Minggu, 03 Januari 2016

Article#502 - Empat Negara


[apdet terakhir pada 22 Februari 2016, 11:54 (UT+9)]

Sembilan provinsi.
Delapan hari.
Empat nagari.
Satu resolusi.

....Ketika mata kalian para pembaca mulai menyapu baris demi baris rangkaian kata di atas, tentu akan terlihat adanya pencocokan. Karena bagaimanapun juga, warga Jepang sendiri menyebut "provinsi" mereka, 県 "ken", sebagai "prefecture" dalam bahasa Inggris. Meskipun pada hakikatnya, "prefektur" milik Jepang sebagaimana yang berlaku saat ini sama saja dengan "provinsi" yang biasa kita kenal sebagai pembagian terbesar dari wilayah negara.
Apalagi, apa ini, nagari? Yah, seperti yang sudah saya sebutkan sebelumnya, jelas sekali arah utama dalam pemilihan senarai kata terkait adalah masalah rima. Iya, rua tambah riga.... Eh bukankah? Lupakan.
Nagari barangkali akan diidentikkan dengan "negeri", akan tetapi ia merujuk pada istilah yang dimaknai sebagai "desa" di ranah Minang sana. Hal yang mungkin cukup relevan, mengingat yang dimaksud sebagai "nagari" adalah empat prefektur di pulau Shikoku. Pulau yang secara umum dapat dikatakan sebagai pulau yang relatif tertinggal dibanding sepupunya, mulai dari Kyushu, Hokkaido, apalagi Honshu. Kita ambil satu prefektur, Kouchi. Ia boleh saja menjadi prefektur paling besar (terkait luas wilayah), akan tetapi ia adalah yang paling sepi penduduk dan paling miskin dari ketiga prefektur yang membagi wilayah Shikoku.

Mereka yang pernah melangkahkan kaki barang sejenak di Shikoku, barangkali telat mendapati bahwa Shikoku merupakan satu-satunya dari empat pulau besar Jepang yang tidak memiliki gunung api aktif. Mereka yang masa bodoh soal kenampakan alam, dan lebih memperhatikan aksesibilitas daerah, akan mengaitkan ketiadaan jalur kereta peluru (shinkansen) di pulau ini dengan ketertinggalan relatifnya dibandingkan daerah lain di Jepang. Meski agaknya pemicu utama bukanlah ketiadaan jalur kereta peluru di pulau yang satu ini. Karena, meskipun sebagian Shikoku termasuk daerah yang pertama mengecap peradaban di Jepang, secara umum Shikoku telah menjadi daerah tertinggal (dalam standar Jepang) setidaknya sejak abad ke-8 Masehi.

Entah disengaja atau tidak, atau terkait dengan poin-poin sebelumnya atau tidak, Shikoku terus menjadi pulau yang terisolasi dari daerah Jepang lainnya. Saking terisolasinya, Shikoku praktis haya bisa diakses melalui kapal hingga tahun 1988.
Dalam sekian ribuan tahun itu, pantai utara Shikoku yang menghadap pulau Honshu perlahan ditumbuhi berbagai kota laksana kota di musim kota. Kontras dengan sisi selatan Shikoku yang menghadap bentang Samudra Pasifik, ia seakan tumbuh sendiri, terpencil dan menyerahkan nasibnya pada gelombang-gelombang ganas yang senantiasa menggerayangi tiap garis pantainya. Kouchi yang berdiri sendiri menantang Pasifik sudah lama menunjukkan hal ini.

Meski Shikoku secara umum telah lama termarjinalkan dalam perkembangan menuju Jepang modern, berdirinya banyak kota di pantai utara Shikoku jelas menunjukkan betapa Shikoku tidak hanya menjadi tim hore. Beberapa atraksi wisata andalan Shikoku seperti ziarah 88 kuil, Dogo Onsen, juga bentang alam yang nyaris murni dari senuhan tangan jahil manusia, telah menjaga nilai magis yang dapa ditawarkan oleh pulau ini. Dibantu dengan "keterpencilan" karena akses yang relatif minim, agaknya Shikoku memang pas bagi kalian yang ingin sejenak melemparkan diri menikmati sanubari alami.

Entah kenapa saya seolah menjadi agen wisata Shikoku dengan mempromosikannya sedemikian rupa. Ah sudahlah.

......
"Empat Negara" sendiri merujuk pada Shikoku (四国), nama yang merujuk pada empat "provinsi" pada pulau di selatan Jepang ini.
Boleh saja protes, dengan melampirkan informasi tentang bagaimana sekarang mereka semua sudah dikenal sebagai 県 "ken" alias prefektur. Menariknya, meski 国 "koku" kini secara harfiah bermakna "negara", dulu istilah ini digunakan untuk menyatakan "provinsi". Tentu saja, semua keserampangan berbahasa ini terkait dengan penyesuaian rima. Seperti yang sudah sudah.

*****

Berbaris-baris abstraksi sejarah mungkin membuat sebagian dari kita pusing, tetapi agaknya ragam kontur muka Bumi tak pernah lekang dari keingintahuan manusia yang menjejakinya. Pun jua diri saya, yang memutuskan untuk membelanjakan dana, tenaga dan cita untuk kembali melanglang buana.
Tujuan utama dari perjalanan ini sederhana saja. Melaju kembali menyusuri wilayah barat dan selatan Jepang, penulis berkesempatan menelusuri wilayah-wilayah yang tergolong tertinggal jika dibandingkan dengan sekitarnya di Jepang: seantero pulau Shikoku, serta Tottori dan Shimane yang senantiasa muram dalam mendung selama musim dingin tiba. Bermodal tiket perjalanan harga cekak sebagaimana yang sudah-sudah, penulis menelusur, memparipurnakan kunjungan dan persinggahan. Terhitung 1 Januari 2016, 46 prefektur yang membagi keseluruhan wilayah utama Jepang telah penulis kunjungi, menyisakan satu: kepulauan subtropis Okinawa, setengah jalan antara Kyushu dengan Taiwan.

