Minggu, 11 November 2012

Article#108 - Belajar Agama dari Seorang Atheis

Atheis. Julukan yang disematkan untuk mereka yang menafikan keberadaan Tuhan maupun pengaruh-Nya di alam semesta. Jangan disamakan dengan agnostik (mempercayai bahwa bukti objektif keberadaan Tuhan tidak dan tak akan mencukupi), atau deisme (mempercayai bahwa Tuhan sebagai pencipta, tetapi tidak percaya wahyu dan mukjizat, sekaligus pula tak percaya agama). Walaupun atheis cenderung tak mendapat tempat di Indonesia, tetapi mereka tetap ada, sekelompok orang yang mempertanyakan dengan pemikiran yang kadang dalam, tetapi kadang konyol, tentang eksistensi Tuhan, dan keberadaan-Nya di alam semesta.

Santai saja, saya (sebenarnya) tak berniat membahas hal 'kontroversial' semacam ini disini. Kontroversial? Yah, pada nyatanya, pengakuan atas atheisme memang tidak ada dalam undang-undang, karena memang Indonesia mendasarkan kenegaraannya pada ketuhanan, yang pernah disebut oleh pembicara dalam salah satu acara debat terbuka di televisi sebagai 'satu-satunya di dunia selain Israel'. Kalau Anda adalah warga Indonesia yang baik budiman, pastilah   kalimat sila pertama masih bisa terngiang di kepala, "Ketuhanan yang Maha Esa". Tentu saja, sebagai sebuah negara dengan berbagai komunitas yang teguh menjalankan ajaran agama, atheisme terdengar janggal dan tak masuk nalar. Selain 'kejanggalan' itu sendiri, atheis identik dengan komunisme, sebuah paham yang pernah mewarnai kancah politik Indonesia sekian lama dan menyisakan bekas negatif, terutama dari pemberontakan di Madiun tahun 1948, dan kudeta yang jauh lebih terkenal 17 tahun setelahnya, yang mengawali runtuhnya rezim Soekarno yang telah memimpin lebih dari 2 dekade. Dan di beberapa tempat, bahkan mereka membentuk komunitas orang atheis Indonesia, yang beberapa diantaranya pernah dilaporkan karena menyalahi undang-undang tentang larangan menyebarkan atheisme di Indonesia. Apalagi beberapa pihak mengkhawatirkan munculnya provokasi dan lalu perpecahan akibat keberadaan para atheis, yang dinilai masyarakat sebagai sesuatu yang meresahkan.

Sudah jelas, membahas topik yang berkaitan dengan atheisme di Indonesia—misalkan, mempertanyakan eksistensi Tuhan— masih cenderung dianggap tabu, karena budaya agama yang berakar amat kuat di Indonesia. (Bukan bermaksud pro-atheis, tetapi memang begitu kenyataan umumnya) Tetapi, di negara Eropa dan Amerika sana, yang memang cenderung lebih 'liberal', topik semacam ini bisa terjadi di mana saja, bahkan di forum sosial. Melalui liburan panjang saya yang menjadi ajang pelampiasan melalui banyaknya artikel yang saya sumbangkan untuk blog aneh ini, saya juga mendalami berbagai pelosok dunia internet (tepatnya hanya 9GAG), dan menyelidiki komentar-komentar yang terkadang 'sensitif', dan biasanya disanalah terjadi debat panjang. Bisa tentang berbagai hal, sebagaimana yang pernah saya bahas sedikit dulu di artikel 63, tetapi karena ini artikel tentang atheisme (meskipun disini saya tak akan mengkritisinya secara langsung, mungkin di lain kesempatan), yang akan dibahas tentunya debat bertema eksistensi Tuhan.

