Jumat, 31 Januari 2014

Article#260 - Di Atas Runtuhan Kota Melaka




Di atas runtuhan Melaka lama

Penyair termenung seorang diri
Ingat Melayu kala jayanya
Pusat kebesaran nenek bahari

Di atas munggu yang ketinggian
Penyair duduk termenung seorang
Jauh pandangku ke pantai sana
Ombak memecah di atas karang

Awan berarak mentilau bernyanyi
Murai berkicau bayu merayu
Kenang melayang ke alam sunyi
Teringat zaman yang lama lalu

Sunyi dan sepi, hening dan lingau
Melambai sukma melenyai tulang
Arwah Hang Tuah rasa menghimbau
Menyeru umat tunduk ke Tuhan

Di sini dahulu alat kebesaran
Adat resam teguh berdiri
Duduk semayam Yang Dipertuan
Melimpahkan hukum segenap negeri

Di sini dahulu Laksamana Hang Tuah
Satria moyang Melayu jati
Jaya perkasa, gagah dan mewah
‘Tidak Melayu hilang di bumi’

Di sini dahulu payung terkembang
Megah Bendahara Seri Maharaja
Bendahara yang cerdik tumpuan dagang
Lubuk budi laut bicara

Penyair menghadap ke laut lepas
Selat Melaka tenang terbentang
Awan berarak riak menghempas
Mentari turun rembanglah petang

Wahai tuan Selat Melaka
Mengapa tuan berdiam diri?
Tidakkah tahu untung hamba
Hamba musafir datang ke mari

Di mana Daulat Yang Dipertuan
Mana Hang Tuah, mana Hang Jebat
Mana Bendahara johan pahlawan
Bukankah jelas di dalam babad

Namanya tetap jadi sebutan
Bekasnya hilang payah mencari
Sedikit penyair bertemu kesan
Musnah dalam gulungan hari

Mengapa ini bekas yang tinggal
Umat yang lemah terkatung-katung
Hidup menumpang tanah terjual
Larat wahai larat dipukul untung

Adakah ini bekas peninggalan
Belahan diriku umat Melayu
Lemah dan lungai tiada karuan
Laksana bunga terkulai layu

Jauh di darat penyair melihat
Gunung Ledang duduk termangu
Tinggi menjulang hijau dan dahsyat
Hiasan hikayat nenekku dahulu

Di dalam kuasyik merenung gunung
Di dalam kemilau panas kan petang
Tengah khayal dirundung menung
Rasanya ada orang yang datang

Penyair hanya duduk sendiri
Tapi keliling rasanya ramai
Bulu romaku rasa berdiri
Berubah warna alam yang permai

Ada rasanya bisikan sayu
Hembusan angin di Gunung Ledang
Entah puteri datang merayu
Padahal beta bukan meminang

Bukanlah hamba Sultan Melaka
Jambatan emas tak ada padaku
Kekayaanku hanya syair seloka
Hanya nyanyian untuk bangsaku

Justeru terdengar puteri berkata
Suaranya halus masuk ke sukma
Maksudmu tuan sudahlah nyata
Hendak mengenang riwayat yang lama

Bukan kuminta jambatan emas
Tapi nasihat hendak kuberi
Kenang-kenangan zaman yang lepas
Iktibar cucu kemudian hari

Sebelum engkau mengambil simpulan
Sebelum Portugis engkau kutuki
Inggeris Belanda engkau cemarkan
Ketahui dahulu salah sendiri

Sultan Mahmud Shah mula pertama
Meminang diriku ke Gunung Ledang
Segala pintaku baginda terima
Darah semangkuk takut menuang

Adakan cita akan tercapai
Adakan hasil yang diingini
Jika berbalik sebelum sampai
Mengorbankan darah tiada berani

Apalah daya Datuk Bendahara
Jikalau Sultan hanya tualang
Memikir diri seorang sahaja
Tidak mengingat rakyat yang malang

