Kali ini tidak menceritakan lanjutan cerita..
Anton Bohdan Chekhov. Itulah nama yang dihibahkan kedua orangtua yang baru saja bersukacita atas kelahiran anak kedua mereka tersebut, di siang hari yang berawan di Jakarta, Indonesia, tanggal 13 Juni 1997. Kedua orangtua Anton yang gila membaca, membelikan Anton kecil yang masih berusia 3 tahun setumpuk buku bacaan, mulai dari ensiklopedia, novel, hingga karya sastra yang lazimnya dibaca oleh orang berusia 20 tahunan. Topiknya 'berat' pula. Dapat dibayangkan, sebagai anak yang mampu berbicara sejak usia 14 bulan, dan lancar membaca sejak usia 2 tahun, tumbuh bersama setumpuk buku membuat pengetahuan Anton berkembang amat luas.
Ironisnya, anugerah itu menagih imbalan besar: masa kanak-kanak yang umumnya dihabiskan dengan bermain bersama teman-teman sesama anak-anak. Tentu saja, menghabiskan usia emas dengan membaca buku terus-menerus membuat Anton kecil tidak punya waktu untuk bermain.
Semula orangtuanya tak mempermasalahkan sedikitnya waktu yang dihabiskan Anton untuk bermain bersama teman sebayanya. 'Sudahlah, Anton anak yang pintar, aku tidak perlu khawatir tentangnya', begitulah yang selama ini dipikirkan orangtuanya. Namun, sejak masuk SD, barulah mereka tersadar akan sesuatu yang 'salah' dalam diri Anton. Anton yang sebelumnya terbiasa belajar dengan membaca buku, kini 'dipaksa' duduk di kelas, mendengarkan seseorang yang tak ia kenal menyuruhnya melakukan hal yang tak ia sukai, dan dikelilingi oleh 'makhluk berisik nan kurang ajar yang hanya bisa berteriak dan berlari-larian kesana kemari'.
Anton tumbuh di SDnya sebagai seorang anak sinis yang menganggap anak-anak beserta rekan-rekan sekelasnya sebagai sesuatu yang tidak layak untuk menyita perhatiannya. Ia selalu menolak jika ada tugas kelompok, dan ia tidak pernah berbicara sedikitpun dengan teman sekelasnya. Kesinisannya bertambah sejak teman-teman sekelasnya, yang berusaha membuat Anton berkomunikasi dengan mereka, mulai memanggil Anton dengan julukan 'Kecap', merujuk pada inisialnya. Tetapi, dengan sikap sinis yang telanjur meresap sebegitu kuat, Anotn justru makin menjauh dari teman sekelasnya.
Akibat sikap sinisnya, guru sekolahnya pun memanggil orangtua Anton terkait masalah ini. Orangtua Anton, yang tak pernah mencemaskan apapun mengenai Anton, apalagi karena Anton selalu menjadi juara kelas, dan tak pernah terlihat bermasalah (karena ia memang tak peduli dengan sikap guru dan teman sekelas terhadapnya), tiba-tiba tersadar akan masalah interaksi sosial kronis yang dialami Anton. Semenjak pelaporan itu, ornagtuanya terus memaksanya untuk bersosialisasi dengan rekannya. Namun, Anton tak pernah suka bersosialisasi dengan orang yang tak bisa mengikuti arah pembicaraannya. Pembicaraan mengenai kartun atau mainan terbaru tak pernah menarik bagi Anton. Yang menarik minatnya justru berita seputar perburuan teroris, penemuan benda baru, dan serangkaian hal lain yang umumnya tak pernah dipedulikan oleh anak seusianya.
Memasuki paruh akhir kehidupan SDnya, Anton mulai mencoba membuka diri dengan mulai mengobrol dengan teman sekelasnya. Namun, seseorang dengan pengalaman sosialisasi nyaris nol besar di kelas 5 SD tentunya akan sulit menyampaikan maksudnya dengan baik. Makin ia mencoba mengobrol dengan teman sekelasnya, makin sering ia diejek, entah autis, gila, aneh, atau sejenisnya. Bagian jiwanya yang berusaha bersosialisasi mengalami pergulatan hebat dengan bagian jiwanya yang ingin menghajar anak-anak yang mengejeknya hingga ia puas, berujung pada sikapnya yang temperamen dan kasar kepada semua orang. Dan sekali lagi, orangtuanya pun harus berurusan dengan guru di sekolahnya terkait sikap Anton itu.
Sejak ejekan datang bertubi-tubi, Anton berusaha untuk melupakan ejekan itu dengan bermain game. Ia tak punya teman di sekolah, secara praktis tidak ada yang ia anggap sebagai teman, sehingga ia terpaksa meminta game pada sepupunya yang datang dua bulan sekali ke rumah. Sejak itu, Anton berubah menjadi seorang gamer, dan sepertinya ia kecanduan akan game-game itu, yang bisa membuatnya melupakan semua ejekan bertubi-tubi yang dialaminya.
Memasuki SMP, Anton makin dalam terbenam dalam permainan. Kondisi sosialnya sudah lebih baik, ia sudah mau mengobrol dengan teman-temannya, namun ia belum merasa puas jika belum bermain untuk minimal 1 atau 2 jam. Anton yang ada dalam cerita ini adalah Anton yang sedang mencoba menemukan jati dirinya, dan ia baru saja memulai cerita sosial yang lebih baik dengan teman sekolahnya ketika cerita ini dimulai. Dan, dari sini, sebuah babak baru kehidupan seorang Anton akan berubah total.
~bersambung
(:g)
Makasih tulisannya Gan
BalasHapus