Sabtu, 27 Juli 2013

Article#183 - Tamparan dari Jiwa Yang Lampau

Pemberitahuan sebelum membaca: Plot cerpen ini tak diadaptasi dari kisah nyata. Tetapi beberapa kejadian di cerpen ini diadaptasi dari kisah nyata.

Butuh waktu cukup lama bagiku untuk memahami perasaan senang ketika kembali lagi ke bumi pertiwi setelah sekian lama menjelajah berbagai sudut dunia. Dan juga, butuh waktu lebih lama lagi bagiku untuk memahami makna perjuangan, ketika diri seolah berdiri tanpa siapapun di sisi, yang akhirnya membuat segala pencapaian terasa begitu berarti. Yang membuatku bingung, terkadang waktu semacam itu tak bisa didapatkan dengan mencarinya. Ia bisa datang dengan tiba-tiba, ketika kau tak menduga bahwa ia akan datang.

***

Sebagai seorang mahasiswa perantauan di negeri matahari terbit, pulang ke negeri sendiri bukanlah sebuah rutinitas yang bisa dilakukan kapan saja. Kesempatan-kesempatan yang jarang ada semacam inilah yang ditunggu-tunggu, terutama bagi melepaskan diri dari rutinitas yang sedikit membuat pusing di dunia kuliah.
Atau paling tidak, itulah yang sebelumnya kuharapkan.
Namun, setelah beberapa lama menjejak kembali tanah bumi pertiwi, baru kusadari, harusnya sudah kuperkirakan bahwa harapanku itu harapan kosong belaka. Tiap hari, ada saja yang 'memaksaku' untuk berhenti dan balas menyapa seseorang di pinggir jalan yang biasanya dibarengi sebaris pertanyaan mengenai aku dan kuliahku. Mungkin wajar ya, mengingat perumahan tempatku tinggal memiliki ikatan antarwarga yang akrab. Meskipun kadang-kadang pertanyaannya terlalu berputar-putar sampai aku merasakan kedongkolan dalam hati, tentu saja aku berusaha bersikap setenang dan senormal mungkin. Kunyatakan bahwa studiku berjalan seperti yang kuharapkan, dan bahwa semuanya berjalan lancar. Semuanya baik-baik saja, sering aku menjawab hanya demi menyelesaikan obrolan.
Tetapi, sebenarnya tidak bisa disebut 'baik-baik' juga.
Dimulai sebulan setelah kelas pertama, ada sebuah kelas khusus, dimana lab-lab yang dikatakan ‘akan menjadi pintu pelabuhan akhir’ kami di program studi yang kujalani ini, diperkenalkan satu demi satu. Dan selalu saja, aku merasa jiwaku terbang entah kemana ketika kami berkeliling menuju lab dengan segala macam perabotannya. Aku hanya menatap alat-alat itu dengan tatapan kosong, bahkan ketika teman-teman sejurusanku begitu bersemangat mendengarkan penjelasan dari sang profesor yang bertugas di lab terkait. Aku mulai merasakan atmosfer dunia ilmuwan, yang makin kental dengan berbagai jurnal ilmiah dan kawan-kawannya yang disodorkan satu demi satu guru kepada kami. Dan benih-benih ketidaksukaan diriku akan dunia ilmuwan justru mulai tersemai.
Dan hanya dalam beberapa saat di kelas ketiga, pemberontakan kecil yang sudh bersemai sejak kelas pertama, mulai berkecambah dalam diriku. Apakah ini jalan yang benar? Kalau iya, mengapa tidak ada semangat yang muncul? Kalau iya, apa berarti aku akan berurusan dengan semua wadah-wadah aneh itu, mengerjakan berbagai hal aneh seperti yang dikerjakan profesorku itu, sepanjang sisa hidupku? Begitu? Apakah dulu aku salah pilih? Mungkin jelas aku salah pilih. Aku sejak SMA mendeklarasikan tak ingin menjadi professor, ilmuwan, dan dengan bodohnya aku memilih jalan lurus ke sana. Kutertawakan diri ini, dan pilihan yang telah kuyakini. Mungkin aku memang bodoh, lebih bodoh dari Romeo yang memutuskan untuk bunuh diri hanya karena mengira Juliet tak lagi bernyawa. Atau bahkan lebih bodoh dari Narcissus yang terjatuh tenggelam, terpana akan bayangan wajahnya sendiri di air kolam.
