[versi final]
Terheran dengan topik yang tersirat tak biasa? Tak apa.
Saya sendiri (nggak sendiri sih, bareng sama
komplotan) heran ketika merampungkan tulisan ini, dan kemudian berpikir, kenapa bisa. Saking kagetnya, maka saya sarankan, kalian yang akan membaca lebih lanjut, simak beberapa hal ini:
- Selama perjalanan kalian membaca tulisan ini, akan banyak dijumpai, pelanggaran atas penggunaan bahasa Indonesia yang baku dan benar. Apakah ini baik? Entahlah, kalian lebih bisa menilai. Yang jelas, jangan terburu-buru gusar ketika menemuinya, karena seperti kata pepatah, sekali gusar, maka seterusnya akan tetap gusar. Lah pepatah siapa itu bang
- Semua aspek dari cerita di bawah, entah latar, tokoh, atau alur cerita, tidak ada yang diambil dari kisah nyata. Jadi jangan terburu-buru mengasosiasikan isi cerita ini dengan entah siapa kenalan kalian yang tak bersalah. Apalagi dilimpahkan kepada penulis beserta komplotannya. Tega niaan..
- Seluruh kepingan gambar diadopsi dari dunia maya, dan beberapa mengalami sepercik modifikasi. Tidak ada yang murni buatan penulis.
Mungkin itu saja. Selamat meneruskan.
*****
Gue cukup yakin, banyak dari anak-anak kecil yang mengagumi kehidupan orang dewasa. Entah dari hasil menonton kartun tanpa henti, dimarahi orangtua, nggak bisa ngambil kotak biskuit di atas lemari. Gue pun dulu nggak jauh beda sama mereka.
Dengan celana bagian lutut yang kotor oleh debu lapangan, gue melihat orang dewasa sebagai orang besar yang keren. Gue pengen jadi seperti mereka.
Tapi... Itu dulu.
Kemudian gue bertumbuh dewasa secara perlahan, dan sadar, pemikiran gue dulu salah besar.
Kesimpulan ini gue ambil setelah mengalami sendiri, banyak hal dalam hidup gue. Setelah gue sadar bahwa sandal nggak kalah pedas sama sambal. Setelah gue sadar bahwa ekspresi muka bisa menandingi dinginnya Antarktika. Setelah gue sadar bahwa… yang mengakui secara verbal kalau gue tampan, hanya kedua orangtua. Setelah.. Ah kepanjangan prolognya.
Langsung aja ya sob. Perkenalkan, nama gue Glen. Mungkin, nama ini sekilas terdengar keren. Secara,
wescern neim gitcu low.. Tapi, nama panggilan gue ini berevolusi seiring berjalannya waktu. Mulai dari Si Glen, berubah jadi Si Ngglén, berubah jadi Singglén, sampai akhirnya nama gue malah jadi Singlé.
Jadi… Yap, betul, gue jomblo. Tercetak abadi di nama gue. Huft.
Meskipun gue jomblo, gue nggak minder sama topik cinta-cintaan. Misalnya, pas hari paklentin gue juga ikut seneng, terlepas dari hakikatnya yang gue nggak peduli hari apaan. Yang penting sih jelas ini.
|
YEE! |
Nggak perlu dijelasin lah ya. Yang jelas coklat
sale itu super enak, terlepas apakah kalian ibu-ibu atau bukan.
Bahkan, dengan kondisi gue yang bahagia itu pun, temen gue ada yang masih nanyain kenapa gue santai aja sama topik cinta-cintaan. Padahal jawabannya udah jelas.
“Pengen belajar, biar dapet IP bagus. Pengen bikin mamah papah bangga. Pengen kerja di perusahaan gede. Pengen…”
Iya, gue tau, banyak pengennya. Tapi sebenernya sih bukan itu yang utama.
Alasan utamanya, gue masih mau serius main game.
Game itu, separuh nafas gue.. terbang bersama diri gue..
|
Seandainya gue bisa masang baling-baling bambu ke tugas-tugas kuliah supaya mereka terbang.. |
Dalam beberapa saat, istilah cinta mengingatkan gue akan sesuatu yang lebih ilmiah. Dan gue seringkali dibuat mabuk oleh sesuatu yang ilmiah macam gini, jadi gue nggak mau deket-deketin.
|
Hormon yang memabukkan, sebagaimana efeknya. |
Tetapi, lebih sering, gue cuma memanfaatkan masalah cinta sebagai topik terbaik untuk ngejek orang lain. Seru loh ngejek orang itu. Ekhemmm. Ekhem.
|
Nobita bisa sejago itu, ya. |
Tapi euforia ke-jomblo-an ini nggak berlangsung lama, sob.
