Sudah cukup lama berlalu sejak terakhir kali saya mencapai angka 2000 pengunjung untuk blog aneh ini, hingga saya kembali dan mendapati blog ini telah menembus angka 3000 pengunjung. Entah harus senang atau sedih, saya terharu pokoknya...*lupakan* Ehem, kembali ke topik. Setelah angka 2000 pengunjung ditembus pada Sabtu, 14 Januari 2012 lalu, kini angka 3000 pengunjung dicapai pada Selasa, 27 Maret 2012. Saya agak heran dengan cepatnya pertumbuhan angka pengunjung blog, yang saya yakini, sedikit lambatnya koneksi internet para pembaca turut berperan dalam melambungkan angka pengunjung blog secara cepat.
Siapkan dirimu, artikel selanjutnya (mungkin) akan segera terbit. Bersiaplah..
Lanjutkan baca »
Mencampurbaurkan persepsi. Menyelewengkan konsepsi. Mempertanyakan esensi. Menyelisihi konsesi.
Rabu, 28 Maret 2012
Article#46 - 3000 pengunjung....
Ditempatkan dalam koridor
Jejak
Kamis, 22 Maret 2012
Article#45 - Membahas Rencana Penyatuan Zona Waktu Indonesia
Awal Maret 2012 ini diwarnai isu hangat yang cukup berbeda dari isu-isu yang sebelumnya beredar di berbagai tajuk berita di Indonesia. Kalau biasanya berita-berita di televisi memuat kasus korupsi, kriminalitas, kisruh sepakbola yang tak kunjung kelar, penyuapan dan sejenisnya, kali ini sedikit berbeda. Topik yang sedikit lebih 'berkelas', tetapi juga 'dibahas pada waktu yang salah'. Yah, isu ini adalah mengenai seperti yang tertera pada judul,
Mengapa harus satu zona waktu?
Disini penulis akan kutip pendapat yang mendukung diberlakukannya zona waktu nasional ini. Seperti sedikit disinggung sebelumnya, orang yang mencuatkan ide ini kembali ke permukaan, Hatta Rajasa, mengatakan bahwa dengan disatukannya zona waktu di Indonesia, ekonomi Indonesia akan segera tumbuh hingga 20%. "Untungnya banyak, bisa menghemat triliunan, hemat energi dan lebih cepat kita terkonek dengan dunia luar dalam melakukan bisnis," kata Hatta di Kantornya, Jalan Lapangan Banteng, Jakarta, Senin (12/3/2012) sebagaimana dikutip detikFinance.com.
Bagaimana bisa? Hatta–dan juga beberapa pengusaha serta penasihat ekonomi lain–menilai bahwa dengan sistem zona 3 waktu sebagimana berlaku sekarang, ada sebuah inefisensi dalam transaksi antara pelaku ekonomi yang berdomisili di timur Indonesia dengan yang berdomisili di barat Indonesia. Juga, dikatakan bahwa akibat perbedaan zona waktu saat ini, angkatan kerja Indonesia tak bekerja pada saat yang sama, sehingga terjadi defisiensi produktivitas ekonomi negara. Jika sistem satu zona waktu diberlakukan, maka dikatakan seluruh angkatan kerja Indonesia akan bekerja pada waktu yang tepat sama (memang ada wacana penyeragaman jam kerja untuk semua daerah, mulai dari Sabang sampai Merauke), sehingga produktivitas ekonomi Indonesia akan naik (meskipun penulis sendiri juga sedikit heran akan penjelasan tersebut. Bagaimana mungkin bekerja bersama-sama–padahal masing-masing mengerjakan pekerjaan yang berbeda–dapat meningkatkan produktivitas skala nasional?).
Kemudian, karena perbedaan zona waktu antara Jakarta dan beberapa pangsa pasar utamanya–China, Malaysia, Singapura–dikatakan Indonesia setiap hari mengalami kerugian akibat 'kalah cepat'. Seperti kata Hatta, "Bayangkan, jam 7 pagi saya rapat, di Singapura sudah kerja. Kalau jam 8 pagi kita baru mulai kerja di Singapura sudah dapat profit (untung). Jadi kita tidak boleh kalah,". Hatta juga menambahkan bahwa dengan penyatuan zona waktu Indonesia ke WKI atau UT+8 akan meramaikan pasar saham regional di daerah ACFTA (Daerah Perdagangan Bebas China-ASEAN), sehingga keuntungan ekonomi yang lebih besar akan diperoleh Indonesia.
Memang, hampir semua keuntungan mengenai pemberlakuan sistem satu zona waktu ini dipandang dari sudut pandang ekonomi.
Mengapa tidak perlu satu zona waktu?