Pikiran yang berkecamuk ini tetap terbawa dalam kepala hingga kami sekeluarga berangkat mengunjungi rumah nenekku, ibu dari ayahku, yang bertempat di utara Bandung. Seolah guratan takdir memahami kalutnya kecamuk pikiranku dan memutuskan untuk memberinya rehat sejenak. Karena rumah nenekku ini, sejak aku kecil, selalu menjadi tempat dimana aku merasa nyaman dan tenteram. Tempat ini juga adalah tempat dimana aku menghabiskan sebagian besar masa kecilku, bersama perpustakaan a la Nenek yang begitu teratur. Itu adalah tempat favoritku, bahkan sebelum kejamnya sistem pendidikan yang banyak membunuh sel otak kananku itu mengajariku membaca dan menulis. Aku ingat sering menghabiskan waktu membaca buku ensiklopedia disana, ditemani es kelapa muda dari pak Maman yang ramah di seberang jalan. Dan ketika sampai di rumah Nenek, aku memutuskan bahwa bernostalgia mengenang masa kecil yang indah itu cukup tepat untuk menjernihkan pikiran.
Rupanya pak Maman dengan kedainya masih tetap ada. Tawa cerah pak Maman yang khas membawaku bernostalgia lagi, meskipun aku tak yakin pak Maman masih mengenaliku. Dan, entah kenapa aku merasa tak enak untuk memperkenalkan diri dengan segera kepada pak Maman. Serasa ada yang mengganjal, entahlah. Apalagi kedainya sedang ramai, dan tak sempat ia memperhatikan aku keluar dari gerbang rumah Nenek dan berjalan menuju kedai.
"Es kelapa mudanya pak, yang besar saja."
"Oh iya, sebentar ya, masih banyak pesanan."
Kemudian aku duduk di salah satu kursi. Sepertinya memang pak Maman sudah lupa akan diriku. Tetapi ya sudahlah.
"Tidak kuliah dik?" tanya pak Maman.
"Lagi libur pak," aku menjawab, meskipun dalam hati bingung, mengapa tiba-tiba menanyakan kuliah.
"Libur? Libur apa bulan September begini, baru saja selesai libur lebaran? Tanggal merah juga bukan,". Pak Maman masih berakal tajam seperti dulu. Jelas saja dagangannya tetap laku.
"Saya kuliah di luar negeri pak. Sekarang sedang libur." Beliau tak nampak kaget, mungkin ia sering mendengar kalimat serupa dari warga sekitar. Apalagi jika mengingat lokasi kedainya yang relatif dekat dengan salah satu kampus terpopuler di Bandung.
Pak Maman hanya sedikit tersenyum sebelum melanjutkan, "Wah kuliah ke luar negeri ya. Saya jadi ingat seorang anak kecil dulu, waktu belum banyak rumah dibangun di daerah sini."
"Anak ini, saya tak tahu diberi apa makannya, tapi dia sangat cerdas. Kami saja, saya dengan istri saya, hanya bisa termangu ketika ia membantah dongeng saya dengan jawaban yang cerdas. Saya pernah bilang ke dia kalau isi air kelapa itu keringat para nelayan, tetapi tanpa ragu dia bilang gini: "Bapak motong kelapa saja susah gitu, mana mungkin keringat bisa masuk!". Bayangkan, dia baru 5 tahun."
Perlahan, sebuah tampilan seorang anak kecil yang cerdas itu muncul begitu saja di kepalaku, seolah sebuah film baru diputar ulang di kepalaku. Memang, pak Maman sedang bercerita tentang masa kecilku. Aku bahkan ingat ketika aku menciprati kelapa pak Maman dengan air di tanganku untuk membuktikan ucapanku saat itu.
"Ketika dia menunggu pesanan, saya sering memberinya teka-teki, dan kau tahu, da benar-benar jenius. Meskipun tak selalu benar, ia selalu menjawab, tak seperti anak pada umumnya. Saya selalu mengatakan kepadanya, 'jika kamu sudah besar, kuliahlah di luar negeri dan buat negeri ini bangga akan dirimu!'. Dia tak pernah jawab, saya tak tahu apa dia paham atau tidak." pak Maman meneruskan ceritanya dengan nada yang makin samar seiring turunnya matahari ke ufuk barat.
"Tetapi, kau tahu dik, tanpa dia mungkin kamu tak bisa menikmati es kelapa muda itu saat ini." arah cerita yang berbelok dramatik telah membuatku berhenti menyeruput es kelapa dan kini mendengarkan dengan konsentrasi penuh.