Sultan Ahmad Shah apalah akalnya
Walaupun baginda inginkan syahid
Mualim Makhdum lemah imannya
‘Di sini bukan tempat Tauhid’

Bendahara Tua Paduka Raja
Walaupun ingin mati berjuang
Bersama hilang dengan Melaka
Anak cucunya hendak lari pulang

Berapa pula penjual negeri
Mengharap emas perak bertimba
Untuk keuntungan diri sendiri
Biarlah bangsa menjadi hamba

Ini sebabnya umat akan jatuh
Baik dahulu atau sekarang
Inilah sebab kakinya lumpuh
Menjadi budak belian orang

Sakitnya bangsa bukan di luar
Tetapi terhunjam di dalam nyawa
Walau diubat walau ditawar
Semangat hancur apalah daya

Janjian Tuhan sudah tajalli
Mulialah umat yang teguh iman
Allah tak pernah mungkirkan janji
Tarikh riwayat jadi pedoman

Tidaklah Allah mengubah untung
Suatu kaum dalam dunia
Jika hanya duduk terkatung
Berpeluk lutut berputus asa

Malang dan mujur nasibnya bangsa
Turun dan naik silih berganti
Terhenyak lemah naik perkasa
Bergantung atas usaha sendiri

Riwayat yang lama tutuplah sudah
Apalah guna lama terharu
Baik berhenti bermenung gundah
Sekarang dibuka lembaran baru

Habis sudah madahnya puteri
Ia pun ghaib capal pun hilang
Tinggal penyair seorang diri
Di hadapan cahaya jelas membentang

Pantai Melaka kulihat riang
Nampaklah ombak kejar-mengejar
Bangunlah Tuan belahanku sayang
Seluruh Timur sudahlah besar

Bercermin pada sejarah moyang
Kita sekarang mengubah nasib
Di zaman susah atau pun riang
Tolong tetap dari Yang Ghaib

Bangunlah kasih, umat Melayu
Belahan asal satu turunan
Bercampur darah dari dahulu
Persamaan nasib jadi kenangan

Semangat yang lemah dibuang jauh
Jiwa yang kecil kita besarkan
Yakin percaya, iman pun teguh
Zaman hadapan, penuh harapan

Bukanlah kecil golongan tuan
Tujuh puluh juta Indonesia
Bukan sedikit kita berteman
Sudahlah bangun bumi Asia

Kutarik nafas, kukumpul ingatan
Aku pun tegak dari renungku
Jalan yang jauh aku teruskan
Melukis riwayat sifat hidupku

Kota Melaka tinggallah sayang
Beta nak balik ke Pulau Percha
Walau terpisah engkau sekarang
Lambat launnya kembali pula
Walaupun luas watan terbentang
Danau Maninjau terkenang jua

Puisi karya Haji Abdul Malik Karim Amrullah "Hamka" (1908-1981), sastrawan Indonesia, sekaligus ulama, ahli filsafat, dan aktivis politik.
Dikutip pada Jumat, 31 Januari 2014, 18:31 (UT+9).
sumber gambar
Lanjutkan baca »

Rabu, 29 Januari 2014

Article#259 - Kaleidoskop

(lanjutan dari edisi sebelumnya)
....
"Kenapa ya, orang bijak identik dengan tua?"
Sebersit pertanyaan yang selalu menyempatkan diri untuk muncul tiap kali penulis mendengar cerita mengenai orang bijak. Pemahaman yang mungkin terbersit juga dalam pemikiran beberapa orang lain. Jika diminta untuk membayangkan sejenak, seperti apa kenampakan seorang bijak, maka pikiran banyak dari kita akan secara otomatis mengasosiasikannya dengan salah satu atau kombinasi dari beberapa gambaran berikut.