Kali ini, penulis ingin memandang dari sisi kontra, pihak yang tidak mendukung penyatuan zona waktu secara nasional. Sebagian pihak mengkritisi alasan Menko Perekonomian yang terkesan 'abstrak'. Seorang analis pasar modal independen, Yanuar Rizky, menilai bahwa rencana ini terkesan mengejar sesuatu yang tidak pasti, dan cenderung menyiratkan tujuan pilotis semata. Komentarnya sebagaimana dikutip neraca.co.id adalah sebagai berikut, “Apa yang mau dikejar? Nggak masuk akal. Kalau mau (penyatuan waktu) jangan tanggung-tanggung, ikuti waktu Amerika serikat (AS) dong. Dan juga saya melihatnya ini sama saja menyalahkan keadaan. Kan, pemerintah mengeluhkan ketidakefektifan waktu,".
Di lain pihak, Koordinator Nasional Laskar Hijau yang juga merupakan wakil sekretaris jenderal DPP Partai Bulan Bintang, Tumpal Daniel, menilai gagasan ini dihembuskan hanya untuk mengalihkan perhatian masyarakat dari ribut rencana kenaikan harga bahan bakar minyak, atau BBM, yang mulai menguat akhir-akhir ini. Apalagi, rencana penyatuan zona waktu ini dinilainya hanya akan membuang-buang energi bangsa, yang sebenarnya bisa diarahkan untuk melakukan hal yang lebih baik. Dan, senada dengan Yanuar Rizky, Daniel juga mengatakan bahwa pemerintah terkesan mengambinghitamkan terbaginya zona waktu atas inefektivitas ekonomi negara, yang menjadi dasar utama tercetusnya kembali ide ini.
Padahal, AS saja menggunakan enam zona waktu (dari UT-10, masing-masing terus hingga UT-5), dengan batas zona yang bahkan 'melanggar' yurisdiksi wilayah beberapa negara bagian, namun dalam banyak aspek Amerika memiliki ekonomi yang jauh lebih mapan dibanding Indonesia saat ini (terlepas dari fakta membengkaknya utang AS yang kini besarnya menyamai produk domestik bruto/PDB negara. Rusia bahkan memiliki 9 zona waktu (sebelumnya bahkan 11, hingga pada 28 Maret 2010 terjadi reduksi zona waktu), dan ekonominya juga cenderung lebih baik dari Indonesia. Jadi, menurut Daniel, adanya zona waktu bukanlah alasan atas inefektivitas perekonomian Indonesia. Situs rakyatmerdeka pun mencantumkan komentarnya, "Kemajuan suatu bangsa lebih disebabkan bagaimana tata kelola pemerintahan yang lebih akuntabel, terbuka, dan melibatkan partisipasi publik lebih besar,", yang artinya tidak ada hubungannya dengan sedikitnya zona waktu.
Lagipula, berbagai kalangan rakyat menilai penyatuan zona waktu akan memunculkan ketidaksesuaian antara waktu yang tertera pada jam dengan posisi matahari di langit. Padahal, jika ada sinkronitas antara kedua aspek tersebut, akan lebih mudah untuk aktivitas rakyat. Yang jadi masalah utama adalah betapa mendadaknya pemberitahuan bahwa rencana zona waktu ini (rencananya) akan dipatenkan per 17 Agustus 2012. Kurangnya sosialisasi dan penyiapan masyarakatlah yang membuat beberapa pihak meminta wacana ini ditinjau terlebih dahulu seluruh aspeknya, baik segi ekonomis maupun kultural.
Kemudian, ada juga masalah utama bagi wacana ini, yang berakar dari penyeragaman waktu kerja dan istirahat (sebagaimana telah disebutkan sebelumnya). Ditetapkannya jam istirahat yang serempak di seluruh Indonesia tentu akan membuat warga di wilayah barat Indonesia dan wilayah timur Indonesia (yang secara geografis waktunya berbeda sekitar 2 jam) akan memulai kerja pada jam yang relatif sama, sekitar 7.00 WKI. Artinya, masyarakat di barat, seperti di Aceh, akan mulai bekerja bahkan sejak sebelum matahari terbit. Hal ini dinilai akan membebani pekerja disana. Lalu, berkaitan dengan diseragamkannya waktu istirahat (disebutkan sekitar 12.00 hingga 13.00 WKI). Pada hari biasa mungkin ini tidak akan menjadi polemik yang dahsyat, tetapi masalah akan tiba pada hari Jum'at. Sebagai negara dengan jumlah penganut Islam terbesar di dunia, pekerja di Indonesia tentunya kebanyakan beragama Islam. Dan pada hari Jum'at, akan dilaksanakan sholat Jum'at yang diwajibkan bagi pria dewasa. Letak masalahnya adalah bahwa pelaksanaan sholat Jumat bergantung pada matahari. Jika pemerintah ngotot mempertahankan supaya waktu istirahat tetap serempak untuk semua daerah, sementara waktu pelaksanaan sholat Jum'at dapat bervariasi dari 11.00 WKI di timur hingga 13.30 WKI di barat, paling tidak pemerintah harus mengalokasikan waktu istirahat 3 jam, sejak pukul 11.00 hingga 14.00 WKI. Padahal dengan kebijakan ini, akan banyak waktu yang harusnya dapat digunakan untuk meningkatkan efisiensi bisnis, menjadi terbuang percuma. Jika waktu istirahat disesuaikan, justru itu akan merusak cita-cita utama dari WKI sendiri.
