Senin, 25 Maret 2013

Article#145 - Cerita Sang Angin Samudra (Bagian 3): Sincerum Risum

"Akhirnya sampai juga!"
Kini, mungkin waktunya sampai di akhir perjalanan.
Akhir perjalanan?
Dengan sampainya seseorang yang lama menghabiskan waktu berkutat dengan perjalanan yang ia tempuh, 'tujuan' identik dengan akhir dari sebuah penantian panjang, sebuah posisi yang ingin dicapai oleh (hampir) semua yang merasakan serunya berjuang dalam ranah proses. Memang, sering muncul sebuah perasaan senang tersendiri, ketika sebuah tujuan yang ditunggu sekian lama, setelah menyeka keringat entah berapa kali, akhirnya kini terhidang layaknya makanan yang masih hangat di depan mereka.

Lalu, mengapa senang?
Banyak alasan yang bisa memunculkannya. Yang paling umum sih, karena perjuangan sekian lama terbayarkan dengan keberhasilan berupa sampai di tujuan. Ada juga yang senang karena berhasil menuntaskan apa yang ia mulai. Bahkan, ada pula yang senang karena ia akhirnya bisa berlepas tangan dari sesuatu itu. Bagi manusia, keberhasilan memang selalu identik dengan rasa gembira. Meskipun keberhasilan juga menjadi titik awal dari perjuangan selanjutnya.
gambar dari sini
Tetapi rasa senang ini hanya sementara, selanjutnya ia akan hilang dan terlupakan. Kenapa? Saya juga tak yakin kenapa, tapi analoginya seperti makan kue yang enak. Rasa enaknya hanya akan terasa hingga kau menelannya.
Maka, ada apa setelah itu? Mengikuti analogi diatas, mungkin lanjutkan memakan kuenya. Akan tetapi, bagaimana ketika kue itu sendiri sudah habis? Ada yang kekenyangan dan menyudahi makannya. Ada yang masih lapar, sehingga ia pergi membeli sepotong kue lagi. Ada juga yang penasaran, bagaimana cara membuat kue yang enak itu. Atau ada yang hanya mengingat-ingat betapa enaknya kue itu.
gambar dari sini
Kalau kalian sepakat untuk melupakan analogi yang membuai mimpi dan kembali ke dunia nyata, maka kembali ke bahasan awal. Ada yang akan merasa cukup atas semua yang sudah didapat. Ada yang sedikit 'rakus' prestasi dan segera beranjak menggapai yang lain. Ada yang ingin memperoleh capaian melalui taktik dan trik yang secara konsep berlawanan. Dan ada pula yang sibuk mengenang saat indah dalam kebahagiaan.
Di dunia nyata, kalian akan menemui dengan mudah contoh dari semuanya. Banyak orang memang merasa cukup dengan apa yang ia punya selama ini, dan ia memfokuskan diri untuk menjaga apa yang ia miliki sehingga bisa awet. Mereka yang 'rakus' juga banyak macamnya, dari yang memendam dahaga akan prestasi dan peningkatan kualitas diri, hingga haus harta yang menjerumuskannya dalam lingkaran korupsi. Ada juga mereka yang senang mendobrak kebiasan untuk memunculkan berbagai hal baru.

Tetapi yang paling asik untuk dibahas sepertinya yang keempat. Banyak orang cenderung untuk mengalami sindrom 'rindu', 'kangen' atau sejenisnya yang mulai bersemi beberapa saat setelah terjadinya perpisahan, atau setelah tercapainya suatu tujuan. Lihatlah bagaimana mahasiswa yang terbenam dalam kesibukan tugas kuliah, bernostalgia ke masa-masa SMA yang ceria dan membahagiakan. Lihatlah bagaimana mereka-mereka yang ikut serta dalam kejuaraan demi kejuaraan, saat mereka merasakan gregetnya pertandingan dan manisnya trofi atau medali. Lihatlah mereka yang duduk di bangku kesuksesan, dan mengenang masa-masa perjuangan mereka yang keras dan tak bersahabat.

Ia bisa muncul dengan begitu tiba-tiba, terutama ketika sang objek sedang berada entah dimana, di tempat yang jauh. Datang, menyergap dengan begitu mendadak, bergulung-gulung tanpa pemberitahuan, lebih sulit diantisipasi dari gelombang tsunami yang dahsyat itu. Tsunami masih memberi 'tanda' akan kedatangannya, dan orang bisa menghindarinya. Tapi yang ini? Datang begitu saja tanpa tanda-tanda, dan siapa yang kuasa menghindarinya? Gelombang perasaan yang ini akan membawamu dalam lautan kenangan, akan apa yang telah terjadi, dan apa yang dulu diimpikan. Apa yang dahulu menggugah hati, dan apa yang dengan setia kauperjuangkan. Apa yang ada, apa yang tersia, dan apa yang hilang.

Tetapi, apa itu salah? Tentu saja tidak, kawan. Meskipun sering dibarengi dengan rasa sesak yang menyelusup ke dalam sanubari jiwa, perasaan ini bukanlah sesuatu yang kedatangannya merupakan suatu kesalahan. Mungkin ia bisa membuatmu terbenam berjam-jam, berhari-hari, berbulan-bulan, tetapi ia ikut menjaga hatimu supaya tetap bersih dan hidup. Memastikan hatimu tetap menjadi hati seorang manusia yang punya emosi dan nurani. Tentu saja, selama diarahkan pada arah dan porsi yang benar.
Porsi yang benar, supaya kau tak terbenam dalam kenangan masa lalu tanpa bisa melakukan sesuatu lain yang bermanfaat. Arah yang benar, tentu saja, kenapa harus memendamnya dalam bentuk kegundahan dan keluh kesah? Kenapa harus kesana, kalau bisa mengarahkannya kepada produktivitas yang lebih, semangat lebih, dan perjuangan yang lebih? Berjuanglah untuk mengganjar perasaan itu dengan pencapaian yang bisa menerbitkan kebahagiaan di hati mereka yang dekat denganmu.

Perasaan rindu itu pasti akan tetap ada, tetapi biarkan ia disana walaupun ia menyesakkan. Jadilah kuat karenanya. Apakah kau akan menjadi permata yang berkilauan dan begitu berharga, atau arang yang terserak dan terbuang, tak hanya ditentukan oleh apa yang kau alami, tetapi juga apa yang kau lakukan.
Kalau terasa sulit, bayangkan saja senyum seseorang nun jauh disana. Seseorang yang akan selalu merasa bahagia di atas kebahagiaanmu, dan ikut cemas di atas kesulitanmu. Bayangkan senyum tulusnya atas kebahagiaanmu, kesuksesanmu, prestasimu, kontribusimu, dan kemudian berjuanglah dengan semangat yang penuh.
Apa jadinya dirimu di masa depan akan ditentukan apa yang akan kau lakukan saat ini.
Apa kau akan bergerak maju? Atau hanya duduk dan terdiam?

(:g)
Silakan kunjungi juga bagian pertama dan kedua.

2 komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...