Mungkin, sosok yang akan terbayang adalah seorang tua dengan kostumnya yang sederhana. Segala langkahnya yang seksama, selalu awas akan apa yang mungkin menghadang. Pandangan matanya menatap lamat-lamat akan warna dunia, tenang nan menghanyutkan. Kata-katanya disampaikan dalam nada yang dalam, menghantar sampai lubuk hati terdalam. Tempat hidupnya, sebuah desa yang tenang, sejuk nan asri, memberikan suasana yang demikian memadai bagi pemikiran bijak untuk tumbuh subur dan berkembang biak.
....
....
Hah, entahlah. Pada akhirnya daftar diatas bisa diteruskan tanpa henti. Tetapi, sejauh yang penulis amati, dimanapun mencari, bagaimanapun meneliti, hampir semua orang kompak dalam membahas masalah ini. Terlepas dari perbedaan latar cerita, alur cerita, ataupun tokoh cerita. Ketika sudah hadir tokoh "orang bijak" dalam cerita, ia nyaris selalu digambarkan dalam citra senada: "tua".

*****

sumber


There'll come a time, yes I know. 
There'll come a time when I looked back and regret what is gone.
I looked back and regret what is gone.
....There'll come? Or there had come?

Awal dari tercetusnya tulisan ini ikut dipacu oleh beberapa rekan sesama penulis yang juga menuangkan sekian banyak rangkaian kata. Agaknya banyaknya kejadian yang bernaung di sekitar benak penulis kali ini, ikut mendorong jari-jemari. Untuk sekali lagi, berdansa, berloncatan dengan lincah pada lingkup papan kunci. Bahkan, tak hanya jemari yang dengan indah berloncatan, benak pikiran juga demikian gesitnya berseliweran. 
Berseliweran, bertabrakan, dan bepergian. Seringkali tanpa mohon perizinan.

Mereka semua pergi, menyambangi memori yang arsipnya tersimpan sebagai elegi. Elegi yang menangis, meratapi masa lalu yang takkan sudi kembali. Sebuah masa yang bukti keberadaannya hanya bisa ditemukan, oleh mereka yang menyigi berlembar-lembar naskah yang terhampar, luas di dalamnya. Mungkin didalamnya mereka temukan kenangan cerah berwarna, yang bersamanya kita tertawa. Mungkin pula, didalamnya mereka temukan lembar memori hitam-putih, yang warnanya telah lama pudar oleh perih. 

Kita semua telah berkubang dalam hidup di tengah dunia kebrengsekan. Dunia dengan segala macam corak polanya, porak-porandanya, sorak dahaganya. Dunia dimana berbagai macam hal bisa ditertawakan oleh apa-apa yang dimusuhinya, dan ditangisi oleh apa-apa yang dikasihinya.
Di dunia inilah, kita-kita, para jiwa-jiwa yang tersebar tanpa tahu menahu jalan tujuan, mengais keping cerita untuk disusun sebagai kesatuan naskah perjalanan. Sejarah telah mencatat, tak terbilang juntaian cerita yang terpautkan, antar satu-dua jiwa dengan entah kaitan yang mana.

Dalam masing-masing juntai cerita ini, terselip demikian banyak jurai-jurai kata yang sempat tertuturkan. Entah yang dipikirkan masak-masak, atau yang diutarakan tanpa sempat terayak. Ada juga yang lain, sisa bersitan dari apa-apa yang sempat terbayang dari sebuah perlakuan. Entah apa-apa yang hanya tersimpan dalam perasaan, atau bersama kawan-kawan dipertanyakan.

Jiwa-jiwa yang tersasar itu, mereka makin banyak mengumpulkan keping-keping, menata sebuah gambaran abstrak yang dengan bangga mereka usung sebagai karya. Ada yang menempatkan karyanya bersama sebingkai pigura, melindungi karya besarnya dengan penuh cita dan cinta. Ada yang menyulam keping-keping itu menjadi satu, dikaitkan dengan juntai luar biasa ruwet yang ia pintal, jalin dan tuai dalam sekian lama. Ada yang memilih untuk menempelkan keping-keping itu, bersatu bersama selembar kertas, dihias dengan manik-manik, sebagai bumbu yang berkilau cerah. 
....
Dan waktu terus berjalan. 
Kita terus bertemu, berjalan bersisian, atau bertolak pinggang. Ada dari kita yang terus membiarkan karya berkembang, ada yang membiarkannya duduk tenang. Kita semua, bersatu dalam sebuah biosfera rumit yang pengaruhnya saling menjalar, menebar serbuk persemaian. 
Dan ada aku, salah satunya.
Aku yang karyanya bercorak abstraksi ketidakjelasan.
Aku yang senantiasa berkecamuk dalam distraksi dan ketaktentuan.