Jika diperhatikan, memang kerugian dari pemberlakuan sistem satu zona waktu ini banyak ditinjau dari sisi kehidupan sosial.
Apa kata rakyat?
Rakyat Indonesia terbagi dalam berbagai kelompok terkait masalah ini. Berikut akan ditampilkan beberapa pendapat mengenai wacana ini, baik yang pro maupun kontra, beserta komentar penulis (kalau ada). NB: disini penulis akan mencoba berkomentar dari sudut pandang lawan komentator.
Lanjutkan baca »
Wacana Penyatuan Zona Waktu Indonesia..Wacana mengenai penyatuan zona waktu ini sendiri sebenarnya sudah dimulai sejak 2003, namun entah mengapa baru sejak awal bulan inilah pemberitaan mengenai wacana tersebut merebak layaknya duren di musim duren. Inti dari wacana penyatuan zona waktu ini adalah untuk menggabungkan seluruh wilayah Indonesia, yang hingga saat naskah ini diketik memiliki 3 zona waktu, yaitu Waktu Indonesia Barat/WIB (UT+7), Waktu Indonesia Tengah/WITA (UT+8), dan Waktu Indonesia Timur/WIT (UT+9), menjadi sebuah zona waktu tunggal Waktu Kesatuan Indonesia/WKI, dengan acuan waktu WITA atau UT+8. Penyatuan zona waktu menjadi WKI ini juga sebenarnya menjadi langkah utama dalam pemberlakuan Waktu Bersama ASEAN (ASEAN Common Time/ACT), yang juga dipatok pada kisaran UT+8. Wacana penyatuan zona waktu ini diangkat kembali oleh degan pernyataan dari Menteri Koordinator Perekonomian Indonesia, Hatta Rajasa.
Mengapa harus satu zona waktu?
Disini penulis akan kutip pendapat yang mendukung diberlakukannya zona waktu nasional ini. Seperti sedikit disinggung sebelumnya, orang yang mencuatkan ide ini kembali ke permukaan, Hatta Rajasa, mengatakan bahwa dengan disatukannya zona waktu di Indonesia, ekonomi Indonesia akan segera tumbuh hingga 20%. "Untungnya banyak, bisa menghemat triliunan, hemat energi dan lebih cepat kita terkonek dengan dunia luar dalam melakukan bisnis," kata Hatta di Kantornya, Jalan Lapangan Banteng, Jakarta, Senin (12/3/2012) sebagaimana dikutip detikFinance.com.
Bagaimana bisa? Hatta–dan juga beberapa pengusaha serta penasihat ekonomi lain–menilai bahwa dengan sistem zona 3 waktu sebagimana berlaku sekarang, ada sebuah inefisensi dalam transaksi antara pelaku ekonomi yang berdomisili di timur Indonesia dengan yang berdomisili di barat Indonesia. Juga, dikatakan bahwa akibat perbedaan zona waktu saat ini, angkatan kerja Indonesia tak bekerja pada saat yang sama, sehingga terjadi defisiensi produktivitas ekonomi negara. Jika sistem satu zona waktu diberlakukan, maka dikatakan seluruh angkatan kerja Indonesia akan bekerja pada waktu yang tepat sama (memang ada wacana penyeragaman jam kerja untuk semua daerah, mulai dari Sabang sampai Merauke), sehingga produktivitas ekonomi Indonesia akan naik (meskipun penulis sendiri juga sedikit heran akan penjelasan tersebut. Bagaimana mungkin bekerja bersama-sama–padahal masing-masing mengerjakan pekerjaan yang berbeda–dapat meningkatkan produktivitas skala nasional?).
