Sabtu, 09 Agustus 2014

Article#327 - Menata Kenangan

Deretan lemari antik itu masih berjajar. Menderit lesu, mengintip dari balik lapis debu. Sebagai pemanis yang terpinggirkan dari jurai cerita, mereka terduduk di tepi barisan. Meminta tatap barang sejenak, dalam persepsi atas segala yang tersimpan nyaman.
Sementara aku menyelipkan semu dalam ingatan.

Tumpukan sepatu tua itu tampak gentar. Menatap nanar, pada langit-langit yang mulai pudar. Sebagai penjejak yang mematrikan langkah demi langkah, mereka menonton dari balik rak. Menyintas tanah, sepintas menjejak, dengan atensi atas tiap kontur yang terpetakan.
Sementara aku menapak lantun dalam ketukan.

Barisan buku-buku lusuh itu tersusun rata. Tegak berdiri, menyokong kawan di sisi. Sebagai perekam atas segala gesek pensil dan gurat pena, mereka menyediakan naskah tanpa alur cerita. Mendaras nama-nama lama, dari deskripsi pada kerutan zaman.
Sementara aku menyigi adanya rancu dari susunan.

Gedung-gedung gaek itu melirik samar. Kokoh menaungi, mempelajari diri tanpa henti. Sebagai penyedia latar bagi entah berjuta kisah, mereka mendominasi cakrawala. Menyibak rona pada bercak, dari remedi yang tertawan kenyataan.
Sementara aku mengupas keping lama dari khayalan.

Sosok-sosok canggung di sana menatap nanar. Berkelit kelu, membawakan sepintas deru. Sebagai penerus, pengisi pori pada fondasi, mereka menerawang halimun pagi hari. Menelisik sesekali, diguncang gentar, sembari meniti tangga sejarah yang kokoh berakar.
Sementara aku menabuh kebisingan dalam senyap canda.

Langkah-langkahku menggiring diri dari utopia. Menderap laju, mengaku sedikit tahu. Sebagai penggerak utama bagi jiwa-jiwa fana, mereka mendorong kami terus berjalan. Mengerjap cuplik memori lama, dengan tiap susunannya hadir bersama.
Dan aku terus melangkahkan pandangan. Mengayun hingga sosoknya samar menghilang.


Bayangkan derap-derap bodoh itu mengganggu benakmu. Dengan bunyinya yang bertalu-talu monoton, kau mungkin akan mudah merasa bisa mengabaikannya barang sejenak, seolah ia hanya desir angin dalam telinga. Dengan kekerapan yang mudah dilacak, dan susunan irama yang mudah ditebak, mungkin bagimu hanya butuh sedikit usaha untuk menghapusnya perlahan. Menanggapinya sebagai latar belakang yang sekadar menjadi pemanis buatan. Sedikit penyuntingan, dan hilanglah ia, menyisakan apa-apa yang senantiasa ingin kaudengarkan.

Bagi sebagian orang, menyingkirkan latar belakang hanya butuh sedikit pengalihan.
Bagi sebagian yang lain, butuh ragam makna kesibukan.
Bagi sebagian yang lain, hanya bisa disingkirkan lewat pertemuan.
Bagi para pencilan, justru latar belakang inilah yang mereka kumandangkan.

I've spent all of my nights wide awake
Wishing for some kind of poison to take
So that my conscience would just take a break
I am so tired of the noise that it makes
I'm guilty enough without hearing it twice
Please don't hate me



Beberapa orang yang beruntung, termasuk aku, telah menyigi berbagai lansekap kehidupan yang beraneka warna. Menyaksikan, merasakan, menyebarkan, bagaimana perjalanan kehidupan memberikan corak-corak warna, secara niscaya, perlahan. Dan ketika masing-masing kita melihat diri sebagai hasil berbagai motif dan corak, kita membaca ulang naskah perjalanan kita. Beberapa bagian akan dipindai, bagian lain dikilas, dan dirajut paksa supaya terhubungkan.
Tiap helainya bernama kenangan, dan segala jenis kenangan terhampar di sana.

Sudah demikian banyak kenangan yang terpatri di benak masing-masing kita. Dari yang paling berkilauan, sampai yang paling gulita. Dari yang paling mulia, sampai yang paling hina dina. Dari yang paling tulus demi kebaikan, sampai yang paling kelam demi kebusukan. Dan semuanya berpilin menjadi sebuah kesatuan. Kesatuan yang menyusun corak bagi diri kita sekarang.
Ada juga berbagai warna yang telah kuterima, dan mungkin pula telah kutorehkan pada benang-benang kenangan milik yang lain. Yang tanpa sadar ikut kusulam dengan serampangan tanpa izin. Tanah impian ini mungkin menjadi saksi bisu bagi kita semua, merekam segala hal di atas butir debunya. Ada berbagai kebaikan tanpa sadar yang begitu saja terhaturkan, ada berbagai keburukan tanpa sadar yang begitu juga tersemburkan.

Atas semua kenangan yang ada, izinkan diri kita untuk sesekali menatanya. Merapikannya pada tempatnya yang pantas. Meski mungkin ada maaf yang perlu lebih dahulu dihaturkan. Juga ucap terima kasih atas kebaikan yang sempat diabaikan. Dan permintaan tolong supaya semuanya berjalan lancar.
Walaupun mungkin tak banyak yang ambil pusing untuk singgah ketika ia tertata.
Tuhan itu baik, ya. Bahkan pertanyaan sederhana dan gurauan sekalipun turut dijawab-Nya. Ribuan malam berlalu, dan akhirnya jawaban atas pertanyaanku kini jelas.

Aku sendiri yakin, sekarang kita tidak sedang mencoba menyesali dan berandai-andai menciptakan dunia kita sendiri. Karena dunia yang Tuhan ciptakan buat kita sudah mencukupi segalanya. Apa yang sudah Ia gariskan, yakini itu indah. Dia tidak kusut dan lusuh, dia hanya sedang dalam proses menuju sebuah gambar yang cantik.
...
Kenangan adalah cara Tuhan menyampaikan kepada kita bahwa ada senja yang tidak habis ditelan malam.
Jika kita mau menyimpannya, jauh sampai ke akar terdalam hati, dia akan tetap ada di sana. Itulah dia, yg tidak akan habis dalam hitungan hari, bulan, bahkan tahun.
...
Jika kita mau menyimpannya.


Meresapkan kenyataan dalam repertori. Tak tentu arah, berkelana di sepanjang malam, mencari jalan kembali.
Menata kenangan dalam memori. Tak tentu tertata, sesekali tertipu nyata, sebelum tersadar dari buai mimpi.

Hari 7061, bersama arakan awan petang.
Dicantumkan dalam sunyi keramaian,
Sabtu, 9 Agustus 2014, 21:12 (UT+7)
6°19'34.33"S, 106°40'50.67"E

2 komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...