Tak apa, teruslah berjuang, teruslah berkarya, begitu kata-kata seorang tua bijak yang dalam suatu waktu begitu rajin bersemayam di benakku. Iya, tua, dan bijak.
Mungkin seorang bijak identik dengan orang tua, karena diantara sekian banyak jiwa-jiwa yang mengais keping membangun karya, ialah yang memiliki keping terbanyak? Sehingga mampu menyusun kombinasi karya yang lebih banyak? Aku pun tak yakin.

Yang kutahu kini adalah, aku telah mengumpulkan sedemikian banyak keping. Termasuk banyak dari mereka yang dilemparkan orang-orang untuk menimpuk dan membungkam. Tak bermaksud menjadi bocah sok bijak, karena aku sendiri pernah tenggelam dalam lautan bongkah karang yang kukira kolam kebijakan. 
Yang ingin aku katakan, hanyalah bahwa ketika sedemikian banyak keping telah kupunya, dan warna-warninya kususun entah berbagai rupa, makin kerap kudapati kumpulannya indah dipandang.
Menjadi kumpulan pola, akan hidup yang telah dijalankan.

Terima kasih, telah mengenalkanku pada warna dunia.
Juga pada mahligai kenyataan yang kupetik dalam lara.
Yang kuharap, juntai benang itu terus merajut asa,
Untuk mempertemukan kembali pada saatnya.

There's so much left to say
And before this moment slips away
What a wonderful life
For as long as you've been at my side
And I want you to know
....
Lanjutkan baca »

Sabtu, 25 Januari 2014

Article#258 - Perspektif

*****
Alkisah, tersebutlah seorang saudagar yang kaya raya. Ia tinggal di sebuah kota yang luas nan sederhana, dimana ia mengepalai sebagian besar usaha. Mulai dari sembako, toko kelontong, hingga restoran di sana, banyak dimilikinya. Saking luasnya kerajaan bisnis sang saudagar, konon katanya, di kotanya itu, ia menghidupi seluruh warga dari hasil bisnisnya saja.

Singkat kata saudagar ini benar-benar kaya. Akan tetapi, ia tidak benar-benar bahagia.

Sejak beberapa tahun sebelumnya, sang saudagar meyakini bahwa hanya dengan memperluas jejaring kekuasaan bisnisnya lah, ia akan mampu membahagiakan dirinya. Akan tetapi, setelah beberapa tahu itu terlewat, ia sadari bahwa ia tak kunjung bahagia.

Berangkat dari kekalutannya itu, dia coba mendatangi seorang tua bijaksana. Ia tinggal di desa tetangga, maka berangkatlah sang saudagar ke desa tetangga untuk minta nasehat.
Ditemuinya sang Pak Tua, yang duduk dengan santai di pendopo desa, dan bersegeralah ia menyapa Pak Tua untuk menyampaikan tujuannya datang.
"Pak Tua, saya sengaja datang kemari jauh-jauh dari kota seberang, ada hal penting yang ingin saya tanyakan. Karena itu, sudilah kiranya Pak Tua menjawab pertanyaan saya," begitula sang saudagar membuka perbincangan hari itu.
"Silakan bertanya. Saya akan berusaha menjawab pertanyaanmu dengan baik," jawab Pak Tua dengan tenang.
"Begini pak. Saya sudah memiliki jaringan bisnis yang luas di kota seberang. Harta saya berlimpah. Tetapi Pak Tua, saya merasa ada yang hampa di dalam jiwa saya. Rasanya saya tidak bisa jua bersikap baagia atas semua itu Pak Tua. Terkadang gelisah, cemas, merasa tak puas, apalah itu. Maka dari itu, apalah kiranya yang harus saya lakukan supaya hidup saya bahagia, Pak Tua?"