Kemudian, karena perbedaan zona waktu antara Jakarta dan beberapa pangsa pasar utamanya–China, Malaysia, Singapura–dikatakan Indonesia setiap hari mengalami kerugian akibat 'kalah cepat'. Seperti kata Hatta, "Bayangkan, jam 7 pagi saya rapat, di Singapura sudah kerja. Kalau jam 8 pagi kita baru mulai kerja di Singapura sudah dapat profit (untung). Jadi kita tidak boleh kalah,". Hatta juga menambahkan bahwa dengan penyatuan zona waktu Indonesia ke WKI atau UT+8 akan meramaikan pasar saham regional di daerah ACFTA (Daerah Perdagangan Bebas China-ASEAN), sehingga keuntungan ekonomi yang lebih besar akan diperoleh Indonesia.
Memang, hampir semua keuntungan mengenai pemberlakuan sistem satu zona waktu ini dipandang dari sudut pandang ekonomi.
Mengapa tidak perlu satu zona waktu?
Kali ini, penulis ingin memandang dari sisi kontra, pihak yang tidak mendukung penyatuan zona waktu secara nasional. Sebagian pihak mengkritisi alasan Menko Perekonomian yang terkesan 'abstrak'. Seorang analis pasar modal independen, Yanuar Rizky, menilai bahwa rencana ini terkesan mengejar sesuatu yang tidak pasti, dan cenderung menyiratkan tujuan pilotis semata. Komentarnya sebagaimana dikutip neraca.co.id adalah sebagai berikut, “Apa yang mau dikejar? Nggak masuk akal. Kalau mau (penyatuan waktu) jangan tanggung-tanggung, ikuti waktu Amerika serikat (AS) dong. Dan juga saya melihatnya ini sama saja menyalahkan keadaan. Kan, pemerintah mengeluhkan ketidakefektifan waktu,".
Di lain pihak, Koordinator Nasional Laskar Hijau yang juga merupakan wakil sekretaris jenderal DPP Partai Bulan Bintang, Tumpal Daniel, menilai gagasan ini dihembuskan hanya untuk mengalihkan perhatian masyarakat dari ribut rencana kenaikan harga bahan bakar minyak, atau BBM, yang mulai menguat akhir-akhir ini. Apalagi, rencana penyatuan zona waktu ini dinilainya hanya akan membuang-buang energi bangsa, yang sebenarnya bisa diarahkan untuk melakukan hal yang lebih baik. Dan, senada dengan Yanuar Rizky, Daniel juga mengatakan bahwa pemerintah terkesan mengambinghitamkan terbaginya zona waktu atas inefektivitas ekonomi negara, yang menjadi dasar utama tercetusnya kembali ide ini.
Padahal, AS saja menggunakan enam zona waktu (dari UT-10, masing-masing terus hingga UT-5), dengan batas zona yang bahkan 'melanggar' yurisdiksi wilayah beberapa negara bagian, namun dalam banyak aspek Amerika memiliki ekonomi yang jauh lebih mapan dibanding Indonesia saat ini (terlepas dari fakta membengkaknya utang AS yang kini besarnya menyamai produk domestik bruto/PDB negara. Rusia bahkan memiliki 9 zona waktu (sebelumnya bahkan 11, hingga pada 28 Maret 2010 terjadi reduksi zona waktu), dan ekonominya juga cenderung lebih baik dari Indonesia. Jadi, menurut Daniel, adanya zona waktu bukanlah alasan atas inefektivitas perekonomian Indonesia. Situs rakyatmerdeka pun mencantumkan komentarnya, "Kemajuan suatu bangsa lebih disebabkan bagaimana tata kelola pemerintahan yang lebih akuntabel, terbuka, dan melibatkan partisipasi publik lebih besar,", yang artinya tidak ada hubungannya dengan sedikitnya zona waktu.
Lagipula, berbagai kalangan rakyat menilai penyatuan zona waktu akan memunculkan ketidaksesuaian antara waktu yang tertera pada jam dengan posisi matahari di langit. Padahal, jika ada sinkronitas antara kedua aspek tersebut, akan lebih mudah untuk aktivitas rakyat. Yang jadi masalah utama adalah betapa mendadaknya pemberitahuan bahwa rencana zona waktu ini (rencananya) akan dipatenkan per 17 Agustus 2012. Kurangnya sosialisasi dan penyiapan masyarakatlah yang membuat beberapa pihak meminta wacana ini ditinjau terlebih dahulu seluruh aspeknya, baik segi ekonomis maupun kultural.