Disana, cukup menarik menyaksikan bagaimana perseteruan yang seolah tanpa akhir antara para theis (orang yang memercayai adanya Tuhan) dengan atheis, mengamati bagaimana ada atheis yang menyusun argumen yang menunjukkan perenungan mereka atas makna hidup dan eksistensi Tuhan selama ini, dan ditanggapi oleh theis yang kebanyakan hanya berlindung di balik keimanannya, tak bisa memberikan argumen yang lebih masuk akal dan bisa membantah omongan sang atheis (karena, meskipun indah dan ilmiah, seringkali argumentasi atheis itu lemah. Tetapi saya memutuskan hanya menonton). Dan akhirnya mereka, para atheis, memnuculkan kalimat pusaka mereka, yang kira-kira berbicara tentang 'bagaimana para agamis dibutakan oleh fanatisme mereka, sehingga menolak untuk berpikir'.

Disini saya tak akan mengomentari argumen-argumen tersebut. Tidak juga menyatakan siapa yang benar dan siapa yang salah di antara mereka. Yang ingin saya tekankan adalah keadaan ketika si theis terpojok dan berlindung di balik alibi keimanan-nya, yang sama lemahnya (atau bahkan lebih lemah) dari argumen sang atheis, karena ia hanya bisa berkata 'Tuhan melarang ini', 'Tuhan menyuruh itu'. Ketika ditanya mengapa, mereka justru berkelit.
Pemahaman agama mereka terbatas pada 'tahu', belum 'paham'. Dan, karena sebagian besar penganut agama 'mendapatkan' agama tersebut dari warisan orangtuanya, kebanyakan hanya manggut-manggut, menjalankannya begitu saja. Mungkin pula, sebagian besar umat beragama mengerjakan ibadah rutin, menjalankannya tanpa pemahaman. Tanpa dasar. Tanpa jiwa. Sekadar menggugurkan kewajiban. Padahal, dalam hadits sendiri diungkapkan sebuah kalimat yang terkenal, "Sesungguhnya, amal itu berasal dari niat." Tanpa pemahaman yang baik terhadap apa yang dijalani, tentu tidak akan pernah dilakukan secara maksimal. Prinsipnya akan memakai 'Yang penting jadi'.

Pikiran saya selalu terngiang hal tersebut tiap kali saya melihat debat antara theis-atheis. Betapa banyak orang beragama yang menjalankan ibadah setiap hari, tanpa pernah tahu untuk apa mereka melakukannya. Banyak yang memberi larangan atas sesuatu, tetapi mereka tidak paham mengapa itu dilarang.
Mari ingat-ingat lagi, apakah selama ini kita telah melaksanakan ajaran agama dengan sebaik-baiknya? Memahami segala sesuatunya? Ketika kau berbuat baik, meninggalkan suatu hal, dan beribadah, sudahkah kalian memahami esensi dari semuanya? Mengapa kau harus melakukan kebaikan itu? Mengapa kau harus tinggalkan hal buruk itu? Mengapa ibadah itu harus kau lakukan dalam tata cara itu dan frekuensi tertentu? Perkuat dasarnya, karena jika tidak, sesungguhnya keyakinan tanpa pemahaman itu layaknya bangunan tanpa fondasi. Mungkin iman adalah dasar agama, tetapi jika kau beriman tanpa dasar yang memadai, layakkah ia disebut 'iman'?

Sepertinya saya juga jadi sedikit memojokkan para atheis, entahlah. Tetapi, tujuan tulisan ini hanya untuk mengingatkan supaya, ketika kau menganut suatu prinsip, pahamilah dengan baik dan jiwailah dengan sepenuh hati. Banyak mantan mahasiswa yang bersuara idealisme di masa kuliah, tetapi kemudian terlena oleh gelimang harta. Banyak orang yang berjuang demi kebaikan, setelah berhasil justru kemudian besar kepala. Banyak orang yang memperbanyak ibadah ketika dirundung lara nestapa, namun ketika rejeki mengucur deras, ia langsung mengesampingkan ibadahnya. Dan ada pula orang yang mengaku agamis tulen, tetapi sekali atheis bertanya, ketidakmampuan ia menjawab mengantarkannya pada atheisme sendiri.
Dan pada akhirnya, belajar bisa dari banyak hal, bahkan dari para pembenci pelajaran itu sendiri. Yang terpenting adalah bagaimana pelajaran itu diterapkan. (:g)

Sebagai penutup, saya akan tampilkan gambar berikut:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...