Nikmatnya hidup menjomblo gue berubah seiring sinetron pacaran merebak ke seluruh televisi di nusantara. Gue nggak ngerti maunya mereka apa, bocah ingusan disuruh akting pacaran. Mereka harusnya sadar dong, masih banyak manusia tunaasmara bergeletakan di penjuru negara.
Seolah semua itu nggak cukup, gue makin nggak abis pikir setelah gue baca koran dan nemu berita ini.
|
Kasian mamah papahmu dek, |
Apa pasal, dengan membaca berita itu, gue merasa tambah antipati ama topik cinta. Tiap ada yang bawa-bawa topik ini muncul, gue langsung usir dia kayak ngusir nyamuk.
Kayag nggak ada obrolan lain aja.
|
Belom pernah nyemprot, sih, |
Tak lama kemudian, justru alur hidup gue berubah total.
Sepertinya kebanyakan mengejek orang yang jatuh cinta bikin gue kena batunya. Kemudian dengan demikian mendadaknya, gue dapati diri gue naksir sama cewek sob! (Iya cewek, ciyus, gue normal kok)
Akhirnya… Sob, dengan berat hati gue ngaku. Gue juga mulai terserang wabah virus merah jambu.
Gejala ringannya, gue jadi lebih puitis. Iya, gue jadi getol nulis puisi.
Di tembok rumah tetangga.
|
Entah berapa ember cat terbuang.. |
Yaa gue sih mikirnya asal nggak ketauan, kagak masalah. Daripada gue tulis di kertas. Syukur-syukur nyampe ke majalah kampus, takdirnya paling nggak jauh-jauh tong sampah. Atau mujur dikit, dipake buat bungkus gorengan.
Sebagai gantinya.. gue diincer ama bapak si empunya rumah. Dan gue baru ngerti, betapa sandal balado itu pedes banget. Terutama kalau kena ke muka. Parah deh.
Kejadian itu membuat gue nggak berani melakukan apa-apa, untuk beberapa waktu.
Gue juga jadi lebih sering berdoa. Tapi... ya gitu deh.
|
Gue juga bingung kenapa bisa ada onta nongol disono. |
Gejala menengahnya, kalau gue ketemu tuh cewek, muka gue jadi merah kayak udang yang baru keluar dari panci.
Gue nggak masuk panci aja merah begini, gimane kalau masuk ya..?
Muka boleh merah, tapi gue pengen keliatan
kewl. Gue ajak si doi ngobrol, supaya bisa lebih kenal. Gue keluarkan lawakan-lawakan, niatnya sih supaya suasana bisa mencair. Ternyata berat, sob.
|
Gue nggak bisa konsen. Nggak bisa. Parah. |
Makin gue kenal doi, rasanya makin aneh jiwa gue sob. Dasar pemuda yang sedang dimabuk cinta, sesuatu dalam diri gue mendorong untuk bertindak lebih.
Gue jadi berniat untuk menyatakan perasaan gue kepada si dia.
Bayangin coba, menyatakan perasaan. Menyatakan butir-butir Pancasila aja gue masih sering kepeleset nyebut Pencak Silat.
Dengan beraninya gue ketik di hape, tiga kata sederhana di kolom pesan. Tinggal pijit tombol “Kirim”, akan terkirimlah pengakuan itu.
Gue nggak abis pikir, kesambet apa diri gue saat itu. Karena gue nggak paham soal sambet-sambetan, akhirnya gue nggak minta tolong temen buat ngeruqyah gue saat itu. Boro-boro kepikiran sih ya.
Pesan itu masih tersimpan hingga beberapa hari kemudian, ketika gue, dengan teledornya, memencet tombol “Kirim”.
WADUH!
Gawat gawat gawat gawat gawat...
Gue gemeteran lima menit di atas kasur, nggak kebayang dah kalutnya kayak apa.
Lima menit...
Sepuluh menit...
Setengah jam...
Adzan Maghrib...
...
Nggak ada respon dari doi, sob. Gue menghela nafas panjang, panjang banget. Kalah dah preambul UUD '45.
Gara-gara hati kecil gue masih menyimpan harap, gue bukalah kolom pesan itu. Harapannya ada pesan masuk dari doi saat gue nggak sadar.
|
Memang belum waktunya ya? |
Gue rasanya bingung, antara kepingin memasang ekspresi mukegile sekaligus kepingin bersorak. Serasa diberikan kesempatan kedua, nafas gue diperpanjang dikit dengan kejadian tak terduga ini.