Kemudian, ada juga masalah utama bagi wacana ini, yang berakar dari penyeragaman waktu kerja dan istirahat (sebagaimana telah disebutkan sebelumnya). Ditetapkannya jam istirahat yang serempak di seluruh Indonesia tentu akan membuat warga di wilayah barat Indonesia dan wilayah timur Indonesia (yang secara geografis waktunya berbeda sekitar 2 jam) akan memulai kerja pada jam yang relatif sama, sekitar 7.00 WKI. Artinya, masyarakat di barat, seperti di Aceh, akan mulai bekerja bahkan sejak sebelum matahari terbit. Hal ini dinilai akan membebani pekerja disana. Lalu, berkaitan dengan diseragamkannya waktu istirahat (disebutkan sekitar 12.00 hingga 13.00 WKI). Pada hari biasa mungkin ini tidak akan menjadi polemik yang dahsyat, tetapi masalah akan tiba pada hari Jum'at. Sebagai negara dengan jumlah penganut Islam terbesar di dunia, pekerja di Indonesia tentunya kebanyakan beragama Islam. Dan pada hari Jum'at, akan dilaksanakan sholat Jum'at yang diwajibkan bagi pria dewasa. Letak masalahnya adalah bahwa pelaksanaan sholat Jumat bergantung pada matahari. Jika pemerintah ngotot mempertahankan supaya waktu istirahat tetap serempak untuk semua daerah, sementara waktu pelaksanaan sholat Jum'at dapat bervariasi dari 11.00 WKI di timur hingga 13.30 WKI di barat, paling tidak pemerintah harus mengalokasikan waktu istirahat 3 jam, sejak pukul 11.00 hingga 14.00 WKI. Padahal dengan kebijakan ini, akan banyak waktu yang harusnya dapat digunakan untuk meningkatkan efisiensi bisnis, menjadi terbuang percuma. Jika waktu istirahat disesuaikan, justru itu akan merusak cita-cita utama dari WKI sendiri.
Jika diperhatikan, memang kerugian dari pemberlakuan sistem satu zona waktu ini banyak ditinjau dari sisi kehidupan sosial.
Apa kata rakyat?
Rakyat Indonesia terbagi dalam berbagai kelompok terkait masalah ini. Berikut akan ditampilkan beberapa pendapat mengenai wacana ini, baik yang pro maupun kontra, beserta komentar penulis (kalau ada). NB: disini penulis akan mencoba berkomentar dari sudut pandang lawan komentator.
- Penyatuan zona waktu akan sangat membantu transaksi bisnis, dari segi tersedianya waktu lebih banyak untuk transaksi antara pengusaha di barat dan timur Indonesia, dan juga transaksi bursa saham untuk wilayah Asia Timur (Aspek lain, seperti sosial, budaya dan agama juga harus diperhatikan, jangan hanya demi keuntungan semata)
- Boleh saja zona waktu disatukan, asal terbukti bermanfaat (Nah, ini dia masalah utama. Bayangkan setelah koor Hatta Rajasa mengenai kemungkinan tumbuhnya ekonomi hingga 20 persen, sistem satu zona waktu diberlakukan pada 17 Agustus 2012. Jutaan surat, alat elektronik, media cetak, bahkan hingga plang-plang iklan atau plang jam buka di seluruh Indonesia harus diganti untuk disesuaikan dengan waktu tunggal yang berlaku. Proses administrasi macam ini saja akan menghabiskan dana bermilyar-milyar. Bayangkan jika ternyata hasil yang didapat lebih buruk dari yang semula dikoar-koarkan. Protes akan menggema, dan pasar saham Indonesia pun akan jatuh. Alih-alih pertumbuhan ekonomi pesat, yang terjadi malah keruntuhan finansial. Kalau begitu, mau berbuat apa pak? Lebih baik ditinjau dahulu.)
- Waktu Indonesia jadi sama dengan Singapura dan China, sehingga bursa saham akan lebih menggeliat (Tidak jauh berbeda dengan komentar pertama, jangan lupa periksa konsekuensinya dari aspek sosial, budaya dan agama)
- Waktu kita jadi sama dengan negara maju Singapura dan China (Ayolah saudara, masih mau membebek rupanya? Memang dengan mengikuti Singapura dan China, lantas Indonesia begitu saja akan maju? Ingat kata Robert Kiyosaki, untuk menjadi orang yang berhasil, yang harus diubah bukanlah apa yang kau lakukan, tetapi cara berpikirmulah yang seharusnya diubah. Apakah seorang pelajar malas akan menjadi rajin dengan terus-menerus membaca buku? Tidak, yang harus ia lakukan adalah mengubah pola pikirnya supaya menjadi orang yang rajin.)
- Memang sudah seharusnya zona waktu diubah (Orang seperti inilah yang akan hanyut terbawa derasnya arus zaman. Aktiflah dalam menentukan jalan hidupmu, jangan hanya berserah diri atas komentar dan pendapat orang lain.)
