sumber |
Kisah ini sebenarnya kisah lama, di masa orang-orang belum mengenal uang kertas ataupun uang kartu sebagaimana yang kita kenal saat ini. Kisah sederhana dari dua objek sederhana, yang berbentuk sama tetapi secara isi sangat berbeda.
Sekeping logam pipih itu masih panas ketika diletakkan di atas meja, bersama teman-temannya yang sudah lebih dahulu mendingin menjadi koin tembaga yang mengkilap. Tergeletak disana, koin-koin tersebut akan segera dikemas untuk dikirimkan ke bank, dan kemudian disebarkan ke masyarakat sebagai alat bayar yang sah. Mungkin koin-koin itu sedang bersemangat, menatap masa depan mereka yang akan sangat aktif sebagai alat pembayaran, entahlah. Aku tak begitu kenal dengan kehidupan koin.
Tak lama, sang pandai besi kembali tiba, dan membawa sebuah karung besar seperti yang sebelumnya dipakai sang pandai besi untuk mengangkut koin-koin tembaga itu ke atas meja. Tetapi, ketika sang pandai besi mengeluarkan isi karung, keluarlah koin yang sedikit berbeda. Kali ini mereke berwarna keemasan, beberapa lebih besar, lebih tebal, lebih mengkilap. Warna mereka yang benderang seolah meredupkan kemilau koin-koin tembaga yang sudah lebih dulu menghuni meja kayu itu.
Sebelumnya aku sudah bilang, bahwa aku tak begitu tahu menahu akan warna rupa dunia koin, tetapi mungkin kalian rela membayangkan sejenak, diri kalian sebagai salah satu koin tembaga ini. Ia jadi terlihat gelap kusam dan kecil ketika disandingkan dengan koin emas, yang kilaunya sudah sering membutakan banyak orang dari zaman ke zaman. Rasa rendah diri yang muncul, dan makin tumbuh seiring dengan makin lamanya kau memperhatikan si koin emas. Aneh sekali, koin emas itu bisa terlihat makin benderang dari waktu ke waktu, sementara kau merasa dirimu, si koin tembaga, makin gelap dan tenggelam di balik kemilau para koin emas. Menyebalkan, mungkin ya. Bukankah tadi aku sudah jelas-jelas sebutkan, jika koin tembaga yang tergeletak itu tetap memiliki kemilaunya sendiri? Kenapa koin emas yang baru datang bisa meredupkannya sedemikian rupa?
Jangan tanya aku, aku tak tahu jawabnya. Sekali lagi, aku tak tahu menahu rupa warna dari kehidupan para koin.
Singkat tenggat terlewat, koin-koin itu telah sampai ke tangan beberapa penduduk kota. Koin tembaga yang tadi diperbincangkan, kawan, dia sekarang ada di saku seorang hartawan. Hartawan yang terkenal dengan kekayaannya yang berdiri megah di berbegai penjuru kota, bahkan hingga ke seluruh negeri. Tetapi, apalah gunanya koin tembaga bagi ia, ketika ia bisa mendapatkan koin emas sebanyak yang ia mau?
Rupanya koin tembaga tersebut, beseta koin-koin tembaga lainnya ia pakai untuk diberikan ke para pengemis, yang dalam beberapa tahun terakhir mulai ramai berdatangan mengunjungi rumahnya. Entah akan ia apakan koin emasnya, yang jelas ia menyimpan koin-koin emas tersebut di dalam tasnya, tersimpan rapi, jauh dari jangkauan siapapun kecuali dirinya sendiri.
Dan lagi-lagi, si koin tembaga dinomorduakan terhadap koin emas, yang diletakkan dengan nyaman dan aman di dekat bangku sang hartawan. Mereka ditaruh dalam kantung, dan tentu saja mereka harus berjejal-jejal, ditambah aroma entah apa yang menguar di sekitar mereka. Sumpek, pokoknya. Beda sekali perlakuannya dibanding terhadap koin-koin emas.
Mungkin beberapa dari kita, dalam posisi si koin tembaga yang serba tidak menyenangkan, mungkin akan berpikir, kenapa sebelumnya tak memoles diri supaya lebih bersinar, mampu mengimbangi koin-koin emas itu. Seolah begitu yakin, dengan melakukan itu dahulu maka semua akan menjadi lebih mudah.