Pak Tua diam sejenak. Kemudian ia menjawab,
"Kamu akan bahagia kalau semua yang kamu lihat berwarna hijau."
Sang saudagar melongo sejenak, kemudian berpikir. "Ah, hal semacam itu mudah diatasi oleh harta kekayaanku."
Ia pun manggut-manggut saja mendengar nasehat Pak Tua. Merasa puas dengan apa yang disampaikan Pak Tua, ia mengucapkan terimakasih dan beranjak pulang.

Satu bulan berselang, sang saudagar dengan bangga mengontak Pak Tua.
"Pak Tua, seperti yang dulu Pak Tua bilang, sekarang semua yang saya lihat berwarna hijau! Maka dengan ini saya mengundang Pak Tua ke kediaman saya,"

Singkat cerita, sampailah Pak Tua ke rumah sang saudagar. Pak Tua hanya bisa melongo memandangi rumah Saudagar, sesuai dengan alamat yang diberikan Saudagar sebelumnya. Rumahnya adalah rumah terbesar, menjulang diantara rumah-rumah ukuran biasa di sekitarnya. Uniknya, semua bagian rumahnya berwarna hijau. Pagarnya, cat tembok rumahnya, atapnya, bahkan lampu-lampu, semua bersemu hijau.
Lantas Pak Tua memencet bel pintu rumah Saudagar (yang tentunya berwarna hijau juga). Saudagar sendirilah yang keluar dan membukakan pintu untuk menyambut Pak Tua. Saudagar saat itu mengenakan baju sutra yang amat mahal berwarna hijau. “Mari, Pak Tua, saya antar berkeliling rumah saya.”

Seolah belum cukup rasa heran Pak Tua melihat tampilan luar rumah sang saudagar, ia dibuat terheran lebih lagi dengan isi rumah si orang kaya. Tidak hanya luarnya, bagian dalam rumahnya pun semua berwarna hijau. Perabot rumah, mulai karpet, sofa, televisi, lemari, meja dan kursinya, semua berwarna hijau. Bahkan pelayannya pun mengenakan seragam berwarna hijau. Hingga pada puncaknya, sang saudagar memperlihatkan dua mobil mewahnya. Di garasinya ada dua mobil Mercedes-Benz dan BMW terbaru. Dan, bisa ditebak: keduanya berwarna hijau.

"Bagaimana, Pak Tua? Saya berhasil membuat semua yang saya lihat berwarna hijau," ujar Saudagar dengan menyunggingkan giginya yang berkilau. Tidak perlu diceritakan apakah giginya berwarna hijau atau tidak.

"Hmm hmm, baiklah. Sekarang, misalkan kamu berjalan keluar, cukup jauh sampai kau tak melihat rumahmu lagi. Apakah yang kau lihat tetap seluruhnya berwarna hijau?" tanya Pak Tua.
Saudagar hanya terdiam dan menelan ludah.

"Kau pasti telah mengeluarkan banyak uang untuk mengubah ini semua, bukan?" selidik Pak Tua.
"I-i-iya, Pak Tua," jawaban Saudagar yang semula bersemangat, kini terdengar melesu.
Pak Tua bersiap untuk kembali pulang ke desa. Tetapi sebelum itu ia berkata,
"Aku tak habis pikir denganmu, hai saudagar. Dengan pola pikir seperti itu, bagaimana kau akan bisa bahagia?"
"Pola pikir seperti apa, Pak Tua?"

Menghela nafas, Pak Tua meneruskan.
"Kau ingin membuat semua yang kaulihat berwarna hijau."
Saudagar mengangguk lesu.
"Bukankah cukup dengan memakai kacamata hijau?"