- Selesaikan dulu persoalan korupsi, macet, baru urus zona waktu (Kalau begitu, mulailah bertindak. Jangan hanya berkoar-koar belaka. Percuma berkoar-koar kalau tidak dilaksanakan. Kau dapat memulai dari dirimu sendiri, dan tularkan pola pikir yang baik pada orang di sekitarmu. Sebuah langkah kecil tak pernah sia-sia, kau tahu.)
- Sesuaikan dengan waktu yang sebenarnya saja (Kalau memang akan lebih baik dengan satu zona waktu, kenapa keukeuh mempertahankan tiga? Konservatif hanya perlu untuk pelestarian alam, bukan untuk peratuan atau bahkan pola pikir.)
- Nanti akan muncul kekacauan dalam waktu sholat (Pendapat ini tidak berdasar. Waktu sholat selalu mengacu pada posisi matahari, dan jika zona waktu diubah, hanya akan berdampak pada waktu sholat yang menjadi beberapa jam lebih cepat atau lambat. Yang akan kacau hanyalah masyarakat yang tidak terbiasa.)
Ditempatkan dalam koridor
Tanggap
Jumat, 16 Maret 2012
Article#44 - Quote for Today
"The idea of having to conform to someone else's ideal is unacceptable. I'm gonna be me. And if I can't be me, then I'd rather not do it."~quoted from Lenny Kravitz (b. 1964), at Thursday, March 8th, 2012, 23:06 (UT+7)
Ditempatkan dalam koridor
Antarabangsa,
Kutip
Selasa, 13 Maret 2012
Article#43 - Just read...Part.7
Kali ini tidak menceritakan lanjutan cerita..
Anton Bohdan Chekhov. Itulah nama yang dihibahkan kedua orangtua yang baru saja bersukacita atas kelahiran anak kedua mereka tersebut, di siang hari yang berawan di Jakarta, Indonesia, tanggal 13 Juni 1997. Kedua orangtua Anton yang gila membaca, membelikan Anton kecil yang masih berusia 3 tahun setumpuk buku bacaan, mulai dari ensiklopedia, novel, hingga karya sastra yang lazimnya dibaca oleh orang berusia 20 tahunan. Topiknya 'berat' pula. Dapat dibayangkan, sebagai anak yang mampu berbicara sejak usia 14 bulan, dan lancar membaca sejak usia 2 tahun, tumbuh bersama setumpuk buku membuat pengetahuan Anton berkembang amat luas.
Ironisnya, anugerah itu menagih imbalan besar: masa kanak-kanak yang umumnya dihabiskan dengan bermain bersama teman-teman sesama anak-anak. Tentu saja, menghabiskan usia emas dengan membaca buku terus-menerus membuat Anton kecil tidak punya waktu untuk bermain.
Semula orangtuanya tak mempermasalahkan sedikitnya waktu yang dihabiskan Anton untuk bermain bersama teman sebayanya. 'Sudahlah, Anton anak yang pintar, aku tidak perlu khawatir tentangnya', begitulah yang selama ini dipikirkan orangtuanya. Namun, sejak masuk SD, barulah mereka tersadar akan sesuatu yang 'salah' dalam diri Anton. Anton yang sebelumnya terbiasa belajar dengan membaca buku, kini 'dipaksa' duduk di kelas, mendengarkan seseorang yang tak ia kenal menyuruhnya melakukan hal yang tak ia sukai, dan dikelilingi oleh 'makhluk berisik nan kurang ajar yang hanya bisa berteriak dan berlari-larian kesana kemari'.
Anton tumbuh di SDnya sebagai seorang anak sinis yang menganggap anak-anak beserta rekan-rekan sekelasnya sebagai sesuatu yang tidak layak untuk menyita perhatiannya. Ia selalu menolak jika ada tugas kelompok, dan ia tidak pernah berbicara sedikitpun dengan teman sekelasnya. Kesinisannya bertambah sejak teman-teman sekelasnya, yang berusaha membuat Anton berkomunikasi dengan mereka, mulai memanggil Anton dengan julukan 'Kecap', merujuk pada inisialnya. Tetapi, dengan sikap sinis yang telanjur meresap sebegitu kuat, Anotn justru makin menjauh dari teman sekelasnya.
