Sabtu, 15 Desember 2012

Article#121 - Indonesia dan Cerita Di Balik Layar: Sebuah Tulisan

Seiring berlalunya hingar-bingar konyol mengenai tanggal yang katanya 'cantik' dan (seperti tanggal lainnya) hanya terjadi sekali seumur hidup (sebagaimana saya pasang di tulisan sebelumnya), saya menemukan sebuah artikel dari pengurus akun Facebook milik Persatuan Pelajar Indonesia di Jepang (PPI Jepang), tentang hari HAM internasional, yang dilangsungkan pada 10 Desember 2012.

Tambahan: antara malam 14 Desember 2012 dan siang 15 Desember 2012 bertepatan dengan 1 Shafar 1434 dalam penanggalan Hijriyah, yang dipersingkat menjadi 1/2/34. Silakan lihat sumber.

Dari Agama Hingga Sepakbola: Refleksi Hari HAM Sedunia

Sebagian dari kita mungkin sudah pernah menjelajah Indonesia, tapi saya yakin lebih banyak lagi yang belum pernah. Saya saja seumur hidup baru 3 kali pergi keluar pulau Jawa dan ke Jepang merupakan keempat kalinya saya keluar pulau Jawa. Entah kenapa, hari HAM se-dunia yang jatuh pada hari ini ingin sekali mengajak teman-teman untuk mengelilingi Indonesia.
Eits, nanti dulu kelilingnya bukan untuk melihat keindahan bukan pula untuk melihat keramahan, namun untuk melihat keprihatinan yang terjadi akibat pembiaran/pelanggaran HAM di negeri yang katanya bermoral ini. Kadang kita harus lihat yang seperti itu, bukan??
Kalau siap, mari ikut bersama saya!

Mari kita terbang ke ujung timur Indonesia, Propinsi Papua. Di tanah Papua yang elok ini, darah tidak berhenti mengalir. Saling bunuh antara aparat dengan kaum (katanya) pemberontak sudah membuat tanah-tanah di Papua berangsur memerah.
Belum lagi ancaman kelaparan di daerah terpencil, ingat kelaparan di Yahukimo? Atau perang suku yang seringkali terjadi dan seringkali menewaskan masyarakat. Ironi muncul ketika Papua, yang dahulu di zaman Soekarno begitu gencar propagandanya untuk bergabung dengan RI, kini menjadi sebuah ironi. Dengan tanah yang amat kaya dengan logam mulia, daerah yang baru bergabung dengan RI tahun 1961 ini kini menjadi salah satu daerah yang tertinggal secara infrastruktur di Indonesia. Kemana logam mulia itu pergi? Dibawa pergi ke Amerika sana. Lalu rakyat papua dapat apa? Hanya keributan dan gaji kecil.

Kejadian itu membuat saya seringkali bertanya dimana negara? Dimana realisasi isi pasal 33 ayat 3 dari UUD 1945? Sekali waktu pikiran semacam “Wajar Papua minta merdeka lah, jika negara membiarkan kejadian tersebut berlarut-larut” hadir di pikiran saya.
Yah kalaupun Papua merdeka, maka kita cuma bisa mengelus dada dan menyesal, “Seandainya dulu kami lebih menghargai mereka!”

(Permasalahan ini bukan hanya ada di Papua, tetapi juga sesekali merebak di daerah lain, terutama Kalimantan. Wikipedia bahasa Inggris bahkan telah memiliki laman berjudul 'Kalimantan Borneo', yang merujuk kepada 'persamaan nasib' antara Kalimantan Indonesia dan Kalimantan Malaysia sebagai daerah dengan pembangunan tertinggal.)

Kita lanjut lagi terbang ke Madura, kali ini mereka yang beragama yang melakukan perampasan terhadap hak hidup manusia dan sekali lagi negara abai terhadap ini semua. Kelompok agama sekte tertentu diserang oleh kelompok mayoritas, dan mengakibatkan enam orang tewas menurut catatan pers. Saya cukup tahu lah, permasalahan agama ini sensitif, tapi apakah harus membunuh jika ada yang berbeda dengan kita? Apakah kita dalam kondisi berperang sehingga bunuh membunuh menjadi wajar?
Saya harus mengatakan: Negara abai dalam kasus ini.

Saat terbang ke arah barat, pesawat saya tiba-tiba harus transit ke Solo. Di kota yang damai ini lagi saya mendengar berita tidak mengenakkan: Seorang pesepakbola tewas karena tidak mampu berobat akibat gajinya tidak dibayar. Duh! Apalagi ini? Ini pesepakbola loh! Sekali lagi PESEPAKBOLA yang katanya hidup berkecukupan. Nyatanya rumah sakit, yang di Jepang ini menjadi penolong ketika sakit, di Indonesia menjadi pembunuh paling kejam bahkan lebih kejam dari urband legend macem Jason X atau bahkan tukang jagal macam Rian.
Sekali lagi: Negara dan PSSI menganggap kejadian itu sebagai business as usual.

