Selasa, 07 Januari 2014

Article#252 - Monokromatik


Mereka bilang, kita harus berbicara dalam nyata. Terang-terangan tanpa sembunyi kata. Harus jelas mana yang hitam, mana yang putih. Harus lugas, bukan plin-plan, cengengesan, meskipun tenggorokan letih.

Mereka sibuk berkoar, inilah kebenaran yang sesungguhnya, hitam diatas putih, putih diatas hitam. Semangat dualisme warna yang seolah terus mengalir di tiap-tiap pembuluh terdalam. Ada yang fokus ke mana putihnya, mana hitamnya, dan selainnya disapu sekali hantam. Ada juga yang tak jua menemu, tergeletak antara keduanya, terdiam.

Mereka sebutlah segara warna antara hitam dan putih sebagai abu-abu. Atau kelabu. Entah campurkan berapa banyak hitam, berapa banyak putih, bercampur aduk sewarna abu. Mereka banggakan diri, menyebut diri menjelaskan mana putih mana hitam, koor mereka menggebu. Sementara ketika antar mereka tercampur, bersatu rancu dalam ragu, dibiarkannya tersapu di ujung pilu, hingga berdebu.

Mereka bilang, bicara hal harus tercetak nyata. Sementara nyatanya, jelasnya apa yang tercetak ditentukan oleh kontras warna. Kontras sarat ketakterusterangan, yang acuannya justru ditentukan mereka yang mengendalikan.

Mereka terus saja berkoar.
Dan saat batas hitam dan putih mulai pudar, semua seolah bubar, tinggalkan relung nalar yang kini sukar ditakar. Kini entah mana mereka yang terpelajar, mana mereka yang terhajar, mana mereka yang kurang ajar.

Lalu dimana diri, kautanya?
Ia berada disana. Di dalam sana. Berbaur, melingkupi semuanya.


...dilanjutkan di artikel 275.

1 komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...