Bapak hartawan ini, menggeser dirinya supaya lebih nyaman, dan tanpa ia sadari, salah satu koin di kantungnya terlempar keluar, jatuh di pinggir jalan berdebu. Tentu saja sang koin tak mampu berbuat apa-apa. Entah untuk meneriaki sang hartawan dan menyuruhnya mengambil dirinya kembali, atau bahkan hanya untuk sekadar berlari mengejar kendaraan sang hartawan yang terus melaju menjauh.
Yang bisa ia lakukan, jika ada, hanya pasrah dan berharap. Mungkin menyebalkan ya, berada di posisi seperti ini.
Tak berapa lama, hujan turun. Awalnya mungkin terasa sedikit menyenangkan, jika kau sudah gerah akan segala jenis debu, dan hujan datang membasuh dirimu. Tetapi seiring terus turunnya hujan, air terus membanjiri jalan ini, merendam koin yang masih tergeletak dalam diam. Untungnya koin tak punya indra perasa ataupun pernafasan, jika punya mungkin ia sudah tenggelam kedinginan. Atau mungkin dia sebenarnya punya—hanya saja sudut pandang kita terlalu sempit untuk menyadarinya?
Di tengah hujan itu, seorang tua terseok-seok mencari tempat berteduh. Pikirannya masih tertuju kepada rombongan perampok yang mencampakkan tubuh rentanya di jalan, dan merampas kereta kudanya, beserta segenap barang di dalamnya. Pak Tua terus berjalan pelan, membayangkan skenario dirinya meringkus kawanan perampok tak berperasaan itu, entah kapan. Pak Tua itu tak peduli basah kuyup tubuhnya. Yang ia cari adalah tempat berteduh, sayangnya ia belum menemukan satupun setelah satu jam hujan berlalu.
Pak Tua sampai di dekat jalan yang dilalui si hartawan pelit beberapa waktu sebelumnya, dan Pak Tua menyadari ada suatu kilau samar di jalan di hadapannya. Rupanya hujan belum cukup mengguyur si koin tembaga dan menguburnya di balik lumpur. Penuh rasa syukur, Pak Tua mengambil koin tersebut, memasukkannya ke kantung, dan kembali berjalan, dengan laju lebih cepat.
Tak lama, Pak Tua sudah sampai di sebuah pondok dekat pohon besar, yang menaungi pondok dari hujan deras yang mengguyur kota di siang itu. Ia tak lagi khawatir akan nasibnya, karena koin tembaga di kantongnya cukup untuk sepotong besar roti, yang baginya cukup untuk makan satu hari. Lagipula rumahnya sudah dekat, dan hujan mulai reda.
Ia memutuskan untuk kembali berjalan, menyusuri jalan pulang.
Cuaca cerah perlahan mengeringkan pakaiannya, dan tinggal sepuluh menit jalan menuju rumahnya ketika ia bertemu dengan si pedagang roti. Penuh sukacita, ia membeli sepotong besar roti, dan diserahkannya koin tembaga itu kepada si pedagang.
Sementara Pak Tua pulang membawa rotinya, kini si koin berada di tempat baru, bersama koin-koin lain yang disiapkan oleh Pak Pedagang untuk keperluan usahanya. Pak Tua tadi adalah pembeli pertamanya dalam hari itu, dan adanya pembeli kurang dari sejam setelah ia keluar (sebelumnya ia tak keluar menjajakan dagangan karena hujan) membuatnya begitu bersemangat. Apalagi beberapa hari terakhir, sudah beberapa kali ia pulang dengan dagangan yang nyaris utuh. Sejak dua pekan sebelumnya, sebuah toko roti terkenal membuka cabangnya di kota tersebut, dan Pak Pedagang perlahan kehilangan pelanggan setianya, yang lebih memilih toko roti tersebut. Sebenarnya roti dagangan Pak Pedagang tak kalah enak, bahkan roti-roti tersebut hanya dijual setengah harga toko. Sayangnya penduduk kota saat itu lebih percaya dengan pamor toko roti, termasuk mereka yang biasa jadi pelanggan setia Pak Pedagang.
