Senin, 11 Agustus 2014

Article#328 - Segenggam Cokelat


Segenggam cokelat itu mengalir di sela jemariku. Lumer oleh tanganku, juga oleh terik siang hari itu.
Kucoba mengumpulkan segenap lelehan cokelat itu. Aku mencoba mengembalikan lelehan tersebut kembali ke rumahnya semula, saat ia masih berupa batang cokelat yang kokoh. Semua usaha itu hanya untuk membuatku celingukan seperti orang bodoh. Cokelat cair telah tercecer ke segala arah, seolah bersama meneriakkan betapa tanganku ceroboh.

Ada tawa berkumandang. Rupanya dari sudut seberang ia datang. Juga bergema dari berbagai arah di sekitar. Entah sesiapa yang menjadi tertawaan, suara-suara tersebut bergiliran datang tanpa lekang. Seolah tak membiarkan telingaku sedetikpun lengang. Meskipun ternyata bukan kepadaku suara tawa itu datang menyerang.
Aku mengamati sekitar, berlagak tenang. Mereka yang tertawa adalah mereka yang dengan kawan saling pandang. Seakan memanfaatkan kesempatan sebelum ekspresi keceriaan dilarang.
Ya, tawa itu masih berkumandang. Memekakkan telinga. Memekikkan kelakar.

Kuperhatikan kembali wilayah kekuasaanku. Daerah di sekitar yang kini ditotoli bercak cokelat bertumpuk. Alih-alih membagi pemikiran dengan kilat cahaya yang ia pantulkan, bercak-bercak tersebut justru memandangiku dalam tatapan kelam. Seolah menggurui seorang pemuda bodoh yang dengan bodohnya membiarkan sebatang cokelat lumer di tangan.
Dikepung ceramah tanpa kesimpulan, pikiranku justru kembali berjalan-jalan. Kutelusuri dengan takzim, kedalaman cerita dari seorang anak bodoh dengan batang cokelat di tangan. Kususuri dengan teliti, ceruk-ceruk memori beriak, yang dengan bodohnya kutelisik dari pola percik cokelat. Seolah aliran yang menerabas memberi kejelasan akan detail dalam ingatan. Seolah bungkus yang terkoyak mewakili semangat yang sebelum waktunya telah terserak.

Beramai orang pernah mengomentari gayaku dalam menghabiskan sebatang cokelat. Perlahan, dengan deretan gigit yang berkesinambungan. Semua komentar hanya kujawab sekenanya, sementara kepalaku sendiri bertanya-tanya. Mugnkin karena sebatang cokelat terlalu manis dan indah untuk dibiarkan berlalu saja. Mungkin hanya karena segenap jiwaku ikut larut ketika mengunyahnya. Atau mungkin aku demikian penasaran akan keseluruhan keping ceramah. Walaupun akal sehat menamparku, mengingatkan akan tiadanya cokelat yang menggurui para pemakannya. Apalagi hingga terpercik ke segala arah. Iya, sebagaimana aku mengoyak bungkus cokelat dengan tidak sabaran sebelumnya, kini percik-percik cokelat itu menyerangku dengan tak sabar.
Di akhir kalimat, kesemuanya tetap menjadi alasan.

Pikiranku yang kosong mendadak tersadar. Alasan dari semua kekacauan yang kuracik di sekitar diriku sedari semula, kembali kudapti ada di seberang sana. Perhatianku kembali teralihkan.
Hampir saja aku diseret pikiranku untuk kembali berkelana. Tetes cokelat yang terbercak. Kesadaran yang berteriak. Semua seolah disuarakan kompak. Cokelat yang sebelumnya kugenggam, menjadi saksi atas kekonyolan diriku menghadapi kegilaan di sekitar. Menghujam dalam sekejap akibat ketepatan kalimat-kalimat itu menyasar tujuan. Kelebat orang-orang di sekitarku dalam rona warna, seolah mewakili dunia yang menertawakanku bersama kenyataan.
Aku kalah. Pikiranku berlutut kaku. Melihat kenyataan itu.
Sosok itu.
Tindak itu.
Derai tawa itu.
Kelebat pikiran itu.

Kuraih selembar tisu, menghilangkan segala kekacauan karyaku di tempat itu. Mengenyahkan segala ceramah yang memenuhi kepalaku. Yang kubiarkan menceramahi tanpa putus, meski hanya dari jauh. Bersama sedikit tetesan yang tak beruntung untuk ikut terangkut. Sementara aku menatap mereka kelu.
Adalah sebuah kepastian bagi segenggam cokelat untuk meleleh, ketika ia ada di tanganmu. Kecuali tanganmu lebih beku dari deru angin musim gugur.
Meskipun kemudian aku menyalahkan pengalih perhatianku, atas hangat yang melelehkan cokelat itu.
Telingaku masih menangkap seruan yang melemah itu. Kata orang, uang tidak bisa membeli kebahagiaan. Tetapi, dengan uang, aku bisa membeli cokelat. Dan bagiku, cokelat sama saja dengan kebahagiaan.

Kulirik lagi pengalih perhatian, dengan tawa kecil sekilas. Kita pernah duduk berseberangan, dan nyaris menjadi kenalan. Tetapi, kemudian kuputuskan untuk menjadikannya sekadar orang asing lama. Yang pernah kebetulan berpapasan.
Telingaku tertawa kalah, dan kubiarkan derai sore itu memanggilku. Menyelusup benakku tanpa keluh.



sumber gambar 1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...