Rabu, 20 Maret 2013

Article#144 - Cerita Sang Angin Samudra (Bagian 2): Tempus Fugit

"Ada apa di luar sana?"
Di edisi sebelumnya, saya telah sedikit bertutur mengenai makna perantauan, perjalanan atau sejenisnya. Meskipun makna yang tertera disana, selain tidak banyak mewakili pandangan saya, mungkin tidak sepenuhnya mewakili makna dari sebuah perjalanan, yang sebenernya banyak sekali dan ada di berbagai sisi kehidupan.
Ah sudahlah, buat apa basa-basi berlama-lama.

Sebagai orang yang dalam beberapa waktu sangat kurang dosis perjalanan dalam kehidupannya, dalam liburan kali ini saya melakukan perjalanan dengan kuantitas (dan sepertinya juga kualitas) yang jauh lebih besar daripada sebelum-sebelumnya dalam jangka waktu yang sama. Tidak akan saya ceritakan di tulisan ini—tulisan ini bukan ditujukan sebagai laporan cerita saya dan berbagai perjalanan yang saya tempuh. Namanya perjalanan, selain sedikit menguras dompet (konsekuensi dari menggunakan angkutan umum, jelas), juga terkadang menguras waktu, terutama ketika perjalanan yang ditempuh cukup jauh, berputar-putar, atau lambat, terutama akibat kemacetan yang tak jarang menghiasi berbagai ruas jalan di kota-kota besar Indonesia. Duduk dan diam nyaris tanpa aktivitas apapun dalam beberapa jam mungkin tak ada salahnya bilang mirip dengan menunggu, dan banyak orang yang akan sepakat jika menunggu adalah salah satu kegiatan yang paling membosankan.

Tetapi tentu saja, menunggu akan menjadi kegiatan yang membosankan, ketika benar-benar tak ada yang dilakukan. (tentunya selain mengetuk-ngetukkan jari dan kegiatan tanda kebosanan lainnya).
Sebagai orang yang cepat merasa bosan, saya tentunya harus melakukan aktivitas dalam perjalanan supaya bisa menikmati perjalanan dengan sehat sentosa.

Tapi apa? Terkadang saya menyikapinya dengan membaca sebuah novel yang secara khusus saya siapkan untuk mengusir kejenuhan tatkala di tengah perjalanan. Yang menjadi masalah, kadang-kadang terlalu asyik membaca novel akan menjerumuskan saya dalam lubang tidur yang biasanya baru berakhir ketika kendaraan telah sampai tujuan. Dan juga, membaca novel bukanlah sesuatu yang menyenangkan untuk dilakukan ketika kau berada dalam sebuah angkutan umum yang penuh sesak, atau antrian yang panjang.
Akhirnya, saya memutuskan untuk mengamati apa yang ada di luar sana. Saya perhatikan mobil-mobil yang saling mendahului, yang muncul mendatangi. Saya perhatikan anak-anak yang bermain di pinggiran jalan raya, dengan berbagai tawa dan canda ceria. Saya perhatikan pula pedagang yang berjualan, yang saya amati tetap semangat walau peluh bercucuran.
Suatu saat, ketika sedang mengamati dunia luar dari kaca jendela bus Transjakarta, sebuah kutipan lama terlintas di benak saya. Sebuah kutipan yang entah darimana saya dengar dulu.
"Orang Indonesia, kalau sedang dalam perjalanan biasanya melihat-lihat pemandangan atau tidur. Sedangkan orang luar negeri akan mencoba memanfaatkan waktunya seefektif mungkin, misalnya membaca buku."
Seperti umumnya kutipan berbahasa Indonesia yang menyandingkan sifat orang Indonesia dengan sifat orang luar negeri, orang Indonesia digambarkan cenderung 'buruk', sementara orang luar negeri cenderung bersifat 'baik'. Walaupun banyak doktrin semacam itu, saya (dan saya harap sebagian kalian juga) yakin bahwa penggambaran itu tidak selalu tepat. Seperti saya tulis sedikit sebelumnya, membaca buku, dalam banyak kesempatan (khususnya dalam angkutan umum), bukanlah opsi yang cukup menyenangkan. Selain yang tadi saya sebutkan, ada juga kecenderungan orang untuk pusing plus mual ketika membaca dalam kendaraan. Dan sisi sebaliknya, tidur secukupnya pastinya baik.
Lalu bagaimana dengan melihat-lihat?
gambar dari sini
Bagi saya, tentu saja baik. Selain mengusir kebosanan, pemandangan di luar seringkali menjadi sarana yang bagus untuk belajar, terutama jika naik angkutan umum di tengah ibukota. Bukankah belajar tidak mengenal waktu, tempat dan keadaan?
Saya terkadang menikmati sedikit kontemplasi yang dihadirkan dari pengamatan akan berbagai orang yang melakukan aktivitasnya di tengah terik siang hari. Membayangkan masing-masing orang yang saya lewati satu demi satu, bagaimana mereka sedang melalui hidup mereka masing-masing.

Akhirnya saya membayangkan sebuah jalan hidup selayaknya sepintal benang. Sejak awal kelahiran, tiap-tiap individu berjalan meniti jalur hidupnya masing-masing, dengan segala macam gangguan, percikan dan dorongan yang menyertai. Dengan berbagai bentukan karakter yang berawal dari gaya yang dikerjakan kepada mereka, mereka hidup dengan membawa karakter-karakter masing-masing, selayaknya warna-warni berbeda pada sepintal benang.
Dari benang-benang yang tersebar sedemikian banyaknya ini, terdapat simpul dimana-mana. Disanalah berbagai orang dari berbagai latar budaya, berkenalan dengan orang baru yang sebelumnya tak pernah ia kenal. Dan masing-masing individu benang saling memberikan pengaruhnya—entah itu dengan membentuk simpul baru dengan keikutsertaan benang lain, atau benang yang simpulnya putus dan terburai kusut, dan lainnya. Dan kumpulan benang ini, kadang terajut menjadi potongan kain-kain tipis, atau menjadi satu stel jas mewah, tetapi kadang menjadi pita yang lepas dan terhanyut arus angin.

Banyak orang yang tak percaya adanya benang yang saling menghubungkan antara jalan hidup satu individu dengan individu yang lain. Mereka berusaha membantah keberadaannya dengan segala cara, yang dengan itu justru menguatkan keberadaan sang benang.  Banyak yang berusaha menyambung-nyambungkan benang titiannya dengan benang-benang mana yang ia inginkan, karena ia pikir itulah benang yang terbaik untuk titian hidupnya, tanpa ia sadari bahwa terlalu banyak simpul yang ia buat hanya menyatukan kumpulan benang dalam berat yang menjatuhkan. Banyak yang hanya bersandar kepada benang-benang ini tanpa melakukan apapun, tetapi mengumpat dan memaki sang benang, ketika benang itu jatuh ke dalam kegelapan suram. Masing-masing individu berjalan di benangnya, terkadang lupa bahwa benangnya punya umur dan akan melemah seiring waktu, tetapi hanya sedikit dari mereka yang sadar dan peduli untuk mempertahankan kekuatan dan keutuhan sang benang. Mungkin tak salah menyebut benang-benang ini 'benang takdir'.

Dimanapun kau berada dapat kau amati dengan baik, bagaimana orang-orang meniti benang mereka masing-masing, sambil berusaha meniti dan menyambungkan benangnya ke benang yang lebih bagus, kuat. Atau merasa puas dengan benang yang ia punya, dan dengan senang hati menjalani kehidupan yang aman meskipun terasa membosankan. Silakan kau mengamati di pagi hari, bagaimana para karyawan terus berlari mengejar bisa tercepat agar tidak datang terlambat ke kantornya, juga anak-anak sekolahan. Bagaimana mereka yang berjuang mencari nafkah, sudah beradu dengan ganasnya terik matahari dan asap karbon monoksida dari kendaraan yang berlalu lalang. Dan di dalam kendaraan yang berlalu lalang itu, mungkin sedang mengemudi seorang hartawan, yang sedang sibuk memikirkan cara mendapatkan sebidang tanah untuk lahan ekspansi usahanya. Semua, dalam cerita kehidupan dengan bumbunya masing-masing, bersama-sama beraktivitas dalam sebuah keseimbangan sistem yang tiada akhir... entahlah.

Pada akhirnya, benang-benang kehidupan yang dinamis dan senantiasa disusun ulang ini, kental diwarnai dengan perubahan yang pelumasnya adalah ketidakseimbangan, dan penggeraknya adalah roda waktu.
Seiring waktu berlalu, yang lama akan mati, yang baru akan tumbuh, yang muda akan berkembang.
Seiring waktu berlalu, yang diam akan tergusur, tergantikan oleh yang tak tinggal diam.
Meskipun perubahan pasti dan terus bergulir, arahnya bisa dibelokkan dan disimpangkan.
Banyak orang memilih untuk diam, hanya untuk menikmati bergulirnya perubahan.
Waktu terus berjalan. Sudahkah kau melakukan sesuatu?
(:g)
Silakan kunjungi juga bagian pertama dan ketiga.

2 komentar:

  1. hm.. well, contemplating the last sentence.. yah tapi jangan kelamaan merenungi juga, nanti ga jalan-jalan :P

    oke! selamat berkontribusi bung! semoga dalam lindungan Allah selalu :D

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...