Sabtu, 27 Desember 2014

Article#372 - Kontradiksi


Aku pernah menyingkap gorden jendela di pagi hari, mendapati sinar mentari menyeruak ke sanubari. Perlahan, terasa kamar memuai bersama mentari yang meninggi. Akupun menggerakkan sendi, ketika temperatur yang naik mengizinkanku untuk beranjak melerai diri. Selimut yang terlipat rapi, semangat yang mewangi, dan hangatnya diri mendorongku mulai beraksi. Tanpa basa-basi, daun jendela kuraih, dan kubuka selebar mungkin. Alhasil, diri disambut angin dingin, membiar raga lama bergidik.

Aku pernah berkalang kebosanan dalam derai hati, mendapati keterulangan jadwal setiap hari. Perlahan, rutinitas bertambah makin menjemukan dari hari ke hari. Maka kuputuskan untuk pergi, meraba nasib yang iseng ingin meraba hal yang tidak diketahui. Pakaian yang terlipat rapi, semangat yang melambing tinggi, dan hangatnya sambutan terakhir melepasku meninggalkan negeri. Tanpa basa-nasi, kucetuskan kelanjutan tahun-tahun di lokasi, hanya untuk mendapati diri berkalang di tempat yang sama berulang kali. Alhasil, tujuan yang telah beralih, memaksaku menghapus jemu dengan sedikit berkeliling negeri.

Aku pernah mereguk bergelas-gelas motivasi. Sebagai jiwa yang masih sibuk memindai tujuan untuk disinggahi, aku menjadi satu dari sekian jiwa yang menenggak ilusi dalam dosis tinggi. Terkaburkan oleh fantasi, dengan harapan yang melambung tinggi, aku mendapati jiwa berkeping, terbang kesana kemari. Tanpa basa-basi, aku terus berlagak sebagai si ahli, hingga tiba situasi ketika aku menubruk kenyataan, terjatuh ke haribaan Bumi. Maka kudapati, diriku yang bangkit kembali, adalah diri yang senantiasa mengkritisi, menarik diri dari pembenaran tiada akhir.

Aku pernah bertukar pikir dengan jiwa beragam generasi. Mereka yang tumbuh dari perjuangan keras di dunia ini, mereka yang menyesap seteguk-dua teguk kearifan dalam sanubari. Aku biarkan beragam generasi saling beradu dalam satu kongsi, berseteru dalam satu amunisi. Kuletakkan diri di sisi, menonton keramaian yang berseru dari ragam isi. Tanpa basa-basi, kita biarkan diri berargumentasi, menyerukan pelabelan dalam apa yang kita segel sebagai sebuah prinsip. Prinsip yang darinya kita menelurkan olah pikir, ketika kita dengan lihai berucap tanpa pikir. Prinsip yang dengan senang hati digadai, berkompromi dengan keinginan yang merasuki nurani.






Masih panjang perjalanan ini, menuju posisi di mana kita bisa menyigi pemikiran beragam diri, dan meyakinkan diri untuk mengerti.
Menyikapi kondisi tanpa kontradiksi, melengkapi yang belum terisi tanpa menyelisihi.

Hari 7201, bersama ular besi yang lapar.
Dicatatkan dalam getar kesilauan,
Sabtu, 27 Desember 2014, 16:42 (UT+9)
37°56'38.10"N, 139°20'05.23"E

1 komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...