Akhir kata, berhubung satu gambar mewakili (dan lebih enak dipandang dari) deretan kata, maka saya akan menyudahi segala ocehan saya, dan segera memamerkan hasil jepretan dalam galeri di bawah.
Selamat menikmati.

Kereta JR Tohoku Main Line (東北本線) tujuan Fukushima, Koriyama

Utsunomiya
Fuji (belakang) dan Hakone (depan), dilihat dari wilayah Odawara
Keterlambatan beberapa kereta di stasiun Osaka, 4 dan 10 menit
(Usaha memotret) korona Bulan, Wakayama. Skala foto sama dengan foto di bawah
Purnama Subuh, Tokushima
Salah satu hal menarik yang pertama kali kami pergoki ketika memasuki
stasiun JR di Shikoku: kereta berbahan bakar diesel, alih-alih listrik.
Fajar menyingsing, dekat kota Awa.
Awa-Ikeda, Tokushima
Menuju jalur terbaik dalam perjalanan ini menurut penulis: Dosan Line (土讃線) antara
Awa-Ikeda dan Kouchi.
Sungai Yoshino 吉野川
Oboke, dekat perbatasan Tokushima-Kouchi
Gomen, Nankoku, Kouchi. Here is why this is interesting.

Menghadap samudra Pasifik
Stasiun Kubokawa, Shimanto, Kouchi
Selintas jalan Kubokawa
Vending machine dengan gelas kertas. Kejutan yang lumayan.
Catatan: cokelat panasnya enak
Cetak peta pulau Shikoku dan sekitarnya. Lokasi stasiun Kubokawa digambarkan pada
titik merah di bagian bawah, di pojok pantulan sosok penulis. Atau oke, pemotret.
Mobil. Yasudah.

Ekawasaki, Shimanto. Lokasi dicatatkannya rekor suhu terpanas se-Jepang, 12 Agustus 2013,
yang hingga laman ini dipublikasikan, masih belom terkalahkan.
Bangunan berkubah yang kami pergoki. Otak sontak berteriak kalau itu masjid,
tetapi apa benar..?
Trem di Matsuyama
Jalanan Matsuyama di pagi hari

Tiga ikon utama Matsuyama: Kastil Matsuyama 松山城, Dogo Onsen 道後温泉, dan kereta Botchan 坊っちゃん列車

Lift kursi menuju kastil Matsuyama
Pemandangan musim "dingin" a la Shikoku. Suhu mencapai 14 derajat siang itu.

Penulis bersama maskot kastil Matsuyama, Yoshiaki-kun

Pemandangan kota Matsuyama dari lantai tertinggi kastil
Kereta Botchan dan trem

Kereta Botchan dari dekat. Kalian yang berminat menaikinya perlu memesan kursi terlebih dahulu,
dan kereta ini hanya beredar dua-tiga kali sehari.

Mikyan, maskot prefektur Ehime
Kastil imitasi di Matsuyama Sogo Koen 松山総合公園

Saling memandang antara bukit Matsuyama Sogo Koen dengan bukit kastil Matsuyama
(Sebagian) Matsuyama di malam hari
Mikyan lagi-lagi muncul, Klik di sini untuk memahami makna Omotenashi おもてなし
Parameter yang saya gunakan dalam menilai tertinggalnya suatu daerah di Jepang secara ekonomi.
Di seluruh stasiun di Shikoku yang saya kunjungi, juga di Tottori dan Shimane, tidak ditemukan
pembaca tiket elektronik alias 自動改札 jidou kaisatsu.
Jiikamiyama 爺神山, Kagawa
JR MarineLiner antara Takamatsu dan Okayama
Yoshima, Sakaide, Kagawa
Pusat kota Okayama
Kereta segera berhenti di stasiun "Iya" 揖屋駅
Pengumuman kereta sleeper express (寝特 netoku) dari Izumo ke Tokyo

Salah satu desain interior gerbong paling unik yang pernah saya lihat selama di Jepang

Makanan minimalis a la anak warnet Yonago
Danau Koyama, Tottori
Senja menuju paripurna di dekat Kyoto

Larangan menggunakan tongsis di stasiun wilayah Jepang barat (menariknya, belum ada
larangan serupa untuk wilayah timur).

2 komentar:

  1. Balasan
    1. "Two reasons were given for the shift in policy. First, since the construction of most of JR West’s stations predate even the invention of the term “selfie,” they weren’t designed with selfie sticks in mind. Many facilities have overhead wiring or other apparatuses that the company fears can be affected or damaged by being struck by the selfie stick, or through electric shocks triggered by close proximity to the smartphone even if no direct contact occurs.

      Secondly, and this seems like it’s probably the actual primary reason, is a fear that groups and individuals standing on the station platforms and swinging their selfie sticks around to get the perfectly angled snapshot probably aren’t paying as much attention to their surroundings as they should be. They’re more likely to impede the smooth flow of passengers through the area, and can be nuisance for those who have to walk around or dodge them to prevent collisions. Even worse is the concern that people who are staring at a smartphone attached to an extended rod aren’t watching their feet, and could easily fall onto the tracks and into the path of an oncoming train.."


      RocketNews24, 20 Sep 2015

      Hapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...