Akibat sikap sinisnya, guru sekolahnya pun memanggil orangtua Anton terkait masalah ini. Orangtua Anton, yang tak pernah mencemaskan apapun mengenai Anton, apalagi karena Anton selalu menjadi juara kelas, dan tak pernah terlihat bermasalah (karena ia memang tak peduli dengan sikap guru dan teman sekelas terhadapnya), tiba-tiba tersadar akan masalah interaksi sosial kronis yang dialami Anton. Semenjak pelaporan itu, ornagtuanya terus memaksanya untuk bersosialisasi dengan rekannya. Namun, Anton tak pernah suka bersosialisasi dengan orang yang tak bisa mengikuti arah pembicaraannya. Pembicaraan mengenai kartun atau mainan terbaru tak pernah menarik bagi Anton. Yang menarik minatnya justru berita seputar perburuan teroris, penemuan benda baru, dan serangkaian hal lain yang umumnya tak pernah dipedulikan oleh anak seusianya.
Memasuki paruh akhir kehidupan SDnya, Anton mulai mencoba membuka diri dengan mulai mengobrol dengan teman sekelasnya. Namun, seseorang dengan pengalaman sosialisasi nyaris nol besar di kelas 5 SD tentunya akan sulit menyampaikan maksudnya dengan baik. Makin ia mencoba mengobrol dengan teman sekelasnya, makin sering ia diejek, entah autis, gila, aneh, atau sejenisnya. Bagian jiwanya yang berusaha bersosialisasi mengalami pergulatan hebat dengan bagian jiwanya yang ingin menghajar anak-anak yang mengejeknya hingga ia puas, berujung pada sikapnya yang temperamen dan kasar kepada semua orang. Dan sekali lagi, orangtuanya pun harus berurusan dengan guru di sekolahnya terkait sikap Anton itu.
Sejak ejekan datang bertubi-tubi, Anton berusaha untuk melupakan ejekan itu dengan bermain game. Ia tak punya teman di sekolah, secara praktis tidak ada yang ia anggap sebagai teman, sehingga ia terpaksa meminta game pada sepupunya yang datang dua bulan sekali ke rumah. Sejak itu, Anton berubah menjadi seorang gamer, dan sepertinya ia kecanduan akan game-game itu, yang bisa membuatnya melupakan semua ejekan bertubi-tubi yang dialaminya.
Memasuki SMP, Anton makin dalam terbenam dalam permainan. Kondisi sosialnya sudah lebih baik, ia sudah mau mengobrol dengan teman-temannya, namun ia belum merasa puas jika belum bermain untuk minimal 1 atau 2 jam. Anton yang ada dalam cerita ini adalah Anton yang sedang mencoba menemukan jati dirinya, dan ia baru saja memulai cerita sosial yang lebih baik dengan teman sekolahnya ketika cerita ini dimulai. Dan, dari sini, sebuah babak baru kehidupan seorang Anton akan berubah total.
~bersambung
(:g)
Lanjutkan baca »
Anton Bohdan Chekhov. Itulah nama yang dihibahkan kedua orangtua yang baru saja bersukacita atas kelahiran anak kedua mereka tersebut, di siang hari yang berawan di Jakarta, Indonesia, tanggal 13 Juni 1997. Kedua orangtua Anton yang gila membaca, membelikan Anton kecil yang masih berusia 3 tahun setumpuk buku bacaan, mulai dari ensiklopedia, novel, hingga karya sastra yang lazimnya dibaca oleh orang berusia 20 tahunan. Topiknya 'berat' pula. Dapat dibayangkan, sebagai anak yang mampu berbicara sejak usia 14 bulan, dan lancar membaca sejak usia 2 tahun, tumbuh bersama setumpuk buku membuat pengetahuan Anton berkembang amat luas.
Ironisnya, anugerah itu menagih imbalan besar: masa kanak-kanak yang umumnya dihabiskan dengan bermain bersama teman-teman sesama anak-anak. Tentu saja, menghabiskan usia emas dengan membaca buku terus-menerus membuat Anton kecil tidak punya waktu untuk bermain.
Semula orangtuanya tak mempermasalahkan sedikitnya waktu yang dihabiskan Anton untuk bermain bersama teman sebayanya. 'Sudahlah, Anton anak yang pintar, aku tidak perlu khawatir tentangnya', begitulah yang selama ini dipikirkan orangtuanya. Namun, sejak masuk SD, barulah mereka tersadar akan sesuatu yang 'salah' dalam diri Anton. Anton yang sebelumnya terbiasa belajar dengan membaca buku, kini 'dipaksa' duduk di kelas, mendengarkan seseorang yang tak ia kenal menyuruhnya melakukan hal yang tak ia sukai, dan dikelilingi oleh 'makhluk berisik nan kurang ajar yang hanya bisa berteriak dan berlari-larian kesana kemari'.
