi, daerah yang sangat kering ini pun acapkali mendapati pola cuaca sedikit berubah. Sekali dalam hitungan beberapa tahun hingga abad, pergolakan cuaca dan iklim menyeret awan-awan hujan berdatangan mengguyur gurun yang terbiasa kerontang itu. Dalam hitungan pekan, ketika hujan itu mungkin sudah pergi jauh, bebungaan akan menggantikan curah hujan untuk membanjiri segenap lansekap gurun.
Beberapa gurun di wilayah Amerika, seperti gurun Atacama di Chile dan guru Mojave di Amerika Serikat, acapkali mendapati lansekapnya diguyur hujan sebagai efek samping dari El Niño.
Perbandingan lansekap gurun Atacama pada tahun normal (kiri) dan tahun El Niño (kanan). sumber |
Lalu, bagaimana dengan salju di gurun?
Agaknya, kita semua sepakat jika salju adalah perwujudan lain dari butir hujan, ketika suhu anjlok menuju titik beku. Maka, ketika kita tahu sebuah wilayah gurun acapkali didera hujan, kesimpulan dapat ditarik dengan mudah: jika hujan terjadi ketika suhu anjlok menuju titik beku, yang akan kita dapat bukanlah hujan, melainkan salju.
Pertanyaan selanjutnya mengemuka: mungkinkah? Apalagi selama ini gurun tidak hanya identik dengan lansekap kerontang, namun juga dengan panas yang demikian membakar. Pada kenyataannya, suhu terpanas yang mungkin tercatat di dunia ini memang dicatatkan di wilayah gurun.
Mengapa suhu gurun bisa sedemikian membakar? Sederhananya, penyebab panasnya gurun adalah minimnya tutupan vegetasi disokong oleh minimnya tutupan awan. Sehingga, sinar Matahari yang menyorot wilayah gurun tidak mendapat halangan berarti saat menerjang muka Bumi.
Tetapi, bagaimana dengan malam? Ketika tidak ada sinar Matahari yang menyerang pepasir? Faktor minimnya tutupan awan dan vegetasi yang berkontribusi pada panasnya gurun, pada malam hari juga menjadi kontributor utama akan perubahan suhu. Minimnya tutupan awan dan vegetasi berarti minimnya kadar uap air di udara. Tanpa selimut uap air untuk menahan panas, panas yang diserap tanah sepanjang siang dilepaskan ke angkasa tanpa penghalang. Alhasil, suhu malam hari gurun anjlok jauh di bawah suhu siang hari, dengan selisih suhu siang dan malam acap kali melebihi 30° Celsius. Konon, perubahan suhu ekstrem inilah yang menjadi pelaku utama di balik tergerusnya bebatuan gurun menjadi pepasir.
Tapi tunggu. Kisah dinginnya gurun belum selesai sampai sini.
Sebaran gurun utama di dunia. Dapat dilihat bahwa secara kasar gurun-gurun tersebut berada di lintang yang sama. sumber |
Mereka yang akrab dengan iklim berbeda di lintang yang berbeda tentu akan memahami bahwa seiring dengan menjauhnya seseorang dari ekuator, perubahan suhu sepanjang tahun akan makin kentara. Demikian pula halnya bagi wilayah gurun, suhu rata-rata di bulan musim panas akan berbeda cukup jauh dengan suhu rata-rata di musim dingin. Sebagai contoh, kota Kairo di Mesir sana biasa memanas melebihi 35°C di bulan-bulan musim panas seperti Juni dan Juli. Akan tetapi, pada bulan musim dingin, suhu siang hari jarang melampaui 20°C.
Gurun Taklamakan yang tertutupi salju, 2 Januari 2013. Foto oleh NASA. |
Gurun tak senantiasa sepanas yang kita sangka, eh?
Tapi, itu kan jauh di utara dibandingkan Jazirah Arab?
Tentu saja. Perkenalan dengan gurun Gobi hanya dimaksudkan sebagai sarana memperkenalkan seberapa ekstrem wilayah gurun bisa mendingin. Pada kenyataannya, wilayah pepasir Arabia bukanlah wilayah yang jamak menjumpai anjloknya suhu hingga sedemikian membekukan. Meskipun memang salju dapat tersasar menuju daerah tersebut sekali waktu.
Dalam beberapa waktu yang biasanya terhitung dalam bilangan tahun, pergolakan cuaca menyeret uap air dan suhu dingin menuju wilayah gurun. Tabuk di wilayah pegunungan barat laut Arab didatangi salju setidaknya sekali tiap 4 tahun; kejadian termutakhir pada akhir 2013 juga telah menggaungkan rumor "Arab menghijau" di seantero lini maya. Saat itu, badai Alexa menerjang wilayah Timur Tengah dan menutupi wilayah Yerusalem hingga Tabuk dengan salju hingga lebih dari 30 cm.
Untuk kasus terbaru ini, agaknya biang keladinya adalah Antisiklon Siberia. Seperti dulu pernah penulis bahas, udara dingin membekukan yang berkumpul di wilayah Siberia terkadang meluaskan pengaruhnya hingga jauh ke sekitarnya. Kali ini ke barat, menuju wilayah Arab. Alhasil, suhu udara wilayah Arab anjlok, memungkinkan turunnya salju untuk pertama kali dalam sekitar 85 tahun bagi wilayah dekat Madinah.
Pada akhirnya, sejarang apapun salju turun memutihkan lansekap gurun Arab, masyarakat Arab bukanlah masyarakat yang asing akan kebekuan yang ditawarkan kristalnya. Bahkan, orang Arab punya istilah sendiri untuk menyebut kristal putih tersebut: ثلج alias salji dalam pelafalan orang Melayu. Atau, salju.
Ya. Istilah "salju" yang kita pakai itu datang dari wilayah pepasir Arab. Wilayah yang senantiasa diidentikkan dengan lansekap pepasir kerontang yang panas membakar.
Sedikit informasi ini saja sudah dapat mengutarakan betapa wilayah tropis macam Indonesia justru lebih asing akan salju dibanding jazirah Arab. Di seantero Indonesia, dapat dibilang hanya puncak-puncak tertinggi di pegunungan Papua yang sesekali merasakan salju.
Karena itu, jika kalian tergerak mengatakan betapa salju di Arab adalah sebuah anomali yang demikian janggal, agaknya perlu mendatangkan fakta ini kembali: Indonesia jauh lebih asing akan salju dari pada Arab.
Bagaimana?
Tapi indonesia pernah hujan es kak. Benda beku sebesar kelereng atau lebih pada beberapa tahun lalu.
BalasHapusSalju itu satu jenis kristal es. Beda dengan es yang ada di kulkas atau di minuman itu.
HapusCoba baca ini -> http://goo.gl/D3cWno