Rabu, 29 Januari 2014

Article#259 - Kaleidoskop

(lanjutan dari edisi sebelumnya)
....
"Kenapa ya, orang bijak identik dengan tua?"
Sebersit pertanyaan yang selalu menyempatkan diri untuk muncul tiap kali penulis mendengar cerita mengenai orang bijak. Pemahaman yang mungkin terbersit juga dalam pemikiran beberapa orang lain. Jika diminta untuk membayangkan sejenak, seperti apa kenampakan seorang bijak, maka pikiran banyak dari kita akan secara otomatis mengasosiasikannya dengan salah satu atau kombinasi dari beberapa gambaran berikut.

Mungkin, sosok yang akan terbayang adalah seorang tua dengan kostumnya yang sederhana. Segala langkahnya yang seksama, selalu awas akan apa yang mungkin menghadang. Pandangan matanya menatap lamat-lamat akan warna dunia, tenang nan menghanyutkan. Kata-katanya disampaikan dalam nada yang dalam, menghantar sampai lubuk hati terdalam. Tempat hidupnya, sebuah desa yang tenang, sejuk nan asri, memberikan suasana yang demikian memadai bagi pemikiran bijak untuk tumbuh subur dan berkembang biak.
....
....
Hah, entahlah. Pada akhirnya daftar diatas bisa diteruskan tanpa henti. Tetapi, sejauh yang penulis amati, dimanapun mencari, bagaimanapun meneliti, hampir semua orang kompak dalam membahas masalah ini. Terlepas dari perbedaan latar cerita, alur cerita, ataupun tokoh cerita. Ketika sudah hadir tokoh "orang bijak" dalam cerita, ia nyaris selalu digambarkan dalam citra senada: "tua".

*****

sumber


There'll come a time, yes I know. 
There'll come a time when I looked back and regret what is gone.
I looked back and regret what is gone.
....There'll come? Or there had come?

Awal dari tercetusnya tulisan ini ikut dipacu oleh beberapa rekan sesama penulis yang juga menuangkan sekian banyak rangkaian kata. Agaknya banyaknya kejadian yang bernaung di sekitar benak penulis kali ini, ikut mendorong jari-jemari. Untuk sekali lagi, berdansa, berloncatan dengan lincah pada lingkup papan kunci. Bahkan, tak hanya jemari yang dengan indah berloncatan, benak pikiran juga demikian gesitnya berseliweran. 
Berseliweran, bertabrakan, dan bepergian. Seringkali tanpa mohon perizinan.

Mereka semua pergi, menyambangi memori yang arsipnya tersimpan sebagai elegi. Elegi yang menangis, meratapi masa lalu yang takkan sudi kembali. Sebuah masa yang bukti keberadaannya hanya bisa ditemukan, oleh mereka yang menyigi berlembar-lembar naskah yang terhampar, luas di dalamnya. Mungkin didalamnya mereka temukan kenangan cerah berwarna, yang bersamanya kita tertawa. Mungkin pula, didalamnya mereka temukan lembar memori hitam-putih, yang warnanya telah lama pudar oleh perih. 

Kita semua telah berkubang dalam hidup di tengah dunia kebrengsekan. Dunia dengan segala macam corak polanya, porak-porandanya, sorak dahaganya. Dunia dimana berbagai macam hal bisa ditertawakan oleh apa-apa yang dimusuhinya, dan ditangisi oleh apa-apa yang dikasihinya.
Di dunia inilah, kita-kita, para jiwa-jiwa yang tersebar tanpa tahu menahu jalan tujuan, mengais keping cerita untuk disusun sebagai kesatuan naskah perjalanan. Sejarah telah mencatat, tak terbilang juntaian cerita yang terpautkan, antar satu-dua jiwa dengan entah kaitan yang mana.

Dalam masing-masing juntai cerita ini, terselip demikian banyak jurai-jurai kata yang sempat tertuturkan. Entah yang dipikirkan masak-masak, atau yang diutarakan tanpa sempat terayak. Ada juga yang lain, sisa bersitan dari apa-apa yang sempat terbayang dari sebuah perlakuan. Entah apa-apa yang hanya tersimpan dalam perasaan, atau bersama kawan-kawan dipertanyakan.

Jiwa-jiwa yang tersasar itu, mereka makin banyak mengumpulkan keping-keping, menata sebuah gambaran abstrak yang dengan bangga mereka usung sebagai karya. Ada yang menempatkan karyanya bersama sebingkai pigura, melindungi karya besarnya dengan penuh cita dan cinta. Ada yang menyulam keping-keping itu menjadi satu, dikaitkan dengan juntai luar biasa ruwet yang ia pintal, jalin dan tuai dalam sekian lama. Ada yang memilih untuk menempelkan keping-keping itu, bersatu bersama selembar kertas, dihias dengan manik-manik, sebagai bumbu yang berkilau cerah. 
....
Dan waktu terus berjalan. 
Kita terus bertemu, berjalan bersisian, atau bertolak pinggang. Ada dari kita yang terus membiarkan karya berkembang, ada yang membiarkannya duduk tenang. Kita semua, bersatu dalam sebuah biosfera rumit yang pengaruhnya saling menjalar, menebar serbuk persemaian. 
Dan ada aku, salah satunya.
Aku yang karyanya bercorak abstraksi ketidakjelasan.
Aku yang senantiasa berkecamuk dalam distraksi dan ketaktentuan.

Tak apa, teruslah berjuang, teruslah berkarya, begitu kata-kata seorang tua bijak yang dalam suatu waktu begitu rajin bersemayam di benakku. Iya, tua, dan bijak.
Mungkin seorang bijak identik dengan orang tua, karena diantara sekian banyak jiwa-jiwa yang mengais keping membangun karya, ialah yang memiliki keping terbanyak? Sehingga mampu menyusun kombinasi karya yang lebih banyak? Aku pun tak yakin.

Yang kutahu kini adalah, aku telah mengumpulkan sedemikian banyak keping. Termasuk banyak dari mereka yang dilemparkan orang-orang untuk menimpuk dan membungkam. Tak bermaksud menjadi bocah sok bijak, karena aku sendiri pernah tenggelam dalam lautan bongkah karang yang kukira kolam kebijakan. 
Yang ingin aku katakan, hanyalah bahwa ketika sedemikian banyak keping telah kupunya, dan warna-warninya kususun entah berbagai rupa, makin kerap kudapati kumpulannya indah dipandang.
Menjadi kumpulan pola, akan hidup yang telah dijalankan.

Terima kasih, telah mengenalkanku pada warna dunia.
Juga pada mahligai kenyataan yang kupetik dalam lara.
Yang kuharap, juntai benang itu terus merajut asa,
Untuk mempertemukan kembali pada saatnya.

There's so much left to say
And before this moment slips away
What a wonderful life
For as long as you've been at my side
And I want you to know
....

3 komentar:

  1. "Orang pintar belajar dari pengalaman, orang jenius belajar dari pengalaman orang lain. Orang bodoh mengulangi pengalaman salah orang lain."
    Sementara orang bijak-lah yang merangkai kata tersebut, berpesan kepada orang banyak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tetapi, bukankah seseorang tidak semata-mata dapat dipanggil "bijak" hanya karena membagikan sebuah untaian kata? Atau memberikan pesan kepada banyak orang?

      Hapus
    2. Orang pintar, jenius, dan bodoh juga tidak semata-mata karena seperti yang tertulis di kutipan diatas, kok....

      Hapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...