Anton tumbuh di SDnya sebagai seorang anak sinis yang menganggap anak-anak beserta rekan-rekan sekelasnya sebagai sesuatu yang tidak layak untuk menyita perhatiannya. Ia selalu menolak jika ada tugas kelompok, dan ia tidak pernah berbicara sedikitpun dengan teman sekelasnya. Kesinisannya bertambah sejak teman-teman sekelasnya, yang berusaha membuat Anton berkomunikasi dengan mereka, mulai memanggil Anton dengan julukan 'Kecap', merujuk pada inisialnya. Tetapi, dengan sikap sinis yang telanjur meresap sebegitu kuat, Anotn justru makin menjauh dari teman sekelasnya.
Akibat sikap sinisnya, guru sekolahnya pun memanggil orangtua Anton terkait masalah ini. Orangtua Anton, yang tak pernah mencemaskan apapun mengenai Anton, apalagi karena Anton selalu menjadi juara kelas, dan tak pernah terlihat bermasalah (karena ia memang tak peduli dengan sikap guru dan teman sekelas terhadapnya), tiba-tiba tersadar akan masalah interaksi sosial kronis yang dialami Anton. Semenjak pelaporan itu, ornagtuanya terus memaksanya untuk bersosialisasi dengan rekannya. Namun, Anton tak pernah suka bersosialisasi dengan orang yang tak bisa mengikuti arah pembicaraannya. Pembicaraan mengenai kartun atau mainan terbaru tak pernah menarik bagi Anton. Yang menarik minatnya justru berita seputar perburuan teroris, penemuan benda baru, dan serangkaian hal lain yang umumnya tak pernah dipedulikan oleh anak seusianya.
Memasuki paruh akhir kehidupan SDnya, Anton mulai mencoba membuka diri dengan mulai mengobrol dengan teman sekelasnya. Namun, seseorang dengan pengalaman sosialisasi nyaris nol besar di kelas 5 SD tentunya akan sulit menyampaikan maksudnya dengan baik. Makin ia mencoba mengobrol dengan teman sekelasnya, makin sering ia diejek, entah autis, gila, aneh, atau sejenisnya. Bagian jiwanya yang berusaha bersosialisasi mengalami pergulatan hebat dengan bagian jiwanya yang ingin menghajar anak-anak yang mengejeknya hingga ia puas, berujung pada sikapnya yang temperamen dan kasar kepada semua orang. Dan sekali lagi, orangtuanya pun harus berurusan dengan guru di sekolahnya terkait sikap Anton itu.
Sejak ejekan datang bertubi-tubi, Anton berusaha untuk melupakan ejekan itu dengan bermain game. Ia tak punya teman di sekolah, secara praktis tidak ada yang ia anggap sebagai teman, sehingga ia terpaksa meminta game pada sepupunya yang datang dua bulan sekali ke rumah. Sejak itu, Anton berubah menjadi seorang gamer, dan sepertinya ia kecanduan akan game-game itu, yang bisa membuatnya melupakan semua ejekan bertubi-tubi yang dialaminya.
Memasuki SMP, Anton makin dalam terbenam dalam permainan. Kondisi sosialnya sudah lebih baik, ia sudah mau mengobrol dengan teman-temannya, namun ia belum merasa puas jika belum bermain untuk minimal 1 atau 2 jam. Anton yang ada dalam cerita ini adalah Anton yang sedang mencoba menemukan jati dirinya, dan ia baru saja memulai cerita sosial yang lebih baik dengan teman sekolahnya ketika cerita ini dimulai. Dan, dari sini, sebuah babak baru kehidupan seorang Anton akan berubah total.
~bersambung
(:g)
Rabu, 07 Maret 2012
Article#42 - When Quotes Gone Wrong....(Compilation)
Setelah beberapa lama berkutat dengan kutipan kata-kata bijak yang saya kutip dari mana-mana, waktunya untuk menampilkan kutipan-kutipan yang sedikit aneh nan nyeleneh. Berikut mereka,
Mungkin cukup ini saja untuk kali ini. Nantikan cerita maupun artikel selanjutnya, nanti..
Lanjutkan baca »
Mungkin cukup ini saja untuk kali ini. Nantikan cerita maupun artikel selanjutnya, nanti..
Ditempatkan dalam koridor
Gurau
Senin, 05 Maret 2012
Article#41 - Quote for Today.. Wait..WHAAT?!
Well, just let the picture tell the words.
Oh, not that one. Sorry.
~quoted from 9GAG, Tuesday, February 28th, 2012, 21.35 (UTC+7)
Well, I think I've made my point. Just wait for the next posts..
Lanjutkan baca »
W..WHAAATTTT??!?! |
Yeah, this one. |
Well, I think I've made my point. Just wait for the next posts..
Ditempatkan dalam koridor
Antarabangsa,
Kutip
Langganan:
Postingan (Atom)