Kamis, 18 September 2014

Article#343 - Bandung Lautan Hati


Barangkali aku menghela mimpi
Saat terik tengah hari meraja
Jurai cahaya menyelusup tenang
Menyapa wajah-wajah di hadapan
Yang kelam dalam konsentrasi
Menetapkan tujuan tanpa gangguan
Melaju menulikan derit di telinga
Aku menatap ujung perjalanan
Dan cakrawala berpendar cerlang
Merangkum nyata cerita


Mungkin aku mendaras mimpi
Saat temaram tirai senja
Menyoroti jiwa yang lemah
Seolah memindai kami yang berjalan
Siap mengantar jiwa ke peraduan
Cakrawala di mana terbenam Matahari
Menjadi saksi atas sebuah perjalanan
Melalui niat yang ditetapkan
Bersama aku menerjang cobaan
Merampungkan pengharapan


Ya, aku terbenam dalam mimpi
Di mana Bulan bersinar benderang
Dan ada kelip mengerjap
Dari hati yang gemetar kedinginan
Kuhembuskan arak awan
Namun bintang tak sudi datang
Dalam semu hangat api
Aku menceritakan kebodohan
Tanpa peduli seruan langit
Atas detik yang tersisa


Kuterjemahkan gumaman mimpi
Dalam bahasa yang didengungkan pagi
Kata-kata yang dibisikkan embun dingin
Kalimat yang dipendarkan Matahari
Metafora dari gumpal kabut pagi
Seruannya membuatku bergidik
Tetapi aku tak sanggup memalingkan diri
Menerapkan warna angin, aku pergi
Meski suara hati meneriaki
Supaya aku datang kembali



Aku sudah lupa kapan pertama kali mengunjungi Kota Kembang. Yang kuingat hanyalah kilas ingatan dari kunjungan tahun 1999, saat mobil yang membawa keluargaku sejenak beradu kekuatan dengan truk. Beradu, meninggalkan jejaknya pada sisi pojok kanan belakang mobil, yang dokumentasinya terpatri di album foto keluargaku.

Beberapa tahun selanjutnya, aku masih jamak menghampiri Bandung, terutama untuk mengunjungi abang-kakak sepupu yang banyak melanjutkan pendidikan ke salah satu dari sekian banyak kampus di sana. Meskipun beberapa kali Kota Kembang kukunjungi, kunjungan yang paling kuingat adalah kunjungan dalam rangka perkumpulan dan seleksi menuju kompetisi kancah internasional, di masa kelas dua belas dulu. Jika dihitung-hitung, aku lebih lama tinggal di masa itu dibanding pada seluruh kunjungan lainnya.

Bagiku, Bandung tetap saja menyimpan banyak cerita. Entah yang belum terjamah, atau yang sudah bosan dituturkan. Tetapi kaki ini tetap terasa demikian ringan ketika melaju untuk bertemu, atau tersasar tanpa tuju.
Mungkin, sebagaimana kata sang walikota, Bandung bukanlah nama kota, tetapi nama perasaan.
Dan aku sudah lebih dari terjerat di dalamnya.

Halo-halo Bandung
Ibukota keriangan
Halo-halo Bandung
Kota kenang-kenangan
Terasa lama beta
Tidak menjumpa dengannya
Sekarang telah menjadi lautan hati
Harap 'ku akan kembali

sumber gambar pertama

7 komentar:

  1. Hai Gian, sering2 main ke Bandung ya~

    BalasHapus
  2. Balasan
    1. Ada waktu untuk cerita, Him. Susah kalau sekarang~

      Lagipula pake gambar aja – satu gambar kan mewakili banyak kata

      Hapus
  3. Cieeh "lautan hati" hahaha :v

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...