Lewat Banten, meskipun cuma lewat doang tapi lumayan saya melihat rumah-rumah terbakar akibat kejadian penyerbuan ke Cikeusik. Masih inget dalam pikiran saya ketika video di youtube menayangkan massa dengan beringas membunuh tiga orang yang (katanya) berafiliasi dengan kaum minoritas dengan sangat keji (bahkan saking kejinya saya tidak mau mendeskripsikannya).
Terus sekarang kasus ini kelanjutannya gimana ya?

Perjalanan saya harus berakhir di Lampung Selatan, saat saya bertemu dua kampong yang bertikai tanpa ampun menghajar satu dengan yang lain. Ratusan orang memegang golok, sebagian menenteng bambu runcing dan beberapa siap dengan batu dan bensin. Ratusan orang mengungsi kehilangan tempat tinggal. Belasan orang tewas beberapa diantara mereka yang tewas memiliki anak dan istri yang entah akan hidup seperti apa kelak.

Dan presiden masih saja menjaga rambut dan gaya berdirinya agar tidak berantakan.
Saya kadang menertawakan diri saya dan juga Indonesia. Kok negara saya kok masih seperti ini ya?! Ratusan orang bunuh-bunuhan dan mereka (masyarakat) masih menganggap hal tersebut biasa. Ratusan kasus dilaporkan namun tidak ada kejelasan?! Kadang saya ngejek: katanya mau jadi negara maju di 2030 tapi mentalnya tidak mendukung sama sekali. Sama sekali.

Saya tidak membayangkan kejadian tersebut terjadi lagi, tidak juga negara kita menjadi negara tanpa pelanggaran HAM, karena hal itu tidak mungkin. Tapi yang saya bayangkan, sekaligus saya prihatinkan, adalah sikap kita sebagai masyarakat dan negara ini yang menganggap remeh semua kejadian itu. Wajar ada skeptisisme di dalam masyarakat kita: “Ini kok negara lain yang lagi menderita cepet banget ngebantunya, giliran kemarin tragedi Lampung atau Madura boro-boro dibantu, dibaca aja kagak!”

Eits, saya bukan bermaksud “Jangan membantu yang jauh” tapi hendaknya kita prihatin juga dengan kasus-kasus di dalam negeri. Jangan sampai kita hanya melihat headline tanpa “membacanya”. Jangan sampai Papua lepas hanya karena merasa sendirian atau jangan sampai ada orang beranggapan “Indonesia sudah tidak aman bagi kami!”
Kalau sudah ada yang seperti itu, maka pemimpin kita sudah berdosa dan mungkin kita juga berdosa.

Saya berikan ilustrasi: kemarin bek MU, Rio Ferdinand dilempar koin oleh fans tim Manc. City sehingga mengakibatkan pelipisnya berdarah. Reaksi masyarakat? Ramai-ramai mengutuk kejadian tersebut, bahkan dengan cepat proses hukum dan sangsi administratif menghukum tim Manchester City. Saya yakin, kalau sampai ke telinga ratu Inggris, fans yang bersangkutan bakal dihukum tidak boleh masuk stadion seumur hidup. Itu di Inggris. Sekali lagi di Inggris, dimana mereka tidak mengaku negara pancasila nor agamis.

Saya berharap di hari HAM ini, kita semua betul-betul meresapi arti seorang manusia, sebagai seorang ayah, ibu, suami, istri, anak ataupun kerabat dari orang-orang di sekeliling mereka. Jangan-jangan pemerintah kita abai karena refleksi dari masyarakatnya yang abai. Masyarakat yang sensitive ketika tren di sosial media meningkat, atau dengan kata lain masyarakat yang hanya ikut-ikutan tren tanpa tahu esensi hari HAM ini. Saya berharap kita semua bahu-membahu dan belajar nilai sebuah HAM dari masyarakat di tempat kita tinggal sekarang ini. Masyarakat atheis yang pemerintahnya masih bisa memanusiakan manusia.
Selamat hari HAM bagi yang merayakan.
Salam
Tim Kastrat PPI Jepang

disadur dari catatan laman Facebook PPI Jepang pada Selasa, 11 Desember 2012, 20:19, dengan beberapa perubahan. Untuk tautan tambahan, mungkin perlu membaca link berikut: (1) (2) (3).
Mohon ketiga tautan tersebut ditanggapi dengan bijak, bagi kebaikan Indonesia bersama.

2 komentar:

  1. Balasan
    1. Yang buat PBB, tanggalnya sendiri diambil dari tanggal sidang Majelis Umum PBB yang netapkan Deklarasi Universal HAM (Universal Declaration of Human Rights), 10 Desember 1948. Kalau baca asal mulanya sih, mulai diperingati tahun 1950.

      Hapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...