Setelah kejadian itu, gue mulai berpikir, bukan ini cara yang pas, sob.
Katanya sih, langkah awal untuk menyatakan cinta itu dengan cara memancing topik pembicaraan. Gue selama ini baru bisa mancing ikan teri, itupun pake iming-iming piring cantik dulu. Jadi gue super waswas, meskipun akhirnya gue tetap nekat.
Ketika gue nekat bertindak, sayangnya malah jadi kayak begini.
|
(nama bukan nama sebenarnya) |
Huft.
Gue merasa demikian payah. Kalah sama bocah tetangga yang udah bisa nyetir bajai. Sementara gue ngampus aja naik skuter, itupun ketar-ketir.
Gue makin kalut. Akhirnya, gue memutuskan untuk minta saran dari orang terdekat. Siapa lagi kalau bukan abang gue? Orang yang sekiranya akan sangat membantu dalam menyelesaikan kekalutan macam ini. Naas, pengalaman abang gue malah lebih tragis.
|
Paling nggak doi-nya (sempet) naksir ente, bang... |
Gue belom mau nyerah, gue memutuskan curhat ke tempat lain. Sasarannya adalah temen gue. Baru kali ini gue curcol masalah cinta-cintaan. Biasanya curcol masalah bos game level ke sekian yang seolah tak terkalahkan.
Lagi-lagi naas, tempat curhatnya salah lagi. Haduuh.
|
Ih tapii ngomongin orang kan nggak baaiiik |
Saat gue sebut nama si doi, temen gue ini langsung ninju gue dan ngelempar gue pake bangku. Untungnya cuma di game.
Tapi tetep aja. Sakit, sob, sakit..
Lama-kelamaan, gue makin keder. Jadi nggak berani untuk menyatakan. Bukan apa-apa, takut nanti doi malah menjauhi gue, dan gue nggak bisa ngobrol ama doi lagi.
Alhasil, justru sesuatu yang lebih buruk terjadi.
|
Hidup emang keras, sob :"( |
Mungkin ada beberapa kawan sesama jomblo yang punya pengalaman serupa. Pedih ya sob. Seperti pedihnya Julius Caesar yang diserang dari belakang sama oom Brutus. Bukan, bukan Brutus musuhnya Popeye itu. Tapi..
Aargh. Gue kehabisan kata menggambarkan kecamuk perasaan gue saat itu.
|
Iya, gue juga kehabisan kata untuk menjelaskan kenapa hati bentuknya begono |
Tapi tetep sob, gue berusaha bersabar. Gue kan anak baik kesayangan mamah papah, yang sering ditagihin sedekah, jadi gue harus sabar dan tabah. Harus ikhlas ngelepas si dia dari pikiran gue. Nggak punya pilihan lain juga sih. Yakali manjat sutet kayak bocah tadi.
Meskipun emang nggak kuat hati melihat mereka.. Duh. Duh. Duuuh.
|
Teteup kiip smail dong, denyut jantung mah belakangan |
Jadi, sob, cerita ini berhasil dirangkum hanya dalam satu ilustrasi sederhana berikut.
|
Ikhlasin aja tong |
Yaah, kalau begini ceritanya sih, gue udah kalah. Meskipun kata temen gue, terus berjuang sampai janur kuning terkembang, tetep aja gue udah patah arang.
|
Tuh, makanya jangan sembarangan kalau main karet |
Mungkin gue beneran kena batunya. Gue, yang dulu hobi banget ngejek orang jatuh cinta, sekarang disadarkan bahwa cinta juga bisa menyakitkan.. (ngomong apa gue barusan!?)
Tetapi, sebagaimana minimarket depan rumah selalu buka jam 8 pagi setelah malamnya tutup, yang gue yakini saat itu adalah, kalau pintu gue ketutup, pasti bisa dibuka lagi. Asal gue mau
muv on. Harus lah,
|
Ngg... Tapi... |
Gue berusaha sedemikian kuat untuk melupakan kandasnya cerita gue sebelumnya ini. Saking kuatnya, akhirnya gue keasikan.
Dengan dalih mengajak kembali ke jalan yang benar, gue mulai mempengaruhi kenalan gue yang masih suka jalan berduaan, supaya putus aja. Nggak penting cinta-cintaan itu. Mending belajar yang bener, biar mamah papah bangga, biar dapet kerja bagus...
Ya, gue kembali ke diri gue yang dulu. Rasanya merdeka. Merdeka, sebagaimana merdekanya orang yang udah antri setengah jam nunggu giliran make WC.
