Rabu, 23 April 2014

Article#288 - Superposisi

Sebuah malam di sudut taman.
Sesosok jiwa tanpa tujuan.
Dan ia terus berjalan.

Langit biru terus berkumandang di atas kepala, dengan pijar biru benderang yang perlahan meredup mengantar mentari ke haribaan ufuk barat. Tak hanya matahari yang beranjak turun, banyak yang lain. Seperti pemimpin orkestra tunggal keseharian, Matahari perlahan menggiring segenap aktivitas di muka Bumi menuju masa istirahat. Mulai dari suhu udara yang terus menukik. Dilanjutkan oleh keaktifan hewan-hewan yang hentikan ringkik. Kecuali mungkin, manusia-manusia yang seolah tak kenal gelap malam, dan meneruskan keasyikan mereka yang seolah tanpa akhir. Seolah mencoba menandingi dingin malam dengan hawa hangat pergerakan tanpa henti.

sumber
Di setiap perkumpulan yang banyak, akan ditemukan pencilan yang melenggang keluar kumpulan. Alih-alih ikut menyemarakkan kegiatan malam manusia yang membebani produsen fasilitas listrik sedemikian rupa, mereka memilih untuk tidak berpartisipasi di dalamnya. Boleh jadi mereka bosan akan keseharian, sehingga keputusan yang diambil adalah untuk menjauhkan diri, sejenak dari keramaian. Boleh jadi mereka hanya terlalu malas, boro-boro mau ikut beramai-ramai disana, tidur lebih enak. Banyak hal bisa mendasari kesemuanya.

Pihak-pihak yang memutuskan untuk meninggalkan kerumunan yang banyak itu pun, bisa mengambil keputusan dengan gaya yang berbeda. Ada yang secara alami terpencilkan oleh sejarak perbedaan antara apa yang ada dalam dirinya, dengan apa yang ada dalam kerumunan. Ada yang sengaja memutuskan untuk menjadi sebuah pembeda untuk memberi warna pada kerumunan yang dirasa membosankan. Ada pula yang berusaha mempertahankan kesamaan warna, di tengah mereka yang menuntut hak untuk mendeklarasikan sebuah identitas.
Meskipun begitu, ketika kita sudah memasuki lingkup gaya-gaya tersendiri itu, tak banyak perbedaan yang kentara antar satu contoh dengan contoh lain. Hanya beda kasus, beda pelaku, beda topik. Lainnya sama, selayaknya upacara bendera yang nyaris identik gayanya antar sekolah, atau antar daerah.

Kau bisa mencoba dengan mengunjungi kerumunan orang pendamba ketenangan. Hembuskan saja ide untuk memunculkan keramaian, dengarkan penolakan dan persetujuan mereka dalam diam. Hingga satu saat, ketika seseorang menyuarakan secara langsung di tengah kerumunan, bersiaplah menerima rentetan kejadian mengikuti. Mungkin yang memilih ketenangan akan mendominasi, tetapi seiring waktu, suara mereka yang menuntut keramaian akan makin jelas terdengar. Pada akhirnya, bisa saja para pendamba ketenangan justru menambah keramaian dalam kerumunan dengan menyerang opini mereka yang beradu suara. Melanggar apa yang mereka dambakan? Mungkin saja menurut mereka itulah cara terbaik untuk merebut ketenangan mereka kembali. Dan ternyata ia bisa sangat mudah. Cukup dengan seruan lantang memprotes keramaian, mereka yang lain bisa seketika terdiam.

Suara semacam itu berada dimana-mana, tersebar dan saling menguatkan sesuka diri mereka. Banyak pula dari mereka yang bercampur demikian kuatnya, seorang pengamat akan kesulitan membedakan antar satu sama lain dengan mudah. Pengamat yang cermat dan cerdas pun belum tentu selamat, jika ia tak berhasil lolos dari suara yang mempengaruhinya.

***
Masih ingat akan jiwa yang tadi?
Jiwa yang disapa di pembuka tulisan.
Ia masih tak acuh dengan tujuan.
Ia tak peduli dengan seruan orang-orang yang mengajaknya menentukan tujuan, karena menurutnya dengan ajakan itu, ia akan digiring untuk menentukan tujuan yang serupa dengan mereka yang mengajak.
Ia teringat, betapa mudahnya sebuah pengaruh yang muncul, bergerak menyebar mempengaruhi keadaan.

Tetapi sekumpulan suara itu sudah mendengking di telinganya. Seperti orkestra, mereka bersatu sebagai sebuah susunan notasi. Dengan susunan notasi tersendiri, ia dibuat lari mengejar ilusi.

Please save me 
This time I cannot run
And I'll see you when this is done


~bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...