Tetapi hari ini beda cerita. Berhubung ia sudah mendapat satu pembeli, Pak Pedagang menjadi lebih bersemangat menjajakan barang dagangannya. Teriakannya yang lebih lantang, dibantu dengan udara yang lebih bersih setelah turun hujan tadi, membuat pembeli perlahan mendatanginya. Sepuluh orang, dua puluh orang, tiga puluh orang.... Dan tak terasa, dagangannya habis terjual! Pak Pedagang kaget bukan kepalang. Sempat terbersit di pikirannya, jika ada orang yang diam-diam mengambil rotinya tanpa ia ketahui, namun ia tersadar, ia mengawasi gerobaknya sepanjang waktu. Dengan senyum mengembang, nyaris berlari, ia mendorong gerobaknya pulang, membawa berita gembira untuk istrinya di rumah. Ia harus membawa roti lebih banyak lagi esok hari.
Beberapa hari seterusnya, ia terus mendapati dagangannya laku keras, beberapa kali habis terjual. Taraf hidup keluarganya, yang sebelumnya mendekati kebangkrutan, kini kembali terangkat, dan ia dengan senangnya menjanjikan makan di restoran kepada istri dan anak semata wayangnya-sesuatu yang belum pernah mereka lakukan dalam sebulan terakhir.
Satu hari, dengan roti lebih banyak, ia kembali berkeliling kota, menjajakan dagangan dengan lantangnya. Sama seperti hari-hari sebelumnya, penbeli satu-persatu mendatangi Pak Pedagang dan membeli roti. Pak Pedagang tetap bersemangat, namun kali ini ia sedikit heran. Ada apa gerangan dengan toko roti yang terkenal itu, sampai-sampai begitu banyak pembeli tiba-tiba membeli rotinya?
Ia sampai di depan rumah seorang saudagar, yang juga memesan rotinya. Dulu, 3 tahun lalu, Pak Pedagang bekerja kepada saudagar ini, yang saat itu baru memiliki sebuah kios kecil. Sebagai mantan karyawan, Pak Pedagang kaget ketika menyadari rumah besar yang ia temui di perjalanannya adalah milik mantan majikannya. Sekadar info, Pak Pedagang dulu mengundurkan diri karena ingin mengejar impiannya sebagai pemilik toko roti.
Rupanya Pak Saudagar juga masih mengenali Pak Pedagang sebagai salah satu mantan karyawannya. Mereka mengobrol hangat, dan bagai mendapat durian runtuh, Pak Saudagar memborong seluruh sisa roti dagangan Pak Pedagang. Belakangan Pak Pedagang tahu, bahwa sejak hujan besar dua pekan sebelumnya, toko roti itu mengalami kebocoran, dan tungku besar pengolah roti di toko itu rusak akibat terguyur hujan sekian lama. Beberapa karyawannya dilaporkan hilang dan tak diketahui rimbanya hingga saat ini.
Pak Pedagang kembali pulang dengan wajah berseri, sementara Pak Saudagar membawa setumpuk roti yang baru saja ia beli ke dalam rumah.
Sepertinya kita melupakan cerita si koin tembaga. Nah, rupanya koin tembaga tersebut berpindah tangan ke Pak Saudagar sebagai kembalian dari hasil belanjaannya. Kini si koin bersarang di lemari dekat meja kerja Pak Saudagar.
Sebelumnya, aku sempat bilang kalau Pak Saudagar dulu memiliki kios kecil. Dalam 3 tahun, kios ini berkembang menjadi sebuah toko serba ada, yang sudah menjadi tujuan utama warga kota setempat ketika mereka berbelanja. Perlahan, Pak Saudagar mulai membuka usaha lainnya, seperti restoran dan biro perjalanan, yang dibangunnya dalam satu induk perusahaan dengan Pak Saudagar sendiri sebagai pemimpin perusahaan.
Seperti beberapa cerita klasik pengusaha yang sedang melejit, pengusaha besar yang lebih dahulu berkuasa gerah dan mulai bertindak untuk menyingkirkan sang pesaing. Setidaknya begitu menurut Pak Saudagar, yang belakangan menemui beberapa kasus kecil seperti anak kecil yang tak sengaja memakan makanan kadaluarsa dari kiosnya, kebocoran di kiosnya, dan juga beberapa barang dagangan yang menghilang. Pak Saudagar merasa bahwa sang 'pengusaha besar' mulai bergerak untuk mematikan bisnisnya, dan ia mulai meningkatkan kewaspadaan dalam segala tindakan.
Rusaknya tungku pembuatan roti di toko roti, yang ia ketahui sebagai milik si 'pengusaha besar' ini, dinilainya mencurigakan, mengingat toko roti itu punya reputasi besar. Mana mungkin atapnya dibiarkan bocor, demikian pikir Pak Saudagar.
