Jumat, 08 Mei 2015

Article#417 - Mengharu Baru


Kita acapkali menyalahkaprahi berbagai situasi.
Bagi tiap-tiap kita yang rajin menyigi senarai vokabulari, jamak diketahui bahwa kata yang tercetuskan dalam keterulangan lebih sering mengandung makna yang tak terkait dengan komponen yang terulang. Seolah mencoba memperingatkan dengan peringatan yang paling tersirat: Berhati-hatilah dengan orang Indonesia. Mereka bisa dan biasa memadukan apa-apa yang semakna, serupa. Terbiasa pula menyelewengkannya dengan memberi makna yang benar-benar berbeda.

Dengan segala pengetahuan terpatri pada keahlian dalam mencampuradukkan makna, kita kemudian mendapati kata-kata yang tak semakna dipersatukan. Kata-kata yang dilekatkan oleh kebiasaan, memperoleh makna mereka dari apa yang dibiasakan.
Kemudian kita dapati kepala berkecamuk oleh kosakata. Mengharu biru dalam menerjemahkan makna dari tiap penggal kalimat.

....Mengharu biru?
Tentu. Saya tak yakin apakah kebanyakan dari kalian para pembaca, adalah individu yang sempat terperdaya oleh alih makna dalam keterulangan berbahasa, sebagaimana saya.
Kita tentu terbiasa mengidentikkan "haru" sebagai situasi yang menggambarkan kepekaan atau kerapuhan sebuah organ tubuh fantasi yang kita namai "hati". Ia biasa muncul menghiasi derai untai puisi, atau roman yang mendayu layu.
Sementara "biru" kita kenal sebagai warna yang menggambarkan pembawaan yang tenang. Ia kerap diidentiikkan dengan air, dengan perangainya yang tenang dan tidak memaksakan keinginan. Atau dengan langit yang tulus menyelubungi bersama tirai awan, hingga kedalaman yang tak terdefinisikan.

Pada akhirnya, makna yang resmi, yang disematkan kepada frase yang telah kita permainkan, adalah makna yang menyebarkan huru-hara. Makna yang memantik kerusuhan.
Entah sengaja atau tidak, yang jelas makna yang kemudian diresmikan ini adalah makna yang mungkin secara tak sadar akan kita simpulkan ketika berjumpa wujudnya. Ironi yang menarik jiwa, berupa makna yang meledak-ledak di balik tampilan durjana.

......
Kemudian angin hangat musim semi merasuki sukma.
Musim semi, yang dipanggil sebagaimana kerapuhan isi jiwa disapa. "Haru" yang semangatnya berakar pada bunga-bunga, bermekaran memenuhi sekejap pandang, mewarnai selayang tandang. "Haru" yang, dengan menariknya, mewakili jiwa yang senada dengan apa yang ditampakkan frase di bagian sebelumnya. Dengan jiwa yang tampak rapuh, sebagaimana kelopak yang mengering melapuk dan rontok, menumpuki bumi. Dengan makna yang tampak gagu antara ketenangan, keluwesan dan kedalaman pertumbuhan setelah lama meranggas.
Sebagaimana frase yang sama, juga dengan makna yang meledak-ledak. Merusuhi segenap muka dunia dengan ragam warnanya. Memancing huru-hara pada kehidupan yang terbangun untuk melanjutkan awal mulanya.

Inilah ia, saat di mana semangat baru bermula. Tanpa perlu sibuk dipertanyakan mengapa.

You read all my thoughts of passion
And the dreams of my delight
Whatever stirs my mottled frame
Well you keep it warm alight














Tentu saja, musim semi tidak semata soal bunga.
















2 komentar:

  1. Jadi, mengharu biru maknanya apa?
    Apakah tentang hati yang sedang bersemi?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bukan, Yam.
      Kalau kata KBBI daring, makna "mengharu-biru" identik dengan "membuat rusuh" atau "mengacau".

      http://kbbi.web.id/haru%20biru

      Hapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...