"Sampai beberapa bulan setelah pertama kali saya kenal anak tersebut, saya masih mengalami ketergantungan pada rokok. Saya dulu bisa habis 3 bungkus rokok sehari, dan akibat kebiasaan saya itu, bisnis kelapa muda ini mulai saya acuhkan. Lama-lama istri saya mulai uring-uringan akan keadaan saya yang tak kunjung sadar itu, tetapi dasar saya waktu itu sedang kalap, saya bentak ia dan saya pergi ke dekat lapangan samping TK itu. Disana anak itu dan kawan-kawannya sedang bermain bola."
"Saya hanya merokok, duduk menyaksikan mereka yang sedang asik bermain bola. setelah selesai, mereka berlarian ke rumah masing-masing, tetapi anak ini, ia mendatangi saya. Lalu dia bilang begini:
'Paman, aku coba satu dong, rokoknya!'.
“Tentu saja saya panik atuh, dan akhirnya saya menjawab 'Jangan, rokok itu berbahaya. Ada nikotin, tar, dan zat berbahaya lainnya. Kamu sendiri tahu itu. Kenapa justru kamu mau merokok?'."
"'Kalau aku tak boleh merokok, kenapa Paman merokok?'", Pak Maman diam sebentar sebelum melanjutkan. "Saat itu saya hanya bisa marah dan kesal, mau apa anak ini lancang menyuruh-nyuruh saya. Tetapi anak ini tetap bertanya, 'Kenapa Paman tak jualan es kelapa lagi? Kasihan temanku, mau beli es kelapa, tapi Paman tak jualan.'
"Bagi saya, kalimat itu biasa saja diucapkan oleh orang dewasa, akan tetapi, mendengar diri saya dinasihati anak semuda itu, saya jadi merasa malu pada diri sendiri. Mengapa saya menyia-nyiakan waktu saya dengan hal yang tak berguna."
Perlahan aku mulai merasa dibenamkan ke dasar bumi oleh cerita tersebut. Dan tiap kata-kata selanjutnya yang dihaturkan oleh pak Maman, membuatku makin tertohok tasa malu, mengenai bagaimana anak itu juga secara tak langsung mengajak satpam setempat dan pedagang lain untuk memperbaiki hidup mereka.
"Saya pernah beberapa kali bertemu anak cerdas, tetapi anak itu, dia sempurna. Cerdas, inspirator kami, dan juga selalu penuh semangat. Sayang saya lupa namanya... "
Heh, aku menggumam dalam hati. Padahal seharusnya aku yang malu dengan diri sendiri. Diri yang telah tumbuh dari seorang anak kecil yang 'sempurna' telah menjadi mahasiswa baru yang mental dan moralnya bobrok. Yang bahkan tak bisa menyelesaikan masalahnya sendiri. Dan lebih parah lagi, menyesali keputusan sendiri.
Dan bagai rekaman yang berputar, terulang kembali berbagai momen di kepalaku. Bagaimana tetanggaku selalu bersemangat menanyaiku perihal kuliah. Bagaimana nenekku pagi tadi tersenyum melihatku makan dengan lahap. Keluargaku, guru-guruku, teman-temanku, bagaimana ekspresi mereka ketika terakhir kali aku berjumpa mereka. Bagaimana janji dan semangat terukir bersama. Bagaimana dulu aku begitu bersemangat bercerita mengenai untaian impian dan lagak kebijakan.
Tak habis pikir rasanya, kemana jiwa yang mulia itu kini? Jiwa layaknya selembar kertas yang putih bersih, tanpa sobek, tanpa cacat, tanpa noda. Bukan jiwa yang rusak seperti sekarang.
Aku ingin bisa bermanfaat bagi orang di sekitar.
Aku ingin memberi senyum bangga kepada orangtua, dari sebuah pencapaian akan karya nyata.
Aku ingin memberi kontribusi pada dunia, yang mengukir sejarah dan tak lekang ditelan masa.
Bisakah dengan kondisiku sekarang? Bisakah, jika nanti aku berubah?
Kata orang, waktu akan menjawab segalanya. Tetapi buat apa aku hanya menunggu arus waktu?

(cerpen ini termasuk salah satu cerpen yang dipublikasikan dalam buku Semut Merah 75, yang diterbitkan pertama kali pada 8 Mei 2013. Buku ini disusun oleh grup Semut Merah 75 dari PPI Dunia, diterbitkan oleh Penerbit Galang Pustaka. Naskah di post ini adalah naskah asli—naskah di buku terkait bisa mengalami beberapa perubahan di bagian pengeditan Sila baca ini untuk sedikit tambahan info)

4 komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...