Agaknya memang tidak perlu menjadi sejenius Einstein untuk bisa memahami berbagai pernak-pernik warna hidup.
Iya, Einstein yang itu. Einstein yang biasa diidentikkan dengan kecerdasan di atas rata-rata, kejeniusan, keenceran otak. Einstein yang paling gamblang mewakili gambaran umum akan orang pintar yang urakan. Einstein yang namanya sering dicatut dalam berbagai kutipan yang entah pernah dia tuturkan atau tidak.
Tak perlu kita piawai memahami teori-teorinya yang terkenal. Membedakan relativitas umum dan khusus. Menjelaskan betapa E = mc2 tiada sangkutpautnya dengan relativitas. (re: persamaan tersebut terkait hubungan massa-energi). Menceritakan betapa hadiah nobel yang diterimanya bukanlah tentang teori relativitas.
Tiga contoh yang membahas relativitas di atas seakan menguatkan praduga bahwa relativitas lah yang demikian marak diidentikkan dengan figur seorang Einstein. Nama relativitas demikian memikat bagi beragam kalangan, terutama mereka yang percaya kemutlakan tiada berkecambah di seantero dunia. Meskipun pada gilirannya teori relativitas itu sendiri memberikan sebuah standar yang diyakini mutlak dalam kerangka pemikiran relativitas: tentang betapa kecepatan cahaya konstan dalam ruang hampa. Bahkan kecepatan cahaya disinyalir berada di mahligai tertinggi, melampaui konsep dasar gerak sebagai sesuatu yang relatif terhadap acuan.
Entah apakah mereka menyadarinya. Bahkan, entah mereka pernah menyelami makna relativitas barang sejenak.
Faktanya, berapa banyak sih dari kita yang merasa perlu mempelajari ketiga contoh yang tersebut di atas? Apalagi dengan penuturan akan betapa ketiganya mungkin tidak signifikan bagi seseorang yang sedang menjalani perjuangan hidup. Meskipun, tentu saja, itu bergantung apa yang kau perjuangkan dalam hidup.
Pada akhirnya, kita-kita rakyat biasa dengan cita-cita sederhana tak butuh segala macam omong pusing yang terukir dalam tiap ejawantah aljabar dalam persamaan. Kita hanya butuh cita-cita yang sesuai realita dan terjangkau indera untuk melanjutkan segenap kehidupan.
Kita tidak butuh segala macam ocehan soal massa yang mendistorsi fabrik ruang-waktu di sekitarnya sebagai perwujudan relativitas, ketika hal sepele macam lambatnya waktu ketika menunggu dapat memberikan contoh yang lebih nyata. Kita tidak butuh segala macam postulat soal cahaya sebagai kecepatan tercepat di alam semesta dengan kelajuan konstan di ruang hampa, manakala momen-momen krusial dan kenyataan yang tak terkira dapat menjumpa nyata kita dalam sepersekian kejap mata.
Kita wajah-wajah sederhana, bisa saja hanya mendamba bahagia tanpa banyak syarat. Dan kita tak butuh kerumitan kosakata untuk merasakan baranya di dalam jiwa.