Hari menjelang malam, Pak Saudagar sedang menyusun rencana barunya mengembangkan usaha ke kota tetangga. Tanpa ia sadari, matahari mulai mendekati ufuk, dan ia bersiap pergi ke warung dekat rumahnya untuk membeli makan malam. Ia ambil beberapa keping koin, ketika ia menyadari ada serangga hinggap di dekat gelas berisi teh di meja, yang baru saja dihidangkan oleh pelayan barunya. Ketika ia berusaha mengusir serangga itu, tanpa sengaja koin tembaga kita tadi terjatuh dan tercelup ke dalam teh.
Hal berikutnya yang terjadi membuat ia merinding. Perlahan gelembung bermunculan dari koin, seperti tablet effervescent yang tercelup ke air. Tak lama gas sewarna teh menguar dari gelas tehnya, dan saat itulah Pak Saudagar tersadar, ia baru saja lolos dari upaya peracunan. Berkat koin tembaga yang jatuh tercelup tadi.
Tak lama, ia kumpulkan barang bukti dan mendatangi sahabatnya, seorang hakim. Melalui serangkaian penyelidikan, ditemukan botol berisi cairan di rumah sang saudagar, dan dari sana diketahui.... bahwa botol itu milik sang pelayan. Pelayan itu diset ke pengadilan, dan ketika hakim menatap muka sang pelayan, tersadarlah ia, bahwa si pelayan adalah salah satu orang yang merampoknya tempo hari di tengah hujan. Ya, hakim tersebut adalah Pak Tua.
Penyelidikan lebih lanjut menyeret komplotan si pelayan, yang rupanya digerakkan oleh sang 'pengusaha besar' ini untuk menyingkirkan Pak Saudagar melalui berbagai cara. Botol berisi cairan itu rupanya dicampur dari cairan pembersih logam yang baru saja dibeli Pak Tua, atau si hakim, untuk membersihkan senjata di rumahnya.
Akhirnya, 'pengusaha besar' ini diringkus aparat kepolisian, dan ditahan atas dakwaan percobaan pembunuhan. Seluruh reputasinya rontok begitu saja, seluruh aset bisnisnya disita pemerintah setempat, dan ia begitu hancur, hingga tak punya lagi semangat hidup. Meskipun begitu, ia masih bertahan dalam siksaan batinnya sendiri, hingga ia wafat 5 bulan kemudian.
Siapa yang akan menyangka, jika koin tembaga yang terjatuh ke pinggir jalan siang hari itu, akan mengubah hidup sang hartawan?
Dan kalian tahu? Salah satu koin emas di awal cerita ditemukan tergenggam di tangannya, begitu erat, sebagai harta terakhir yang ia punya.
***
"Kau tahu, Ronal, tadinya begitu banyak koin tembaga yang menyesali nasibnya. Yang kalah besar, kalah berkilau, kalah indah, dari para koin emas. Jika bisa, mungkin mereka sudah memoles diri mereka sedemikian rupa, sehingga mereka tak kalah berkilau dari para koin emas, meski kalah besar. Coba bayangkan, jika semua koin tembaga sibuk melakukan hal itu, membiarkan ampas kotoran tersebar di sekitar mereka sementara mereka sibuk memoles diri supaya tampak indah, berkilau. Padahal, ketika mereka akhirnya menjadi apa yang mereka pikir indah dan berkilau, mereka mungkin tak dikenali lagi, dan yang didapat hanyalah sedemikian banyak kotoran. Kalau begitu, untuk apa memaksakan sesuatu yang kita pikir baik? Toh belum tentu itu betul-betul baik. Mereka saja sadar mereka tak bisa melakukannya, karenanya mereka pasrah atas nasibnya. Dan terbukti, cerita mereka justru lebih indah daripada cerita para koin emas yang terlihat sempurna.
Jangan lupa kata-kata di kitab suci, Ronal. 'Boleh jadi kau membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kau menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu.'"
Kakek selesai bercerita, dan ia menyuruhku segera tidur. Aku tertidur, tanpa benar-benar memahami, atau bahkan mengingat, cerita tadi. Sama seperti hari-hari sebelumnya.
Boleh jadi kau merasa sesuatu tak berpengaruh bagimu, padahal setelahnya tanpa sadar kau menunjukkan pengaruh dari sesuatu itu setiap waktu.
~dituturkan ulang dari sebuah cerita lama yang pernah penulis baca. Meskipun latar dan alur cerita mungkin berubah drastis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar