Champion of Life
oleh MUHAMMAD AINUN NADJIB
MUNGKIN HANYA BEBERAPA orang yang sibuk mencemaskan bahwa bangsa Indonesia sedang nyenyak tidur, sehingga berpikir ‘Bangsa Indonesia harus bangkit’. Para pemimpin yang sedang asyik-asyiknya ‘bertugas membangun Indonesia’ mungkin berpikir sebaliknya: ‘Kita sudah dan sedang bangkit’, bahkan sedang menikmati ninabobo dunia internasional yang menganugerahinya ‘Award of Kebangkitan’.
Adapun rakyat: bangkit dari tidurnya pagi-pagi buta, pukul 02.00 dinihari sebelum ke pasar atau sawah. Rakyat yang berposisi juragan dan mengupah, sudah bangun ketika yang diupah, misalnya Presiden, masih tidur. Sampai ada yang bikin filosofi : rakyat yang baik adalah yang rajin shalat Subuh. Untuk kasus Indonesia di tengah dunia, jangan sampai Presiden rajin shalat Subuh. Jangan biarkan Presiden ‘berwarna terlalu hijau’. Itu mengganggu komposisi warna global permukaan Bumi, sebagai Soeharto di ujung kekuasaannya.
Tapi pasti: Rakyat Indonesia tiap hari bangkit, karena tiap hari jatuh. Kejatuhan adalah parameter utama rakyat dalam mengukur setiap pemerintahan yang menimpanya. Seberapa kadar kejatuhan rakyat pada penguasa yang ini, yang itu, di zaman Kerajaan maupun Republik. Rakyat Indonesia adalah pakar kejatuhan, dan itu mendidik mereka untuk menjadi tangguh sebagai Pendekar Kebangkitan.
Apakah karena itu bangsa Indonesia layak disebut sebagai Bangsa Garuda? Dan jangan diremehkan sebagai bangsa ‘Emprit’? Silahkan. Yang jelas burung Emprit sampai hari ini masih terus bercicit-cicit di hutan, kebun, sawah, sementara Garuda sudah tidak ada, atau tidak pernah dijelaskan kapan pernah ada. Jangan-jangan yang kecil sesungguhnya lebih sigap dan terampil untuk bangkit dibanding yang besar.
Memang sih Garuda memperoleh kelahiran kedua pada usia sekitar 40 tahun dengan terlebih dulu mengalami penghancuran atas paruh dan kuku-kukunya, yang kemudian, bagi yang lulus: tumbuh paruh sejati dan kuku sejati. Sebagaimana Garuda yang terbang ke gunung-gunung batu untuk mematuki dan mencengkeram batu-batu itu sampai paruh dan kukunya tanggal — bangsa Indonesia hari ini juga sedang riang-riangnya menghancurkan paruh dan kukunya sendiri.
Itu kalau Garuda. Emprit lain soal. Atau bangsa Indonesia bukanlah Garuda maupun Emprit. Mereka adalah manusia yang berlaga di bumi langit kemungkinan, bukan makhluk yang menyempitkan diri ke dalam kepastian hakekat Garuda atau Emprit. Bangsa Indonesia berdaulat untuk menjadi satu dari keduanya, atau menjadi gabungan antara keduanya sekaligus. Toh Garuda tidak pernah benar-benar diwacanakan oleh perjalanan Negara Republik Indonesia. Ia hanya diperlukan gambarnya untuk meletakkan lambang-lambang Panca Sila di dadanya, dengan 17 helai sayap dan 8 helai ekor, melambangkan hari kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Untung Indonesia tidak merdeka pada tanggal 1 Januari. Bayangkanlah karakter Garuda bersayap sehelai dan berekor sehelai.
Kemudian ketika kabarnya ada ‘desain global’ yang menggerakkan keyakinan penduduk dunia bahwa “peradaban berasal dari Barat menyebar ke Timur”, saya menengok ke arah Barat yang berada di Timur. Ketemu penjaga pintu ilmu (babul ‘ilmi) Sayyid Ali bin Abi Thalib dan ia menyampaikan titipan: “Wahai bangsa Indonesia, katakan kepada Tuhan bahwa kalian punya masalah. Dan wahai kamu, nyatakan kepada masalah bahwa kamu punya Tuhan”.
Tuhan sendiri menuturkan: “Wahai kalian yang (tidur membeku di) dalam selimut, bangunlah dan sampaikan peringatan…” — kepada diri kalian sendiri. Pastilah Tuhan Maha Tahu bahwa yang dikejar-kejar oleh bangsa Indonesia justru adalah selimut. Terutama para pemimpin dan Kelas Menengah yang tak percaya diri, atau tak punya diri, sehingga berebut selimut untuk di-display sebagai dirinya.
Tuhan sudah menggertak bangsa yang makin memuncak penyakit buta tulinya ini untuk bangkit: dengan bencana alam, kehancuran harga diri dan martabat kebudayaan, atau dengan istidraj kepada kepemimpinan para pemimpin yang Fir’aun pun tak sebejat dan semunafik itu, membiarkan tipu daya politik, mempersilahkan perampokan-perampokan harta terdahsyat sepanjang kurun ummat manusia hidup di muka bumi.
Tetapi tatkala memuncak kelalaian yang dihiasi oleh gaya modernism dan profesionalisme; kebodohan yang ditopengi oleh mitos kepandaian, gelar-gelar inferior dan khayalan untuk bertaraf internasional; juga kesombongan hedonistik yang semata-mata merupakan ekspressi kerendah-dirian — Allah dan Muhammad kekasih-Nya berjalan melintasi katulistiwa. Menoleh kepada bangsa Indonesia sambil tersenyum. Allah berkata “Fantadhiris-sa’ah”. Tunggu waktunya. Dan Muhammad menyindir “Antum a’lami biumuri dunyakum”. Kalian lebih tahu urusan dunia kalian.
Padahal tak tahu. Dan tidak mau tahu. Para pemimpin banyak yang “tidak tahu dan tidak tahu bahwa mereka tidak tahu”. Lebih dari itu, “tidak tahu tapi merasa sangat tahu”. Bahkan mereka yang ambil bagian untuk kasih tahu ini itu kepada bangsanya, yang seharusnya “tahu banyak tentang banyak hal”, semakin merosot untuk “tahu sangat sedikit tentang sedikit hal”.
Selimut sangat dibutuhkan oleh mereka yang bertugas mempertimbangkan, melaksanakan, serta mengawasi, sebab merekalah segmen yang termiskin dan kelaparan. Pengetahuan mereka terbatas pada upaya mendayagunakan alam bumi tanah air, Negara dan pemerintahan, untuk menumpuk makanan bagi jiwa mereka yang miskin, mental mereka yang inferior, krisis ketidak-berakaran sosial, serta kondisi ketidak-berbudayaan dan ketidak-berwajahan mereka.
Kini para penjajah global sudah menyiapkan selimut-selimut untuk agen-agen mereka, yakni para pemimpin Indonesia 2014. Dan rakyat Indonesia sudah menyiapkan ketidak-mengertian untuk mengabsahkan desain tahap berikut penjajahan atas diri mereka sendiri.
Sementara rakyat Indonesia sendiri tidak memerlukan selimut apapun, karena mereka sangat tangguh bertelanjang bulat di atas bumi di bawah langit. Rakyat Indonesia adalah kumpulan manusia-manusia istimewa di hamparan Nusantara yang pekerjaan utamanya adalah bersedekah selimut kepada para pemimpin dan pemerintahnya.
Tidak perduli apakah bangsa Indonesia berasal usul dari Negeri Atlantis, Sunda Land, atau turunan Nabi Nuh ketika darah istrinya dirasuki Iblis. Tidak urusan apakah sejarah manusia Nusantara lebih tua dibanding Yunani kuno, Mesir kuno, Inka Maya, Mesopotamia, sehingga juga jauh lebih tua dari Ibrahim yang menurunkan Yahudi dan Arab yang kini sedang menguasai dunia.
Tak perduli apakah benar atau tidak benar ‘kasepuhan’ nenek moyang Nusantara ini sengaja dikubur disembunyikan oleh pemenang sejarah dunia karena dahulu kala sudah merupakan perintis ’10 pilar peradaban’: dari mbah-buyut-nya pertanian bumi dan kemaritiman laut, bikin password pemindah hujan, penyusun awan dan penolak rudal, import logam dari Mars dan Neptunus untuk bikin keris, teknologi penerbangan frontal anti-gravitasi, penemu bahan adiksi-adiksi dari antara gunung berapi dengan laut selatan, 41 level santet, anak cucunya rindu trap-trap sawah pegunungan hingga bikin pyramid, atau apapun saja.
Juga biarkan saja apakah Maha (Perdana) Menteri Gadjah Mada dengan ideologi ‘ambeng’nya jauh lebih demokratis dibanding ‘tumpeng’ NKRI yang berlagak demokrasi. Pun tak usah disesali kenapa Majapahit bikin bangunan keraton dari kayu, sehingga hancur luluh tenggelam oleh luapan lumpur Canggu.
Yang penting, yang nyata hari ini bangsa Indonesia adalah ‘Champion of Life’. Jagoan dalam mengalahkan keadaan-keadaan hidup. Juara penderitaan. Sanggup membangun kegembiraan dalam kesengsaraan. Petarung kesulitan. Pendobrak kemustahilan. Tertawa dalam kehancuran. Pandai dalam kebodohan. Tidak mengenal lelah untuk terus menerus ditipu, dibohongi, diperdaya dan ditindas.
Di berbagai kegiatan hidup, dari keagamaan, politik dan budaya, rakyat Indonesia sangat eksploitatif kepada berhala-berhala. Sangat gemar bermain berhala, mengambil apa dan siapa saja sekenanya untuk diberhalakan. Esok paginya berhala itu dibuang, ganti berhala baru. Bukan karena manusia Indonesia suka menuhankan apa-apa yang bukan Tuhan. Dalam kandungan kejiwaannya justru terdapat kecenderungan untuk menuhankan dirinya sendiri, sehingga mereka ambil berhala, pura-pura menyembahnya, mengaturnya, mempergilirkannya semau-mau mereka.
Rakyat Indonesia tidak menuntut kepemimpinan kepada para pemimpin. Tidak menuntut komitmen kerakyatan kepada petugas pemerintahan yang mereka upah. Tidak menagih kesejahteraan kepada pengelola tanah airnya, bahkan mensedekahkan kekayaan kepada Kepala Negara Kepala Pemerintahan dan seluruh jajarannya. Tidak mempersyaratkan keterwakilan kepada para wakilnya. Lahap mengunyah disinformasi yang dipasok oleh para petugas informasi.
Rakyat Indonesia tidak mengenal kehancuran. Karena tidak berjarak dari kehancuran. Juga karena antara kehancuran dan kejayaan, antara riang dengan sedih, antara maju dengan mundur, hebat dengan konyol, mulia dengan hina, pandai dengan bodoh, sorga dan neraka, pada alam mental rakyat Indonesia: itu bukan polarisasi. tidak bersifat dikhotomis, tak berhulu-hilir: hulunya adalah juga hilirnya, hilirnya adalah juga hulunya.
Tak ada garis lurus interval. Kedua dimensi nilai-nilai itu berada dalam bulatan yang bersambung, yang kalau dipandang dari jarak tertentu: ia adalah sebuah titik. Rakyat Indonesia tidak tertindas oleh ketidakmenentuan dalam kehidupan bernegara. Republik ayo, Kerajaan monggo. Presidentiil silahkan, Parlementer tak apa. Kalau Pengurus Negerinya mengabdi kepada mereka ya tidak dipuji, kalau mengabdinya kepada diri penguasa sendiri ya dibiarkan, kalau tidak mengabdi malah menganiaya ya mengutuknya beberapa saat saja.
Bahkan manusia Indonesia lebih memilih lupa daripada ingat, lebih cenderung kepada tidak mengerti daripada mengerti. Sebab akurasi energinya mengarah ke kebahagiaan diri: ingat dan mengerti adalah tembok penghalang utama yang membuat mereka tidak mencapai kebahagiaan secara pragmatis dan permisif. Bahkan antara ingat dengan lupa juga diracik oleh jiwa manusia Indonesia menjadi sebuah kesatuan yang dibikin relatif. Kapan butuh ingat, dia ingat. Kalau yang menguntungkan adalah lupa, maka mereka lupa. Bahkan kalau melihat susunan saraf-saraf nilai dalam kejiwaan bangsa Indonesia, yang terindikasi pada pola perilaku budayanya: sebenarnya terhadap sorga mereka tidak rindu-rindu amat, dan terhadap neraka mereka tidak benar-benar ngeri.
Jadi, rakyat Indonesia tidak memerlukan selimut. Justru mereka adalah selimut bagi para pemimpinnya. Kalau pemimpinnya membutuhkan gagasan dan spirit bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, maka rakyat Indonesia juga turut mengucapkannya demi membesarkan hati para pemimpinnya. Kalau ada yang memerlukan keyakinan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang kerdil, rakyat Indonesia malah menunjukkan kebesarannya dengan merelakan dirinya dikerdil-kerdilkan. Namanya juga selimut, silahkan digelar selebar-lebarnya, atau dilipat menjadi sekecil-kecilnya.
Dengan kata lain, kalau tidak ada arus sejarah yang mengajak mereka menyelenggarakan kebangkitan, atau membiarkan keadaan negeri ini terus begini-begini saja, tak ada soal bagi rakyat Indonesia. Sebab toh mereka punya kebangkitannya sendiri. Bahkan sudah menjadi naturnya manusia, bahwa dalam tidur itulah justru bangkit vitalitas perangkatnya.
~disadur dan diterjemahkan pada Jumat, 24 Oktober 2014/1 Muharram 1436 H, 20:23 (UT+9), mengisi momen Tahun Baru Islam 1436 H.