~disadur dari cerita lama yang pernah dibaca penulis. Masih ada lanjutannya.
sumber gambar
Lanjutkan baca »

Selasa, 21 Januari 2014

Article#257 - Kutipan Hari Ini

"Those who say religion has nothing to do with politics do not know what religion is."
- Mereka yang mengatakan bahwa agama tidak ada sangkut pautnya dengan politik sama sekali tidak tahu apa artinya agama.

~versi bahasa Indonesia disadur dari laman tumblrnya akang Musfiq. Dikutip bersama dengan versi aslinya, kutipan milik Mohandas Karamchand "Mahatma" Gandhi (1869-1948), pemimpin India dalam meraih kemerdekaan dari Inggris tahun 1947. Dikutip pada Senin, 20 Januari 2014, 19:22 (UT+9).
Post ini didedikasikan untuk semua liberalis, sekularis, dan segala macam antek-anteknya yang mampir ke laman ini.

sumber


Lanjutkan baca »

Sabtu, 18 Januari 2014

Article#256 - Bermain Dengan Bulan

Sebagai benda langit yang paling cerah setelah sang surya, sang rembulan telah menempatkan diri sebagai sebuah objek penting dalam mewarnai kehidupan manusia yang menjejak muka Bumi. Kenampakannya yang bervariasi dengan adanya daerah gelap dan terang, menyemai benih mitologi dalam beragam lapis budaya yang terus berkembang seiring bergulirnya waktu. Terkadang Bulan beredar sedemikian sehingga bayangannya mencapa permukaan Bumi, memberikan kegelapan sesaat kepada orang-orang yang kemudian menjulukinya gerhana. Fasenya yang berubah seara teratur, dari Bulan baru, sabit, separo, purnama, kemudian kembali ke Bulan separo serta sabit, mengilhami kebudayaan di Bumi dalam beragam cara. Salah satu yang paling umum adalah pemanfaatan fase Bulan sebagai alat bantu dalam menentukan penghitungan waktu.

Di samping pengaruh atas kebudayaan, Bulan sebagai satu-satunya teman seperjalanan Bumi yang diketahui saat ini, juga memberikan berbagai pengaruh lain. Kita semua sudah cukup akrab dengan fenomena pasang surut, dan beberapa mungkin sudah mengetahui bahwa Bulan ikut memperlambat laju rotasi Bumi. Bahkan Bulan sendiri diyakini ikut membantu menjaga poros Bumi tetap stabil; jika tidak stabil, maka musim-musim di Bumi akan kacau.

Banyak orang, sejak dahulu, terkagum oleh temaram sinar rembulan yang tenang, dan menjadikan Bulan sebagai inspirasi dalam berbagai macam karya. Diantara orang-orang ini ada Laurent Laveder beserta partnernya Sabine Sannier, yang kemudian menyusun sebuah galeri berjudul "Jeux Lunaires" (Permainan Bulan–pen., mohon koreksinya).
Dalam waktu 4 tahun, mereka merekam foto-foto Bulan dengan beragam gaya. Memadukan astrofotografi dan kreativitas, keduanya menghasilkan beragam citra yang seolah tidak menggambarkan Bulan sebagai objek yang jauh, tetapi menjadi bagian dari apa yang dilakukan figur dalam gambar.
Berikut kumpulan citranya. Selamat menikmati.




















Seluruh gambar disadur dari laman berikut: http://blog.gaborit-d.com/jeux-lunaires-de-laurent-laveder-et-sabine-sannier/
Lebih lanjut, sila kunjungi:
http://www.pixheaven.net/galerie_us.php?id=22
http://www.laurentlaveder.com/publications.html
http://www.linternaute.com/photo_numerique/photographe/photos-de-la-lune-laurent-laveder/
https://www.pinterest.com/pin/201465783304067391/
(:g)
Lanjutkan baca »
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...