Tapi lama-lama, gue jadi keasikan, sob, dan merasa jadi brutal!
|
Oke, nggak sebrutal ini sih. |
Seperti biasa, makin senang gue melakukan sesuatu, makin sering dan makin bersemangat gue melakukannya. Disini gue mulai berbelok. Kalau dulu banget, gue hobi menertawakan orang yang jatuh cinta, sekarang gue getol banget menghasut orang untuk mengabaikan masalah cinta-cintaan. Semacam MLM anti cinta gitu deh.
Hasilnya, gue jadi orang yang adil. Nggak lagi mandang orang dari warna kulitnya atau cantik nggaknya seseorang. Mantep kan?
|
Sampe tingkat ekstrem ini. |
Tapi sob, hidup gue makin nggak menentu. Gue nggak punya motivasi buat belajar. Gue pun nggak habis pikir, kenapa saat itu gue mau-maunya menghasut orang-orang begitu. Hidup gue makin lama makin karam saat itu.
Saat itu, gue memutuskan untuk curhat ke orangtua gue. Ngobrol entah berapa jam, yang jika beruntung bisa membuat gue kebanjiran. Nggak dalem sih, biasanya se mata hati.
Di telepon-telepon semacam itulah, gue tersadar dan disadarkan lagi, bahwa setiap manusia itu butuh cinta. Dan yang namanya cinta emang jauh lebih luas dari sekadar cerita konyol taksir-taksiran a la anak remaja. Guru fisika aja bilang kan, setiap taksiran akan memiliki nilai ketidakpastian. Apalagi taksiran perasaan. Gue angkat tangan lah pokoknya. Bukan, bukan nyerah, ini tangan gue pegel.
Dan tentunya sekarang, status gue udah bukan jomblo ngenes lagi dong….
...
...
...
|
Tapi jomblo sampai halal. |
Gue sendiri nggak bisa menjelaskan dengan baik, seperti apa 'jomblo sampai halal' itu. Tapi, yang jelas diri gue nggak perlu diperiksa komposisi dan sertifikasi bahannya oleh MUI.
Secara gue kan bukan mi ayam gitu loh.
Yang kemudian gue tahu, gue merasa, ada begitu banyak pelajaran yang telah gue dapat. Karena gue kepingin menjadikan pengalaman gue ini bermanfaat untuk orang lain, gue sering merelakan diri menjadi juru curhat untuk temen-temen gue...
|
Nggak sampe nenggak 3 botol XX juga sih.. |
Jelas lah ya, ditolak mentah-mentah. Siapa sih gue, jomblo dari antah berantah.
Untungnya, setelah semua yang gue alami, hal kecil semacam itu jadi terasa mudah.
Cuma ditolak memberi saran mah kecil dibanding patah hati sob. Bahkan, berlawanan dengan dugaan banyak orang, gue hidup normal seperti manusia pada umumnya, tanpa ada lagi penyesalan karena cinta. Meskipun, kalau jomblo, punya siklus tersendiri yang jadwalnya pun sesuka hati.
|
Sekali masuk, tak tahu jalan keluar, hayo |
Berkat dorongan moral dan modal dari orangtua gue, perlahan gue bangkit lagi. Yang biasanya nempel terus ama kasur, sekarang nempelnya ama bangku. Meskipun ujung-ujungnya tidur juga.
Ohiya; sekarang gue deket ama doi yang lain nih. Lumayan lah, bisa mengalihkan pikiran sejenak dari dunia yang keras ini, dengan sedikit santap nyaman di hati.
|
Iya, lagi-lagi cokelat. |
Mau tertawa? Nggak masalah. Gue udah biasa. Hiks.
Tapi bagi gue, menjalani aktivitas sehari-hari lebih asik kalau ditemani cokelat. daripada sebelumnya, ditemani galau.
Apa asiknya juga, kalau lagi belajar tiba-tiba ngegalau. Lagi main game tiba-tiba ngegalau. Lebih baik tiba-tiba makan cokelat lah ya.
|
Tuh, baca tuh |
Nggak apa lah, cokelat itu sehat bagi manusia. Bagi manusia loh ya. Gue nggak bisa jamin apakah kalian yang baca ini, termasuk yang mungkin ikutan baca di belakang kalian, beneran manusia atau bukan.
...
...
...
Akhir kata, mungkin cuma ini yang akan gue sampaikan ke kalian semua. Khususnya sebagai ucapan terima kasih karena sudi membaca sampai bagian akhir ini.
[tambahan]
Versi yang lebih serius, mungkin bisa jadi dorongan ekstra. Khususnya bagi yang sudah mengalami secara nyata, cerita yang serupa dengan apa yang tertulis diatas. Atau sila kunjungi
sumber?